Kamis, 25 Juli 2013

Berpolitik Agamis atau Beragama Politis?

30 Juni 2013, gejolak yang selama ini tersimpan di benak masyarakat Mesir hingga menggunung akhirnya meletus. Beberapa hari sebelumnya sudah ada tanda-tanda bahwa Mesir akan mengalami kesulitan. Kesulitan memilih antara dua hal yang sama-sama tak enak dikunyah apalagi ditelan. Rakyat terpecah menjadi dua golongan yang sama-sama bermassa besar. Pihak pro Dr. Muhammad Mursi dan Ikhwanul Muslimin dan pihak kontra (oposisi).

Dalam kejadian ini, banyak fatwa yang berterbangan di udara hingga menyusup ke dalam naluri masyarakat awam. Ada yang mengatakan ini konflik ideologi. Ini persetuan antara Islam dan sekuler atau liberal. Ini pertikaian antara orang yang beriman dengan orang yang ‘tidak begitu beriman’. Ini pergulatan antara pendukung demokrasi dan pembangkang hak asasi. Keluar untuk membela pemerintahan yang sah adalah jihad dan pemberontak termasuk dari golongan yang kafir dan tercabut identitas Islam dari dirinya.

Beragam fatwa yang memilukan khalayak ini dengan mudah dan cepat berkelebat di telinga masyarakat hingga menimbulkan berbagai propaganda. Masyarakat awam akan mudah mengimani bila kejadian ini diberi embel-embel perang ideologi, jihad antara umat Muslim dan kafir. Jihad memperjuangkan Islam. Jihad menentang sekulerisme dan liberalisme. Jihad agar Islam tidak lenyap. Siapa yang tidak ingin membela Islam, siapa yang tidak ingin memperoleh predikat syahid, siapa yang tidak marah jika mendengar Islam dihabisi.

Namun Ulama Sunni Rabbani yang diprakarsai oleh Grand Syaikh Al-Azhar Prof. DR. Ahmad Thayyib, Mantan Mufti Mesir Prof. DR. Ali Jumah, Penasehat Grand Syaikh Al-Azhar Syaikh Muhammad Muhanna, Habib Ali Jufri, Syaikh Osamah Sayyid, Syaikh Muiz Masud, dan ulama Al-Azhar yang lain mengatakan bahwa konflik Mesir saat ini bukanlah konflik ideologi atau agama. Namun hakikatnya adalah konflik politik. Dan mengkafirkan orang lain sebab urusan kekuasaan dan dunia tidak bisa dibenarkan oleh agama dan tidak sesuai syariat.

Memang, zaman ini politik identik dengan segala keburukan mulai dari nepotisme, korupsi, kecurangan, omong kosong, dll. Oleh karenanya ada sebagian kelompok yang mengeklaim atas nama Islam dengan terjun ke masyarakat untuk mendongkrak popularitas dan mencari massa. Sudah barang tentu masyarakat awam akan ‘mantuk-mantuk’ bila melihat kelompok tersebut ingin berpolitik secara Islami meskipun hakikatnya Islam hanya digunakan sebagai pembungkus.

Sudah waktunya masyarakat Indonesia cerdas dan mengerti bahwa berpolitik secara agamis berbeda dengan beragama secara politis. Bila anda berpolitik secara agamis berarti anda terjun ke dunia politik dengan cara yang diamini oleh agama. Seperti tidak ada kecurangan, kemunafikan, kebohongan, janji palsu, korupsi dan menjauhi segala tindakan yang tidak direstui oleh agama. Akan tetapi sangat berpunggungan bila anda beragama secara politis. Yaitu anda menjadikan agama sebagai cara atau siasat untuk memperoleh apa yang anda inginkan, baik itu kedudukan, kekuasaan, jabatan atau harta benda.

Setidaknya kita harus tahu mana orang atau golongan yang berpolitik secara agamis, dan mana kelompok atau personal yang beragama secara politis? Tentu untuk mengetahuinya harus melalui berbagai cara dengan membaca berbagai media, menelaah gerak-gerik orang atau golongan tersebut, dan tidak serta-merta percaya dengan orang atau golongan yang mengatasnamakan Islam tapi kaedah-kaedah yang diajarkan Islam justru lari dan jauh dari dirinya.

Semoga masyarakat Indonesia semakin cerdas dan tidak lagi tertipu oleh rumus-rumus agama yang diobral dengan tujuan dunia.

Catatan:
Politik adalah sesuatu yang pelik. Politik memang tak pernah sederhana. Politik tidak membincang siapa yang salah dan siapa yang benar. Politik adalah alat untuk menjadikan yang salah adalah benar dan yang benar menjadi salah. Berpolitik secara agamis amat berbeda dengan beragama secara politis. Pergumulan ideologi adalah pembungkus atau kepura-puraan untuk kegairahan kekuasaan dan jabatan. Dengan berdalih ini dan itu hanya untuk membangkitkan gelora kaum bawahan. Kaum yang tak begitu mengerti sejatinya garis-garis landasan yang disisirkan oleh agama. Atau mereka mengerti tapi tertipu dengan penampilan yang maha memesona. Dan akhirnya, saat mereka memahami dengan kebeningan sukma dan kenyataan mata, mereka akan menganggukkan kepala seraya berkata, "Oh, begini cara menguasai dunia".