Bapak. Ya
sudah hampir empat tahun aku tak melihat wajahnya. Bahkan sekedar foto beliau saja,
aku sengaja tak menyelipkannya di tas
atau koper saat hendak terbang ke Kairo. Jujur, aku termasuk orang yang paling
cengeng lantaran ingat orang tua. Sebab itulah, aku enggan mengantongi foto bapak
atau ibuku. Malah di telepon genggamku yang bisa untuk memotret dulu, hanya ada
foto adik, mbakyu yang sedang menggendong anak pertamanya, dan mas ipar.
Sampai di Kairo,
ibuku menangis tak menyangka anak keduanya yang kala duduk di sekolah dasar
dibaiat teman-temannya menjadi juru palak atau pemeras, kini hijrah jauh
mencari ilmu tanpa uang belanjanya terkuras meski hanya seratus rupiah. Setiap telepon,
ibu selalu berpesan jaga kesehatan, bertanya kapan pulang? Padahal waktu itu
baru satu bulan kulihat rumah-rumah kotak bak kardus bila dipandang dari udara.
Oh iya, hampir
saja aku lupa. Saat berpamitan di bandara Juanda-Surabaya. Hanya ibu yang
mengantar sampai pintu terakhir. Entah di mana bapak sibuk menyembunyikan
kekesalannya lantaran biaya administrasi hingga berangkat tak sanggup
ditanggungnya. Terakhir kutatap bapak, wajahnya menyiratkan kecemasan akan anak
putra pertamanya.
Sampai sekarang
aku tak bisa menatap wajah kedua orang tuaku secara langsung. Ah, jangankan video
call, meski kami orang kota dan pernah kaya, bapak-ibu hanya bisa kirim
pesan melalui SMS. Itu pun harus ada mbakyuku.
Enam bulan
di Mesir, aku mendapatkan kabar bapak sakit-sakitan. Penyakit Stroke
melumpuhkannya. Tak bisa jalan. Hanya bisa berbaring. Kondisi bapak yang
seperti ini sudah dirahasiakan berbulan-bulan. Keluarga tak ingin keadaan bapak
merecohkan ujian pertamaku di Al-Azhar.
Keluarga
mengeluh biaya perawatan dan obat bapak. Akhirnya aku putuskan jualan tempe dan kerja di warung. Sempat juga aku
menjadi pegawai cleaning service di KBRI. Semua itu kulakukan hanya
untuk membantu ibu membeli obat bapak. Aku sangat bersyukur lantaran Tuhan juga
mengirim manusia-manusia yang berhati malaikat membantu perekonomian keluarga
kami. Ada yang menyodorkan uang. Ada yang mengirimkan beras satu karung. Dan berbagai
macam cara yang lain.
Lebih dari setahun bapak berada dalam kondisi yang sulit.
Bolak-balik ke rumah sakit. Kadang juga harus menginap di rumah sakit untuk
perawatan yang lebih konkrit. Saat kondisi bapak yang sakit-sakitan seperti
ini, aku teringat kata-kata yang selalu diulang-ulang bapak saat masa kecilku
dulu,
“Bapak ingin meninggal
saat umur 60an seperti Nabi. Bapak tidak ingin sakit-sakitan saat tua agar
tidak merepoti keluarga nantinya.”
Tapi keinginan bapak rupanya ditolak oleh Tuhan. Tuhan
mengerti segala yang terbaik untuk hamba-Nya. Bapak dipaksa untuk memerangi
penyakit-penyakitnya hingga saat ini.
Setiap telepon ke Indonesia, mata bapak selalu mendung
dan pipinya banjir air mata kerinduan. Tak pernah bapak berbicara panjang. Hanya
bertanya kabar, kapan pulang. Itu pertanyaan tetap bapak. Kadang sesekali bapak
menanyakan siapa wanita pilihanku yang nantinya menjadi menantunya. Setelah bertanya
itu, suara bapak raib. Hilang. Tak lagi terdengar. Telepon pindah ke tangan ibu
atau mbakyuku. Bahkan, sering kali bapak menolak bercakap denganku. Tak kuasa
membendung rasa haru katanya.
Suatu ketika, aku paksa bapak untuk berkata-kata. Aku tanya
mengapa sering kali menolak berbicara denganku. Kenapa sering menangis saat aku
telepon. Padahal bapak sendirilah yang menginginkan aku telepon. Dengan deraian
air sucinya dan suara paraunya yang kian tak jelas bapak mengaku,
“Bapak malu sama kamu,
Nak. Dulu bapak memukulmu hingga kamu menangis, sampai kamu kencing sangking
takutnya. Tapi sekarang, kamu mencari ilmu sampai ke negerinya para Nabi. Sampai
ke Mesir. Dan bapak malu, karena kamu berangkat dengan biaya yang kamu cari
sendiri. Kamu jual motor hadiah lombamu. Bapak malu...”
Aku terkesiap, sontak kepalaku nanar. Aku beri pengertian
ke bapak dengan pelan-pelan. Aku larang bapak untuk terus menyesali hal itu. Toh
kalau bapak tak menghajarku sampai aku terbirit-birit kencing, tak mungkin aku
sampai ke Kairo. Alih-alih menjadi mahasiswa Universitas Al-Azhar, mau nyantri
di pesantren pun, mungkin tak jadi pilihan hidupku. Perihal biaya administrasi
hingga berangkat, aku jelaskan kepada bapak bahwa aku anak bapak yang sudah
besar dan dewasa. Sudah tak butuh uluran uang dari orang tua. Yang selamanya
aku butuhkan dari orang tua hanyalah rido dan doa. Itu saja. Tapi tetap saja,
bapak selalu menitikkan air mata saat mendengar suaraku.
Tahun lalu, tetanggaku yang lebih modern dari keluargaku
mengirim foto bapak dan ibu lewat Facebook. Ibu masih kelihatan awet
muda. Sepertinya keawetan muda ibu menular kepadaku. Bapak sudah sangat lemah.
Dan pagi kemarin. Entah mbakyu atau adikku mengirim foto
bapak melalui what’sapp. Syukurlah keduanya kini ketularan kemodernan
tetanggaku. Di foto itu bapak sangat kurus, ceking, dan sepertinya bukan
bapakku. Tidak seperti bapak yang segar, gemuk, dan kuat lima tahun silam. Aku tak
kuasa menatap foto bapak lama-lama.
Pagi ini aku sangat rindu akan bapak. Ingin rasanya
membeli tiket pesawat ke Indonesia hari ini juga. Tapi apa yang harus aku jual
untuk mendapatkan tiket itu? Notebook hasil pemberian. Handphone
masih kredit belum lunas. Aih, biar saja tulisan ini yang bisa mengobati
kerinduan anak kepada bapaknya. Anak yang dulunya mencoreng nama bapaknya
sebagai tokoh agama di masyarakatnya. Anak yang dulunya sering memerintah orang
tuanya agar memenuhi segala yang diinginkan. Anak yang dosanya menggunung. Anak
yang tak akan bisa membalas pengorbanan bapak dan ibunya.
Bapak, semoga Tuhan menakdirkan kita bertemu lagi.
Bersabarlah dan aku juga akan bersabar. Jika Tuhan berkehendak, tahun depan aku
sudah bisa mencium tanganmu, memelukmu dan melayanimu. Meski ku tak tahu apakah
kau bisa membaca tulisan anakmu ini, itu tak penting bagiku. Bapak, doaku tak
pernah putus untukmu dan ibu.
“Ya Allah, ampunilah
dosaku dan dosa kedua orang tuaku. Kasihi dan sayangilah mereka seperti mereka
mengasihi dan menyayangiku saat kecilku.”
Kairo, 13-12-13