Perempuan adalah sebuah kata yang sulit untuk ditafsirkan.
Beragam tafsiran akan mengitari satu kata tersebut. Bila kita memaknai kata
perempuan adalah makhluk yang lemah, toh juga ada perempuan yang kuat. Atlet
angkat besi, misalnya. Jika kita mentakwilkan kata perempuan ialah makhluk yang
tak berdaya, toh presiden kita yang kelima adalah seorang perempuan. Memang cukup sukar memahami dan memantik kata
perempuan.
Di Pakistan, perempuan di belenggu dalam rumah. Suami dengan
gagahnya memingit istri dan anak perempuannya. Seolah mereka adalah aurat yang
harus disembunyikan. Di Amerika dan Eropa, perempuan bebas mengekspresikan
segalanya. Bahkan lebih bebas dari seorang laki-laki. Dan di negeri kita, masih
ada masyarakat yang berperilaku seperti warga Pakistan dan banyak juga yang
meniru gaya hidup Amerika dan Eropa. Hanya mereka yang mengerti garis-garis
yang disisirkan oleh agama, yang memperlakukan perempuan dengan normatif.
Dewasa ini, berbagai kasus bermunculan menyoal tentang
perempuan. Mulai dari yang tak patut hingga yang dianggap pantas. Mulai dari
yang haram hingga yang bercorak halal. Contoh dari yang tak patut adalah
pemerkosaan, pencabulan, dll. Dan misal dari yang dianggap pantas ialah
menikahi perempuan yang jauh lebih muda dengan embel-embel ini dan itu.
Kalau ditinjau dari ajaran Islam, memang tak ada
pelarangan menikahi perempuan yang berumur jauh lebih muda. Nabi Muhammad Saw
menikahi Aisyah yang muda, Umar bin Khattab menggandeng Ummu Kultsum binti Ali yang
belia, dan Utsman bin Affan menganjurkan Abdullah bin Masud untuk menikahi
gadis remaja meskipun ia menolakknya. Aisyah dan Ummu Kultsum adalah
perempuan-perempuan bestari, namun sudah pantas untuk dipinang lantaran secara
fisik dan psikis keduanya cukup dewasa.
Pernikahan Nabi dan Umar adalah sebuah ikatan yang
berlandaskan agama dan bertujuan mulia tanpa ada modus-modus tertentu. Tujuan
Nabi dan Umar dalam pernikahan itu ialah hendak merajut tali saudara dan
keturunan yang mulia. Melihat sosok keduanya adalah pribadi yang tak bisa
dielakkan kebaikan dan jauh dari sifat-sifat kotor. Aisyah putri Abu Bakar dan
Ummu Kultsum binti Ali bin Abi Thalib. Abu Bakar dan Ali pun merestui
pernikahan anaknya dengan harapan sebuah limpahan keberkahan bukan limpahan
kekayaan. Hal ini terbukti kehidupan Nabi dan Aisyah yang bilamana tak ada
makanan, Nabi memilih berpuasa. Dan Umar yang tak henti-hentinya menolak
memakan daging dan hanya melumat roti serta minyak untuk mengganjal perutnya.
Sangat berbeda dengan realita masa kini, seorang lelaki
yang sudah berkepala lima menikahi seorang gadis belia yang tujuannya berpunggungan
dengan landasan agama dengan embel-embel penawaran ini dan itu.
Salah seorang yang terkenal dengan panggilan Syekh dengan
kekayaan yang amat luar biasa menikahi gadis yang belum pantas untuk berumah
tangga. Seorang ustaz yang juga bergelimang harta mengawini gadis yang masih
menyandang status SMA dengan janji-janji duniawi.
Sebenarnya tak ada masalah dengan pernikahan semacam ini
apabila didasari oleh rasa suka sama suka dan kerelaan. Namun naasnya, bila
pernikahan semacam ini dilakukan dengan cara sirri dan dengan motif yang tak
bisa dibenarkan oleh agama, secara akal pun kita akan menolaknya.
Di zaman yang serba instan ini, sebagian para pemeluk agama
tak ingin menjalankan ajaran agamanya dengan pelik. Mereka hanya ingin meniru ‘keenakan duniawi’ saja tanpa mengukur sudah sampai
manakah ia meneladani siapa yang diteladaninya. Banyak dari kalangan Muslimin
yang hanya meniru pernikahan Nabi dan Umar namun mereka buta dan tak mau tahu
dengan kepribadian Nabi dan Sahabat Umar.
Seharusnya para orangtua/wali lebih sayang dan jeli
menikahkan anak perempuannya. Tidak menyerahkannya kepada lelaki hidung belang
yang pintar memainkan agama. Tidak mengesahkan perkawinan putrinya dengan
mereka yang bermuka dua.
Lantas apa bedanya dengan menjual perempuan, kalau toh
ujung-ujungnya adalah harta yang dipakai pijakan menikah. Mobil dan lembaran
uang untuk menghalalkan hubungan
suami-istri?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar