Jumat, 26 Juli 2013

Air... Air... Air... Mana Air?

Sore musim panas jauh lebih hangat ketimbang siang musim dingin. Kipasan angin tak bisa menghilangkan kegerahan tubuh yang selalu meminta untuk diguyur. Tenggorokan yang kian meringkai selalu teriak-teriak  memanggil es batu dalam kulkas. Ya, inilah musim panas di negeri lain. Tak akan pernah kurasakan jika kelak kembali ke pelukan Ibu Pertiwi.

Semenjak bulan lalu, aku meninggalkan asrama. Bukan karena ingin keluar atau dikeluarkan. Aku hanya ingin merasakan hidup di luar asrama. Di flat yang dihuni beberapa mahasiswa. Terlebih salah seorang temanku sedang berlibur, pulang kampung. Aku sebagai sahabat karibnya dengan segala kedermawananku, menawarkan kepadanya untuk menggantikan uang rumah bulanan dan sekaligus menetap di kamarnya selama ia liburan. Ia setuju. Tapi aku mengajukan syarat kepadanya. Syaratnya nanti jika ia sudah kembali ke Kairo, ia akan mengganti uangku. Hehehe

Sudah empat hari ini, rumah yang aku huni saat ini mengering. Rumah ini berada di lantai 5. Setiap lantai ada lima rumah. Jadi total seluruh rumah yang bertengger di gedung ini ada dua puluh lima. Sialnya, dua puluh lima rumah tak disertai dengan tabung air di atas gedung. Air bisa mengalir mengisi kran rumah-rumah hanya dengan bantuan mesin Sanyo. Naasnya, mesin Sanyo yang sudah menjadi nyawa kami beberapa hari ini hanya bisa batuk dan berdehem.

Sudah barang tentu, kami yang berada di lantai 5 menjadi korban permanen lantaran air yang didorong mesin Sanyo gelegapan hanya berputar di lantai 1 dan 2. Jangankan mandi, untuk kencing dan berwudu saja kami kebingungan. Hampir tiap hari kami mengungsi mandi di rumah teman. Kadang kami harus sembunyi-sembunyi mandi di kamar mandi masjid sebelah rumah, takut kena omelan maut bapak tua yang bersuara parau.

Sore ini tak jauh berbeda dengan sore-sore kerontang hari kemarin. Di kamar yang berukuran sedang ini, aku hanya dihibur dengan kipas angin, novel, dan nyanyian “Mimpi” yang dikicaukan oleh Anggun. Saat melepaskan mata dari rangkaian huruf dan kata Leila S. Chudori, aku mencoba melayangkan pandanganku ke sudut kamar dekat jendela. Ah, sungguh tak tahu diri makhluk itu. Lalat itu, ya sepasang lalat itu entah sengaja atau tidak, ia melemparkan lara pada diriku. Bagaimana tidak, dengan tanpa dosa sepasang lalat itu bergumul, saling tindih dan kecup. Sepasang lalat itu tiada malu bercumbu, saling gigit, hingga terbang bersama dengan keadaan masih saling tertancap satu sama lain.

“Dasar makhluk tak punya akal dan perasaan.” hardikku. Tidakkah ia sedikit berempati dan berbelas kasih pada kami yang masih lajang? Tidakkah ia mengerti bila manusia selepas berhubungan badan wajib mandi? Tidakkah ia tahu kami sedang jejaka dan sedang menanti bugarnya mesin Sanyo gedung rumah kami? Ah, biarlah! Toh hewan tercipta tanpa rasa, logika dan cinta.

Hush! Kenapa jemariku mengikutsertakan cinta? Ah, itu tak penting. Yang terpenting saat ini hanyalah aliran air yang menggelegar seperti minggu-minggu lalu. Hingga kami serumah tak ada yang mengungsi. Tak ada yang pening saat air seni memaksa keluar mencari tempat lain. Tak ada yang pusing kala butiran beras sudah saatnya menjadi gumpalan nasi dan siap dilahap. Tak ada yang resah saat perut tak henti-hentinya mempermainkan pemiliknya, menggoda, dan menuntut agar bekas makanan dilenyapkan melalui lubang pencetak kotoran.

Apa aku dan seisi rumah ikut saja berdemo dengan jutaan warga Mesir memprotes Presiden Morsi. Kalau warga Mesir menuntut Morsi lengser dari jabatannya, kami hanya menuntut dia mengganti mesin Sanyo kami dan membelikan kami tabung air yang besar sebagai tampungan. Tapi apa hubungannya Morsi dengan air rumah? Bukankah aksi protes harusnya ditujukan kepada tuan rumah? Ah, biar saja! Sudah dua bulan menetap, tuan rumah belum juga terlihat batang hidungnya. Atau, jangan-jangan tuan rumah kami memang Presiden Morsi?

Tanpa air, hidup terasa susah. Sebab semua yang hidup tercipta dari air. Memang Sang Maha Benar   selalu benar dalam tuturnya, “Dan Kami ciptakan dari air segala sesuatu yang hidup.” (QS. Al-Anbiya’:30)

Terasa hidup di gurun pasir. Air... Air... Air... Mana air?


Kairo/1/7/13

Tidak ada komentar:

Posting Komentar