Jumat, 26 Juli 2013

Jokowi Bukan Nabi

Jokowi, sebuah nama yang tak asing lagi bagi penduduk Indonesia terlebih warga Surakarta dan Jakarta. Joko Widodo, itulah nama lengkap pria kurus yang beberapa tahun ini menjadi trending personal dalam dunia politik.

Setelah berhasil sukses memimpin Surakarta selama dua periode, mantan pengusaha mebel itu mampu membuktikan kepada Indonesia bahwa ia bisa memimpin Jakarta. Tak ayal, ia pun menang pada pemilihan gubernur Jakarta mengalahkan Fauzi Wibowo yang ingin mengulangi masa jabatannya untuk kedua kalinya.

Kala menjabat walikota Surakarta, konon Jokowi tak pernah mengambil pesangonnya. Ia ikhlas berkhidmat untuk kota kesayangannya. Surakarta pun menjadi kota yang penuh perubahan di tangan Jokowi. Lantas bagaimana dengan Jakarta?

Semenjak menduduki kursi nomer wahid di Jakarta, Jokowi dengan keukehnya tak ingin enak-enakan duduk di kantor. Ia pun bekerja dengan gaya lamanya yaitu blusukan. Kampung-kampung kecil ia telusuri. Sungai-sungai ia jelajahi. Dan warga-warga pinggiran ia dekati. Tentu dengan gaya kepemimpinan yang seperti ini, masyarakat Jakarta selalu mengelu-elukan Jokowi.

Saat acara karnaval HUT DKI Jakarta ke-486 kemarin, dengan merakyatnya Jokowi tak enggan dan tak segan memakai kostum mirip dinasti China dengan menunggangi kuda. Sikap seperti inilah yang menjadikan nama Jokowi disebut-sebut oleh masyarakat sebagai pemimpin yang merakyat.

Pemilihan Presiden tahun depan akan digelar, nama Jokowi termasuk dalam daftar nama yang digadang-gadang patut dicalonkan. Beberapa LSM meramalkan bahwa Jokowi lebih populer ketimbang nama-nama lama yang menghiasi pagelaran terbesar se-Nusantara itu. Bahkan Jokowi yang merupakan kader PDI-P mampu mengalahkan Megawati Soekarno Putri yang merupakan pimpinan tertinggi partai dalam beberapa survei yang telah diadakan oleh sekian LSM.

Beberapa akhir ini, ada sedikit kecaman yang ditujukan kepada Jokowi perihal dana blusukannya yang dianggarkan 26,6 Miliar pertahun. Jokowi pun menampik hal itu. Ia membantah bahwa tak ada anggaran sebesar itu untuk blusukan dan ia blusukan lebih banyak berjalan kaki, sidak ke kantor kelurahan dan kecamatan.

Reaksi masyarakat pun beragam. Ada yang percaya dan menginginkan Jokowi untuk menghentikan blusukan, ada pula yang malah mendukung Jokowi untuk tetap blusukan. Hal ini bukanlah kasus pertama yang dilemparkan atas nama Jokowi. Sebelumnya Jokowi pernah dihujat oleh Habib Alayidrus, anggota komisi C DPRD. Wajah masyarakat pun memerah dan memberat. Mereka dengan kompak justru membalik mencela Habib Alayidrus. Dengan serempak mereka membela Jokowi. Dan menginginkan Habib Alayidrus dicopot sebagai anggota DPRD DKI Jakarta.

Memang, posisi Jokowi di mata masyarakat sudah amat melekat. Sikap merakyat dan blusukannya menghadirkan kecintaan kepada masyarakat yang selama ini gersang akan perhatian dari seorang pemimpin. Saat banjir melanda Ibu Kota, Jokowi menyempatkan diri menengok mereka yang sedang terapung di depan rumah dengan tidak tangan kosong. Bagaimana masyarakat tidak cinta dengan apa yang telah Jokowi lakukan untuk mereka.

Namun kecintaan masyarakat semoga tidak membutakan mata, hingga menjadikan Jokowi seorang Nabi yang tak mungkin berdosa. Jokowi adalah manusia biasa yang tak luput dari salah. Apapun yang dilakukan Jokowi pasti ada nilai plus dan minusnya. Tinggal kita saja yang memperhatikan, apakah tanda plus lebih banyak dari minusnya atau malah kebalikannya. Bila tanda plus lebih banyak, mari sama-sama kita dukung dan amini. Namun bila sebaliknya, tak pantas bila kita tetap diam menutup mata atau pura-pura tak mengerti.

Terlalu cepat bila Jokowi dicalonkan untuk menjadi Capres tahun depan. Pekerjaan Rumah Jokowi masih menumpuk untuk membenahi Ibu Kota. Sebaiknya ia fokus bekerja untuk Jakarta. Dan mereka yang berkepentingan atau pun tidak, janganlah dulu mengiming-imingi Jokowi dengan kedudukan yang lebih tinggi yaitu Presiden Indonesia.


Jokowi kau bukan Nabi, tapi ucap dan sikapmu selama ini cukup mengobati derita negeri.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar