Jumat, 13 Desember 2013

Bapak

Bapak. Ya sudah hampir empat tahun aku tak melihat wajahnya. Bahkan sekedar foto beliau saja, aku sengaja tak menyelipkannya  di tas atau koper saat hendak terbang ke Kairo. Jujur, aku termasuk orang yang paling cengeng lantaran ingat orang tua. Sebab itulah, aku enggan mengantongi foto bapak atau ibuku. Malah di telepon genggamku yang bisa untuk memotret dulu, hanya ada foto adik, mbakyu yang sedang menggendong anak pertamanya, dan mas ipar.

Sampai di Kairo, ibuku menangis tak menyangka anak keduanya yang kala duduk di sekolah dasar dibaiat teman-temannya menjadi juru palak atau pemeras, kini hijrah jauh mencari ilmu tanpa uang belanjanya terkuras meski hanya seratus rupiah. Setiap telepon, ibu selalu berpesan jaga kesehatan, bertanya kapan pulang? Padahal waktu itu baru satu bulan kulihat rumah-rumah kotak bak kardus bila dipandang dari udara.

Oh iya, hampir saja aku lupa. Saat berpamitan di bandara Juanda-Surabaya. Hanya ibu yang mengantar sampai pintu terakhir. Entah di mana bapak sibuk menyembunyikan kekesalannya lantaran biaya administrasi hingga berangkat tak sanggup ditanggungnya. Terakhir kutatap bapak, wajahnya menyiratkan kecemasan akan anak putra pertamanya.

Sampai sekarang aku tak bisa menatap wajah kedua orang tuaku secara langsung. Ah, jangankan video call, meski kami orang kota dan pernah kaya, bapak-ibu hanya bisa kirim pesan melalui SMS. Itu pun harus ada mbakyuku.

Enam bulan di Mesir, aku mendapatkan kabar bapak sakit-sakitan. Penyakit Stroke melumpuhkannya. Tak bisa jalan. Hanya bisa berbaring. Kondisi bapak yang seperti ini sudah dirahasiakan berbulan-bulan. Keluarga tak ingin keadaan bapak merecohkan ujian pertamaku di Al-Azhar.

Keluarga mengeluh biaya perawatan dan obat bapak. Akhirnya aku putuskan jualan tempe dan kerja di warung. Sempat juga aku menjadi pegawai cleaning service di KBRI. Semua itu kulakukan hanya untuk membantu ibu membeli obat bapak. Aku sangat bersyukur lantaran Tuhan juga mengirim manusia-manusia yang berhati malaikat membantu perekonomian keluarga kami. Ada yang menyodorkan uang. Ada yang mengirimkan beras satu karung. Dan berbagai macam cara yang lain.

Lebih dari setahun bapak berada dalam kondisi yang sulit. Bolak-balik ke rumah sakit. Kadang juga harus menginap di rumah sakit untuk perawatan yang lebih konkrit. Saat kondisi bapak yang sakit-sakitan seperti ini, aku teringat kata-kata yang selalu diulang-ulang bapak saat masa kecilku dulu,

“Bapak ingin meninggal saat umur 60an seperti Nabi. Bapak tidak ingin sakit-sakitan saat tua agar tidak merepoti keluarga nantinya.”

Tapi keinginan bapak rupanya ditolak oleh Tuhan. Tuhan mengerti segala yang terbaik untuk hamba-Nya. Bapak dipaksa untuk memerangi penyakit-penyakitnya hingga saat ini.

Setiap telepon ke Indonesia, mata bapak selalu mendung dan pipinya banjir air mata kerinduan. Tak pernah bapak berbicara panjang. Hanya bertanya kabar, kapan pulang. Itu pertanyaan tetap bapak. Kadang sesekali bapak menanyakan siapa wanita pilihanku yang nantinya menjadi menantunya. Setelah bertanya itu, suara bapak raib. Hilang. Tak lagi terdengar. Telepon pindah ke tangan ibu atau mbakyuku. Bahkan, sering kali bapak menolak bercakap denganku. Tak kuasa membendung rasa haru katanya.

Suatu ketika, aku paksa bapak untuk berkata-kata. Aku tanya mengapa sering kali menolak berbicara denganku. Kenapa sering menangis saat aku telepon. Padahal bapak sendirilah yang menginginkan aku telepon. Dengan deraian air sucinya dan suara paraunya yang kian tak jelas bapak mengaku,

“Bapak malu sama kamu, Nak. Dulu bapak memukulmu hingga kamu menangis, sampai kamu kencing sangking takutnya. Tapi sekarang, kamu mencari ilmu sampai ke negerinya para Nabi. Sampai ke Mesir. Dan bapak malu, karena kamu berangkat dengan biaya yang kamu cari sendiri. Kamu jual motor hadiah lombamu. Bapak malu...”

Aku terkesiap, sontak kepalaku nanar. Aku beri pengertian ke bapak dengan pelan-pelan. Aku larang bapak untuk terus menyesali hal itu. Toh kalau bapak tak menghajarku sampai aku terbirit-birit kencing, tak mungkin aku sampai ke Kairo. Alih-alih menjadi mahasiswa Universitas Al-Azhar, mau nyantri di pesantren pun, mungkin tak jadi pilihan hidupku. Perihal biaya administrasi hingga berangkat, aku jelaskan kepada bapak bahwa aku anak bapak yang sudah besar dan dewasa. Sudah tak butuh uluran uang dari orang tua. Yang selamanya aku butuhkan dari orang tua hanyalah rido dan doa. Itu saja. Tapi tetap saja, bapak selalu menitikkan air mata saat mendengar suaraku.

Tahun lalu, tetanggaku yang lebih modern dari keluargaku mengirim foto bapak dan ibu lewat Facebook. Ibu masih kelihatan awet muda. Sepertinya keawetan muda ibu menular kepadaku. Bapak sudah sangat lemah.

Dan pagi kemarin. Entah mbakyu atau adikku mengirim foto bapak melalui what’sapp. Syukurlah keduanya kini ketularan kemodernan tetanggaku. Di foto itu bapak sangat kurus, ceking, dan sepertinya bukan bapakku. Tidak seperti bapak yang segar, gemuk, dan kuat lima tahun silam. Aku tak kuasa menatap foto bapak lama-lama.

Pagi ini aku sangat rindu akan bapak. Ingin rasanya membeli tiket pesawat ke Indonesia hari ini juga. Tapi apa yang harus aku jual untuk mendapatkan tiket itu? Notebook hasil pemberian. Handphone masih kredit belum lunas. Aih, biar saja tulisan ini yang bisa mengobati kerinduan anak kepada bapaknya. Anak yang dulunya mencoreng nama bapaknya sebagai tokoh agama di masyarakatnya. Anak yang dulunya sering memerintah orang tuanya agar memenuhi segala yang diinginkan. Anak yang dosanya menggunung. Anak yang tak akan bisa membalas pengorbanan bapak dan ibunya.

Bapak, semoga Tuhan menakdirkan kita bertemu lagi. Bersabarlah dan aku juga akan bersabar. Jika Tuhan berkehendak, tahun depan aku sudah bisa mencium tanganmu, memelukmu dan melayanimu. Meski ku tak tahu apakah kau bisa membaca tulisan anakmu ini, itu tak penting bagiku. Bapak, doaku tak pernah putus untukmu dan ibu.

“Ya Allah, ampunilah dosaku dan dosa kedua orang tuaku. Kasihi dan sayangilah mereka seperti mereka mengasihi dan menyayangiku saat kecilku.”




Kairo, 13-12-13