30 Juni
2013, gejolak yang selama ini tersimpan di benak masyarakat Mesir hingga
menggunung akhirnya meletus. Beberapa hari sebelumnya sudah ada tanda-tanda
bahwa Mesir akan mengalami kesulitan. Kesulitan memilih antara dua hal yang
sama-sama tak enak dikunyah apalagi ditelan. Rakyat terpecah menjadi dua
golongan yang sama-sama bermassa besar. Pihak pro Dr. Muhammad Mursi dan
Ikhwanul Muslimin dan pihak kontra (oposisi).
Dalam
kejadian ini, banyak fatwa yang berterbangan di udara hingga menyusup ke dalam
naluri masyarakat awam. Ada yang mengatakan ini konflik ideologi. Ini persetuan
antara Islam dan sekuler atau liberal. Ini pertikaian antara orang yang beriman
dengan orang yang ‘tidak begitu beriman’. Ini pergulatan antara
pendukung demokrasi dan pembangkang hak asasi. Keluar untuk membela
pemerintahan yang sah adalah jihad dan pemberontak termasuk dari golongan yang
kafir dan tercabut identitas Islam dari dirinya.
Beragam fatwa yang memilukan khalayak ini dengan mudah
dan cepat berkelebat di telinga masyarakat hingga menimbulkan berbagai
propaganda. Masyarakat awam akan mudah
mengimani bila kejadian ini diberi embel-embel perang ideologi, jihad antara umat Muslim dan kafir. Jihad memperjuangkan
Islam. Jihad menentang sekulerisme dan liberalisme. Jihad agar Islam tidak
lenyap. Siapa yang tidak ingin membela Islam, siapa yang tidak ingin memperoleh
predikat syahid, siapa yang tidak marah jika mendengar Islam dihabisi.
Namun Ulama Sunni Rabbani yang diprakarsai oleh Grand
Syaikh Al-Azhar Prof. DR. Ahmad Thayyib, Mantan Mufti Mesir Prof. DR. Ali
Jumah, Penasehat Grand Syaikh Al-Azhar Syaikh Muhammad Muhanna, Habib Ali
Jufri, Syaikh Osamah Sayyid, Syaikh Muiz Masud, dan ulama Al-Azhar yang lain
mengatakan bahwa konflik Mesir saat ini bukanlah konflik ideologi atau agama.
Namun hakikatnya adalah konflik politik. Dan mengkafirkan orang lain sebab
urusan kekuasaan dan dunia tidak bisa dibenarkan oleh agama dan tidak sesuai
syariat.
Memang, zaman ini politik identik dengan segala keburukan
mulai dari nepotisme, korupsi, kecurangan, omong kosong, dll. Oleh karenanya
ada sebagian kelompok yang mengeklaim atas nama Islam dengan terjun ke
masyarakat untuk mendongkrak popularitas dan mencari massa. Sudah barang tentu
masyarakat awam akan ‘mantuk-mantuk’ bila melihat kelompok tersebut ingin
berpolitik secara Islami meskipun hakikatnya Islam hanya digunakan sebagai
pembungkus.
Sudah waktunya masyarakat Indonesia cerdas dan mengerti
bahwa berpolitik secara agamis berbeda dengan beragama secara politis. Bila
anda berpolitik secara agamis berarti anda terjun ke dunia politik dengan cara
yang diamini oleh agama. Seperti tidak ada kecurangan, kemunafikan, kebohongan,
janji palsu, korupsi dan menjauhi segala tindakan yang tidak direstui oleh
agama. Akan tetapi sangat berpunggungan bila anda beragama secara politis.
Yaitu anda menjadikan agama sebagai cara atau siasat untuk memperoleh apa yang
anda inginkan, baik itu kedudukan, kekuasaan, jabatan atau harta benda.
Setidaknya kita harus tahu mana orang atau golongan yang
berpolitik secara agamis, dan mana kelompok atau personal yang beragama secara
politis? Tentu untuk mengetahuinya harus melalui berbagai cara dengan membaca
berbagai media, menelaah gerak-gerik orang atau golongan tersebut, dan tidak
serta-merta percaya dengan orang atau golongan yang mengatasnamakan Islam tapi
kaedah-kaedah yang diajarkan Islam justru lari dan jauh dari dirinya.
Semoga masyarakat Indonesia semakin cerdas dan tidak lagi
tertipu oleh rumus-rumus agama yang diobral dengan tujuan dunia.
Catatan:
Politik adalah sesuatu yang pelik. Politik memang tak
pernah sederhana. Politik tidak membincang siapa
yang salah dan siapa yang benar. Politik adalah alat untuk menjadikan yang
salah adalah benar dan yang benar menjadi salah. Berpolitik secara agamis
amat berbeda dengan beragama secara politis. Pergumulan ideologi adalah
pembungkus atau kepura-puraan untuk kegairahan kekuasaan dan jabatan. Dengan
berdalih ini dan itu hanya untuk membangkitkan gelora kaum bawahan. Kaum yang
tak begitu mengerti sejatinya garis-garis landasan yang disisirkan oleh agama.
Atau mereka mengerti tapi tertipu dengan penampilan yang maha memesona. Dan
akhirnya, saat mereka memahami dengan kebeningan sukma dan kenyataan mata,
mereka akan menganggukkan kepala seraya berkata, "Oh, begini cara
menguasai dunia".