Bung Karno…
Apa kabar
kau di tempat peristirahatanmu yang tenang?
Maaf,
mungkin aku tak patut memangilmu dengan panggilan “Bung” sebab kau sepadan
dengan kakekku. Tapi bagiku kau bukanlah seorang kakek tua yang mati lantaran
segalanya telah berakhir. Kau lebih dari itu. Kau selalu hidup. Kau selalu
menemani semua langkah rakyatmu kapan pun dan dimana pun. Namamu selalu
tertutur saat anak bangsa bercengkerama tentang kemerdekaan. Oleh karena itu,
perkenankan aku memanggilmu “Bung” karena kau tak pernah tua. Tak pernah mati.
Tak pernah hilang. Tak pernah musnah. Dan tak pernah senyap.
Bung Karno...
Ajari aku,
apa itu bangsa? Apa itu nasionalisme? Nasehati aku, apa itu cinta tanah air?
Apa itu kedaulatan? Ceramahi aku, bagaimana seharusnya anak bangsa membela
kehormatan bangsanya? Beritahu aku, kenapa wibawa negara bisa mengembang dan
pula mengempis? Apa sebab negeri kita semakin diinjak-injak oleh negeri lain,
Bung? Apa alasan para pemimpin kita
sekarang hingga mereka sudi mencium alas kaki para penguasa barat dan Amerika?
Bung, bicaralah jangan hanya diam! Gerakkan mulutmu yang masih mengatup itu!
Astaga, alih-alih kau bersuara, kau malah menitikkan air mata.
Bung Karno...
Sungguh, aku
kagum kepadamu. Dalam berpenampilan saja, kau mampu mengajak rakyatmu bagaimana
seharusnya bernegara? Pada tahun 1920-an kau tampil mengenakan peci hitam khas
melayu usai kau melihat tukang sate bertelanjang kaki dan dada peci sebagai
penghias kepala. Dengan peci hitam itu kau tampak berwibawa, Bung. Tahun 1945
dengan bangganya kau desain sendiri baju safari dengan kantong ala perwira,
seakan kau ingin mengajarkan pada rakyat saat itu adalah masa geting, keadaan
masyarakat labil dan negara carut marut butuh tongkat yang kuat untuk
berpegangan.
Bung Karno...
Entah,
berapa kali kau masuk keluar penjara? Diasingkan kesana-kemari hanya untuk
kedaulatan sebuah bangsa. Tidak seperti pemimpin negeri kita saat ini, Bung.
Justru mereka takut dipenjara lantaran telah mengeruk uang negara. Hai Bung,
mengapa air matamu semakin deras? Sekalah sejenak sampai aku selesai bicara. Oh
iya Bung, dulu kau pernah berkata, "Perjuanganku lebih mudah karena
mengusir penjajah. Perjuanganmu lebih sulit karena akan melawan bangsamu
sendiri."
Bung Karno...
Kemerdekaan
telah kita raih tapi aku tak paham apa itu kemerdekaan? Sebab apa yang aku
pelajari di sekolah sangat bertolak-belakang dengan apa yang aku dengar dan
baca di berita? Sebenarnya apa hakikat kemerdekaan, Bung? Tapi aku masih hafal
dan ingat penggalan pidatomu tahun 1948 : “Kemerdekaan tidak menyudahi
soal-soal, kemerdekaan malah membangun soal-soal, tetapi kemerdekaan juga
memberi jalan untuk memecahkan soal-soal itu. Hanya ketidak-kemerdekaanlah yang
tidak memberi jalan untuk memecahkan soal-soal ... Rumah kita dikepung, rumah
kita hendak dihancurkan .... Bersatulah Bhinneka Tunggal Ika. Kalau mau dipersatukan,
tentulah bersatu pula.”
Meski aku
tak paham betul tapi itulah jawabanku ketika ditanya orang, apakah makna
kemerdekaan?
Bung Karno...
Ada beberapa
hal yang menggelitik bagiku mungkin juga bagimu. Mau tahu kah kau apa itu?
Usaplah dulu pipimu yang penuh akan luapan kesedihan itu. Bung, saat ini
Indonesia hanya milik orang Islam. Slogan yang dulu selalu kau gadang-gadang
“Bhineka Tunggal Ika” kini luntur hingga melebur. Pancasila yang dulu kau
rembukkan dengan para perintis negara hendak dihapus dan diganti. Dan kata
“Presiden” ingin dirubah menjadi “Khalifah”. Tahu kah kau Bung, mereka hanyalah
anak bangsa yang mempelajari islam hanya sebaris dua baris. Mereka bukan
se-level KH. Ahmad Dahlan, KH. Hasyim As’ary, KH. Agus Salim, KH. Wachid Hasyim
yang notabene mereka menguasai Islam secara utuh hingga melalang-buana mencari
ilmu di belantara Timur-Tengah.
Dan yang
paling membuat bibir kita tersungging, identitas seorang muslim kini dijadikan
syarat mutlak dalam pemilihan umum pemimpin kita, Bung. Sebagian ulama
mengharamkan memilih calon pemimpin yang non muslim dengan berdalih ini-itu.
Tapi bukankah dulu kau sangat dekat dan sering bermusyawarah tentang pembebasan
kedaulatan bangsa dengan Alexander Andries Maramis yang beragama kristen, Bung?
Satu lagi, Bung. Ada anak bangsa yang ngotot ingin jadi Presiden sebab ada dorongan
hati untuk membenahi negara ini.
Awalnya, kita salut sebab tujuan sucinya itu
sangat menyentuh hati namun untuk apa tujuan suci jika tidak dibarengi dengan keahlian
dan kecakapan bernegeri. Bung, bisakah mempersatukan rakyat ini hanya dengan
sebuah lirik lagu? Mampukah menentramkan perut masyarakat dengan rangkaian
kalimat ceramah? Sedang APBN ini dan itu, dia tak tahu menahu. Bukankah kau
pernah melantangkan suaramu saat upacara peringatan kemerdekaan negara tahun
1950:
"Janganlah
mengira kita semua sudah cukup berjasa dengan turunnya sitiga warna. Selama
masih ada ratap tangis digubuk-gubuk, belumlah pekerjaan kita selesai!
Berjuanglah terus dengan mengucurkan sebanyak-banyaknya keringat."
Bung Karno...
Aku tak akan
mengungkit sebab-sebab kau dipaksa mundur dari jabatan Presiden. Karena bagiku
kau lebih dari Presiden. Aku pun tak akan membeberkan nama-nama istrimu. Sebab
alam pemikiranmu lebih indah dan berhikmah ketimbang kehidupan pribadimu. Dan
jua aku tak ingin mengingat-ingat cerita kematianmu yang amat tragis, Bung.
Lantaran kau selalu hidup bersama Indonesiamu.
Bung karno...
Ajari dan
didik aku agar diriku terhiasi sifat dan sikap nasionalisme. Berbicaralah,
sungguh akan aku dengarkan. Aku catat, bahkan aku rekam kuliah singkat darimu.
Tak perlu kau ajarkan ilmu politik kepadaku seperti Tjokroaminoto mengajarimu.
Cukup kau ajari aku bagaimana seharusnya ucap dan sikap anak bangsa?
Bung, saat
ini aku berada di negeri keduaku, Mesir. Negara pertama bersama Palestina yang
mengakui kedaulatan negeri kita, Indonesia. Kau tak hanya sekali ke sini, Bung.
Kau teman karib Jamal Abdul Nasher kan? Hah! Kau bilang tak ada negeri kedua? Oh.
Maaf, Bung. Maafkan aku. Aku belum begitu mengerti makna nasionalisme sehingga
aku sebut Mesir sebagai negeri keduaku. Baik, mulai saat ini negeriku hanya
satu, tanah air Indonesia. Tapi Bung, bukankah Presiden kita yang sekarang
pernah bertutur bahwa, “Amerika Serikat adalah negeri kedua saya. Saya
mencintainya dengan berbagai kesalahannya.” Kalau tak salah, itu diucapkannya
saat dia menjadi salah satu menteri putrimu.
Bung Karno...
Bukan
maksudku sok tahu politik dan kemaruk akan kesemrawutan negara.
Tapi setidaknya, aku yang alumni pesantren dan sedang menimba ilmu jauh dari
ibu pertiwi, tahu dan tidak apatis tentang apa yang terjadi di negeri kita. Aku
tak mau kalah dengan para mahasiswa –Trisakti- yang tak hanya membaca dan
menghafal diktat kuliah saja tapi dengan semangat kebangsaannya telah mampu
meruntuhkan kekuasaan penuh kolusi dan nepotisme Soeharto yang dulu pernah
menyalahgunakan wewenang yang kau amanatkan, Bung. Apakah aku salah lagi, Bung?
Syukurlah, jika kau menggelengkan kepala. Motto hidupmu selalu tertancap di
sanubariku Bung, "Bermimpilah setinggi langit. Jika engkau jatuh,
engkau jatuh di antara bintang-bintang."
Bung Karno...
Jika kelak
aku sudah menginjakkan kaki lagi di negeri kita, aku janji akan mengabdi. Tak
harus di kursi pemerintahan tapi juga bisa di kampung-kampung dan kelurahan.
Tak harus mengais gaji besar hingga jadi orang kaya sebab aku di sini
difasilitasi dan diberi beasiswa.
Bung Karno...
Baiklah,
jika kau masih tak kuasa menahan sesenggukan tangis, aku tak akan memaksamu
mengajariku hakikat kedaulatan bangsa. Tapi aku kagum kepadamu. Kau tak hanya
seorang artifisial yang mampu membuat rakyatmu terkesima akan penampilanmu tapi
kau sosok yang mempunyai alam pemikiran luas dan dalam terhadap bangsa. Tidak
seperti mereka yang sibuk mencari muka, menebar pesona di depan kamera.
Kau mampu
merubah negeri ini. Negeri kerdil yang dijajah berabad-abad lamanya hingga
menjadi negara merdeka yang mampu mengibarkan sangsaka merah-putih sebagai
simbol negara. Kau mendongakkan kepala di depan para pemimpin negara tatkala
bangsamu baru seumur jagung Jawa. Seakan kau tunjukkan dunia seberapa besarnya
wibawa dan kehormatan bangsa kita.
Bung Karno...
Sudahlah,
kembalilah kau ke tempat peristirahatanmu. Usaplah air matamu dan basuhlah
wajah bengkakmu yang penuh kerutan itu. Terima kasih, setidaknya kau
mengajariku nasionalisme tingkat dasar tak ada negeri kedua selain Nusantara -
Indonesia. Doaku selalu menyertaimu.
Kairo, 12-12-2012
Tidak ada komentar:
Posting Komentar