Aku mendengar suara sangat dahsyat yang menikam
telingaku. Entah, apa itu. Jemariku tergerak, mataku sedikit
terbuka, sedang mulutku masih mengatup. Pandanganku lurus tapi cahaya terang menyilaukanku. Apa ini? Apa yang
terjadi? Secara perlahan badanku bergerak, duduk, berdiri lalu berjalan. Aku
tak mau seperti ini. Mengapa aku bisa bergerak sendiri? Aku masih ingin memejamkan
mata.
Sejauh mata memandang,
terbentang luas dataran maha rata. Semua manusia juga terbangun dari tidur
panjangnya. Astaga, aku telanjang. Hah, mereka juga telanjang. Tapi siapa
mereka? Aku tak mengenalnya. Di mana ayah-ibuku? Di mana istri dan anak-anakku? Di mana teman akrabku? Tetangga, sahabat, guru, di mana orang-orang yang aku kenal?
Semua berjalan pada satu
titik tujuan. Begitu juga dengan aku. Aku berjalan dengan rasa dahaga yang amat mencekik.
Kuedarkan pandanganku ke kanan dan ke kiri. Mengapa mereka dengan riang menaiki
kuda? Sedangkan sebagian lain berjalan
dengan kaki telanjang sepertiku. Mengapa pula ada yang berjalan dengan
menggunakan perut bak ular? Malang sekali. Di mana kaki-kaki mereka? Aduh, tak hanya
tenggorokan yang kemarau menderaku, panas yang amat
menyengat juga membakar kulitku. Aku
tak kuasa mendongakkan kepala. Matahari berada pas sejengkal dari ubun-ubunku.
Hah, apa-apaan ini? Mengapa begini? Kehidupan apa ini? Tanpa kuayunkan
langkahku, kakiku bergerak sendiri. Sedikit cepat tetapi tak mampu menandingi langkah kuda kaum bahagia itu. Setidaknya aku bersyukur karena sedikit lebih beruntung
ketimbang mereka yang merangkak seperti bayi.
Aku dimana? Mereka
siapa? Mengapa aku tak mengenal satu pun dari mereka? Mereka larut pada keadaan
masing-masing hingga tak mampu bertegur sapa bahkan sekedar menoleh. Aku pun sibuk
dengan diriku. Panas, lapar, haus,
berkeringat, dan….
Ya Tuhan, air apa
ini yang menggenang di lututku. Semakin sukar kakiku melangkah. Dan mereka yang merangkak, hampir tenggelam, tak bisa
bergerak.
Entah berapa lama
perjalanan ini. Dan akhirnya semua terkumpul
di tanah lapang yang amat luas. Kulihat di depan ada sebuah panggung panjang
dan berdiri di atasnya dua puluh lima pemuda tampan dan gagah sembari membawa
bendera. Meski agak kesulitan, kupaksa
menerka tulisan yang terpampang di bendera itu. “Muhammad Rasulullah”,
sepertinya aku kenal tulisan itu. Astaga, itu nama Nabiku, Muhammad. Tanpa digiring, aku sudah berdiri di barisan itu
meski berada di sisi belakang.
Bosan dan muak rasanya
berdiri lama tanpa sekat kepala. Terdapat payung besar terbentang di barisanku
bagian depan. Lagi-lagi aku kesal, mengapa tak sampai di tempatku berdiri?
Tapi, setidaknya lagi-lagi aku lebih beruntung dibanding mereka yang baru
datang dengan perut yang tak tega untuk dilihat.
Semua mengantri pada
satu pintu, entah pintu apa itu. Di sana terdapat makhluk yang bukan manusia
sibuk memanggil nama satu per
satu. Matahari
masih menyengat. Kenapa tak ada sore,
malam dan petang? Ah, benar-benar kehidupan yang sulit dimengerti. Dan segala
puji bagi Tuhan semesta alam, umat Nabiku Muhammad mendapat kesempatan pertama
mengantri di depan pintu itu.
Semakin dekat dengan
pintu itu, dadaku semakin berdegup kencang, badanku tiba-tiba menggigil. Ingin
kulari tetapi kakiku memberat. Tak ada gerak mundur, hanya maju
selangkah demi selangkah. Ya, ya. Satu hal yang amat melekat di depan mataku. Sebuah timbangan
yang belum pernah aku lihat sebelumnya berdiri tegak gagah di depanku. Ah,
bagaimana ini? Aku takut. Aku malu. Aku tak mau. Ternyata setelah
melewati pintu timbangan itu, manusia digiring ke arah kiri atau kanan. Entah
menuju ke manakah mereka, masih
terlalu buram dan gelap untuk aku selidiki.
Dengan terpaksa aku
memenuhi panggilan namaku. “Kamu Fulan?” ucap
makhluk itu.
“Iya,” jawabku.
Kupejamkan mataku. Mulutku ingin membela tapi entah mengapa tiba-tiba
terbungkam. Tangan dan kakiku berbicara tentang apa yang aku lakukan dulu di
dunia. Ah, celaka! aku tak bisa lagi berbohong. Bagaimana ini?
“Neraka!” teriak makhluk
itu. Sontak mataku membelalak. Kulihat api panas
menganga siap menjilat siapa saja. Aduh, mana ayah-ibuku? Mana istri dan
anak-anakku? Temanku, tetanggaku?
Dengan terpaksa aku
turuti kemauan makhluk itu. Alamak, makhluk apa lagi ini?
Ia begitu bengis, bermuka merah, berbadan besar, bertangan baja dengan membawa
cambuk yang terbuat dari api. Diakah malaikat penunggu neraka? Aduh, matilah
aku. Tamatlah aku. Hancurlah aku. Tak satu pun ada yang menoleh kepadaku. Hanya
tatapan mata kemarahan makhluk di depan neraka itu yang bisa kuterima. Aduh, bagaimana ini?
Dengan terpaksa
kuayuhkan kakiku. Dan, “Hai Fulan, ayo ikut aku!”
ajak seorang makhluk putih tampan yang sejak tadi belum aku jumpai. Tanpa
bertanya aku ikuti dia. Paling tidak, dia menuju ke arah yang berlawanan dari
danau luapan api itu. Syukurlah, aku sedikit terselamatkan.
Usai sampai di sebuah
tempat yang tak kutahu, makhluk itu hilang. Entah kemana.
Lalu, “Hai, Fulan. Karena
kasih-sayang-Ku, masuklah kau ke dalam surga.” Aku hanya bisa mendengar
suara itu. Mataku tertutup, tak bisa melihat. Gelap. Gegap. Tapi suara itu jelas. Kucoba menegakkan kepala, tapi tak kuasa. “Fulan, masuklah surga karena kasih-sayang-Ku.” Suara itu kembali terdengar.
Aku bingung, “Bagaimana bisa?” gerutuku dalam hati.
“Fulan, masuklah surga
karena kasih-sayang-Ku. Sebab selama di
dunia, kau tak pernah makan mendahului istrimu.” ulang-Nya. Dan kini suara itu menyebut alasan kenapa aku bisa
masuk surga. Ah, aku tak seberapa yakin. Bagaimana tidak, sebuah amal yang
sesederhana itu mampu menyelamatkan ahli neraka dari jilatan api Jahanam?
Apakah nilai kebaikan yang tulus
mampu melampaui sebuah keimanan yang tercemar? Aku tak rajin
beribadah, juga jarang berpuasa. Tak pernah salat sunnah. Ah, entahlah yang
penting aku selamat dari cambukkan makhluk yang menyeramkan tadi.
Lega dan tak sabar ingin
segera menikmati surga yang konon penduduknya akan
disambut 40 bidadari cantik, putih tiada tandingnya. Aku percepat jalanku. Tak
jauh dari langkahku tertulis, “Selamat Datang, Wahai Para Penduduk Surga!.” Aduhai, indah sekali.
Inikah yang disebut taman surga? Kulihat wanita-wanita
cantik yang menyambut di sana. Putih, bersih, mancung, berseri, dan tak pernah aku temui wanita-wanita seperti ini
sebelumnya. Aku hentikan langkahku. Aku teringat kenapa aku bisa masuk surga.
Oh, ke mana istriku sekarang?
Di mana dia? Tidakkah ia
menyambutku di pintu masuk taman surga ini? Aku hentikan
derap langkahku enggan mendekat taman surga itu. Aku memandang jauh tak pula mendapatkannya. Istriku, kau ke mana, Sayang?
Di depan mataku,
berjejer puluhan wanita cantik sembari melambaikan tangan. Tak satu pun dari mereka
yang kukenali. Istriku, istriku. Aku tak akan mau masuk taman itu sebelum
bertemu istriku. Kenapa dia tak menyambutku. “Tuhan, gantilah puluhan bidadari
itu dengan satu wanita yang membuatku masuk surga, istriku.” keluhku.
Dan dengan sekejap para
bidadari itu tak terlihat lagi. Tiba-tiba, melela dengan amat gemulai dan
lembut wanita cantik sekali. Ia melambaikan tangannya. Aku tahu dia. Dia istriku. Aku berlari
secepat mungkin. Kukecup keningnya. Dia mencium tanganku. Kupandang lekat wajahnya, dia
terlihat jauh lebih anggun. Senyumnya mengumbar cinta yang tak terkalahkan. Dia amat cantik
sekali. Cantiknya sungguh keterlaluan. Kukecup lagi keningnya. “Apa kabar, Sayang?” tanyaku.
***
Aku tersentak bangun.
Begitu deras keringat di keningku. Kucari ponselku. Ternyata masih pukul
03.15. Kupandangi istriku. Wajahnya putih bersinar meski sedikit pasi. Ya Tuhan,
wajahnya sama persis seperti yang aku lihat tadi. Ah, ternyata itu hanya mimpi.
Ya, tak ada lagi orang yang merangkak bak ular. Tak ada lagi makhluk yang
menyeramkan. Tak ada lagi taman surga yang dihiasi puluhan bidadari cantik.
Sekarang hanya ada istriku yang tergeletak tenang di sampingku. Biasanya ia sudah bangun
dan salat malam. Ah, selama beristri dengannya, tak pernah aku salat malam. Ia
pun tak pernah memprotes dan mendikteku. Karena letih bekerja, ia hanya membangunkanku untuk salat subuh. Itu
pun terkadang matahari hendak menyingsing.
Tak ada salahnya, aku
salat sunnah malam ini. Kukecup kening istriku. Kuelus wajah cantiknya sembari
menepuk lembut pipinya. Ia membuka
mata.
“Gak salat malam, Sayang? Mumpung masih ada
waktu lho. Salat bareng, yuk?” ajakku.
Ia hanya membalas dengan
senyuman. Senyuman yang tak pernah begitu
mengembang sebelumnya.
***
Kami siap untuk salat
malam berjamaah. Subhanallah, sungguh
istriku terlihat amat cantik justru tatkala mengenakan mukenah meski mukanya
agak memucat. Mungkin
ia kelelahan.
“Kamu sakit, Sayang?”
tanyaku.
Dia menggeleng. “Aku
hanya ingin menjadi wanita dunia yang mampu membuat cemburu para bidadari
surga, Mas.” katanya.
Kuamini
cita-citanya. Kami pun salat dua rakaat.
Kusudahi salat kami dengan salam. Lalu
beristighfar dan berdoa. Istriku masih bersujud, mungkin ia meminta citanya
dalam sujud terakhirnya. Aku biarkan saja dia sembari membaca al-quran surat Ar-Rahman.
Azan subuh berkumandang tetapi istriku tetap saja
dalam keadaan sujud. Kucoba menyadarkannya. Kusentuh pundaknya.
“Sayang, sudah adzan
subuh.” bujukku.
Tapi ia tetap membisu. Kugerak-gerakkan
tubuhnya. Ia kaku dan tak bernapas. Innalillahi wa inna ilaihi Rajiun… ia meninggal dalam
sujudnya. Ia bertemu Tuhannya dalam balutan putih mukenahnya. Ia mampu meraih
cita-citanya. “Aku hanya ingin menjadi
wanita dunia yang mampu membuat cemburu para bidadari surga, Mas.” Aku menangis haru teringat ayat Tuhan yang tadi
kubaca di surat Ar-Rahman; “ Di dalam
surga itu terdapat bidadari-bidadari yang cantik dan jelita.”
Kairo, 06 November 2012 ; Adzan Subuh
*Setelah mendengar kabar seorang mahasiswi
Undip meninggal karena kecelakaan dan usai membaca motto hidupnya, akhirnya saya
putuskan untuk menulis cerpen ini.
well written, good story. mengalir bgt dan...romantisnya juga berkesan :D
BalasHapusMakasih mbak May. Semoga bisa berkarya seperti mbak. :)
Hapussubhanallahbagus ust
BalasHapussubnallah ,,,great, amazing, and awasome ust,,,:)
BalasHapusInspiring ustad
BalasHapusMasyaAllah, bagus sekali Ustadz, ijin untuk share ya?
BalasHapus