Jakarta. Ibu
kota Indonesia.
Berawal dari
nama Batavia yang dikukuhkan oleh Belanda. Jadilah daerah itu menjadi pusat
pemerintahan negara. Jakarta, begitulah kami menyebutnya. Sebuah kota yang
terus menambah jumlah penduduknya setiap saat. Tak peduli di bagian mana mereka
bertempat. Asal bisa menghirup udara Ibu kota dan merasakan panasnya matahari
yang menyengat. Rupanya, hidup di Ibu kota sebuah kenikmatan yang bergengsi
hingga kala musim lebaran datang, mereka membawa limpahan uang yang tak jelas
dari mana mereka dapat.
Jakarta. Ibu
kota Indonesia.
Mestinya
sebuah tempat yang digadang sebagai Ibu kota adalah tempat yang asri, bersih,
hijau, dan enak dipandang. Tapi tak seperti di negeriku ini. Amat sesak, macet,
gerah, panas hingga kita dapati banyak berseliweran para pedagang di tengah
jalanan.
Jakarta. Ibu
kota Indonesia.
Sepertinya
sudah menjadi makanan empuk dan renyah para investor dalam dan luar negeri.
Pemerintah juga tak absen dalam hal ini. Mereka legalkan segala cara untuk bisa
menambah uang jajan anak-istri. Pemukiman mereka gusur, sungai-sungai mereka
rampingkan, hijaunya jalanan mereka acuhkan, hingga tanah penyerap air mereka jual
dengan murahan. Yang terpenting, Ibu kota gagah dengan gedung-gedung menjulang
tinggi. Mall dan pusat pembelanjaan yang terlalu memadai sampai-sampai penjual
lebih banyak dibanding pembeli.
Jakarta. Ibu
kota Indonesia.
Tatkala
musim hujan datang, bukanlah rahmat hadiah yang rakyat kecil terima tapi laknat
musibah yang mereka enyam. Entah, mengapa sebuah kenikmatan yang Tuhan berikan
malah berganti menjadi sebuah kenistapaan. Jalanan dipadati air bah, rumah-rumah
rakyat tergenang. Sedangkan mereka para investor dan pemerintah sibuk menontoni
rakyat jelata yang berhamburan ke mana-mana mencari pertolongan dari balik kaca
etalase gedung-gedung pencakar langit mereka.
Jakarta. Ibu
kota Indonesia.
Sudah
saatnya dikosongkan, dilengangkan dari segala kegiatan pemerintahan dan jual
beli perdagangan. Pindahkan saja Ibu kota Indonesia ke Kalimantan, atau ke
Sumatra, bila perlu bawa ke Irian Jaya. Jauhkan dari tanah jawa yang sudah mengerut
tak berdaya oleh ulah manusia. Tak bisakah kita meniru Turki yang memindahkan
Ibu kotanya dari Istanbul ke Ankara? Ah, itu mustahil. Sebab mereka yang punya
kepentingan terus melakukan berbagai siasat untuk mengelabuhi masyarakat
setempat. Mereka berdalih ini dan itu tapi sejatinya itu untuk kebaikan diri
mereka sendiri meski sesaat. Mereka pasang badan saat berbicara nasionalisme
ke-Indonesia-an tapi mereka setiap hari membuang dahak di bumi suci Nusantara.
Mereka yang tamak akan dunia selalu mengangkang berak di atas bendera
merah-putih yang dikibarkan para rakyat.
Jakarta. Ibu
kota Indonesia.
Jangan
salahkan Bogor, sebab Bogor tak pernah salah diletakkan oleh Tuhan. Jangan
salahkan kaum jujur yang baru turun ke jalanan melihat hakikat Ibu kota. Jangan
salahkan rakyat kecil yang ingin mengadu nasib. Jangan salahkan Tuhan yang
menurunkan hujan sebagai kasih sayang.
Lantas, siapakah yang patut disalahkan? Atau
tak perlu kita saling menyalahkan? Tidak, selamanya tidak bisa kita tidak
menyalahkan. Kita harus menyalahkan mereka yang seenaknya mengolah tanpa rasa
tanggung-jawab. Mereka harus dipersalahkan agar orang-orang seperti mereka tak
lagi memadati dan mengusik kenyamanan hidup rakyat biasa.
Mereka para
cukong-cukong yang membuang ludahnya di tengah-tengah makanan rakyat, meskipun
makanan itu terbeli dari rogohan dompet mereka. Para cukong asing berkulit
putih, berambut pirang dan para cukong berkulit kecoklatan serta berpeci hitam
yang duduk di kursi empuk ruangan ber-AC. Salahkan mereka yang tak becus
menahan jumlah masyarakat yang berdatangan, salahkan mereka yang tak
habis-habisnya menggunduli pepohonan, salahkan mereka yang hanya bisa berjanji
dan berencana. Salahkan mereka yang berkepentingan!!!
Salahkan Mereka!!! Sebab
bumi rusak lantaran ulah tangan para manusia yang hanya mengejar kenikmatan dunia.
Jakarta. Ibu
kota Indonesia…
Januari 2013
Tidak ada komentar:
Posting Komentar