Selasa, 04 Desember 2012

Arti Namaku itulah Aku*


Sangat nyaman dan segar. Memang Tuhan tak pernah salah dalam setiap keputusan-Nya. Ia jadikan zuhur salah satu waktu salat untuk menyelamatkan kepala manusia dari panasnya sengatan matahari. Setelah kuguyur semua bagian kepala dan kusempurnakan wudu, aku bergegas mengisi saf yang ada. Barisan salat lengang, sepertinya sebagian besar mahasiswa masih ada mata kuliah. Berbeda dengan fakultasku, Tafsir-Hadist, setiap hari kamis kami hanya terbebani satu mata kuliah.

Sudah sewajarnya sebagai mahasiswa IAIN Surabaya yang telah menginjak semester 7 dan hampir mendapatkan gelar sarjana mempunyai laptop dan sepeda motor. Namun itu bukan diriku. Aku hanya anak seorang petani yang mengandalkan beasiswa untuk bisa bertahan hidup di kota metropolitan ini. Hanya bermodal komputer butut yang aku beli dari salah seorang teman dengan pembayaran berangsur, aku bisa melalui hari-hari study-ku di universitas paling terkemuka di Jawa Timur. Juga tak jarang tulisan-tulisanku termuat di salah satu media terkenal Surabaya. Lumayan untuk meringankan biaya kos yang mencekik. Untuk bepergian, jelas aku bertumpu pada kedua kakiku dan angkutan umum.

Setelah salat, aku sempatkan membeli kertas A4 dan tinta print di belakang kampus. Lalu menunggu angkutan umum menuju rumah temanku. Ia memintaku menemaninya membeli HP Blackberry keluaran terbaru. Ah, orang berduit memang tak ada puasnya dengan dunia. Aku saja tak pernah ganti HP semenjak meninggalkan kampung halaman, setia pada Nokia 3210.

Bemo yang digambarkan oleh temanku lewat telepon tadi datang. Aku lambaikan tanganku, lalu aku duduk di kursi pojok sebelah kanan. Hanya ada lima orang yang masih sudi naik angkutan umum semacam ini karena sebagian besar orang metropolitan lebih memilih membeli motor ketimbang berpanas-panasan menunggu angkutan umum.

Sekitar seratus meter sopir menjejakkan kakinya, naiklah seorang perempuan berkerudung hitam panjang. Aku taksir dia juga mahasiswi, tetapi biarlah aku tak mengenalnya. Tak lama kemudian, bemo berhenti hendak menaikkan seorang gadis cantik, putih berpakaian minim. Sangat minim. Ia mengenakan kaos putih ketat tak berlengan dan hampir memperlihatkan seluruh dadanya. Hanya 20 cm rok hitam yang membalut bagian bawahnya. Astaghfirulloh, kenapa aku sejeli itu menilainya. Astaghfirulloh, bukankah hari ini aku sedang berpuasa?. Kucerca diriku berkali-kali seraya meminta ampun kepada sang Rabbi.

Allah, gadis itu duduk tepat di depanku. Pojok sebelah kiri di samping perempuan berkerudung panjang tadi. Darahku berhenti mengalir. Tanganku mengepal. Kupejamkan mataku sembari beristighfar. Hatiku mendesah, "Tuhan, aku sedang berpuasa. Huh, anak siapakah gadis itu? Apa orang tuanya tidak mengajarkan tata cara berpakaian? Atau cuaca panas Surabaya menjadi alasan ia mengumbar auratnya?”

Ia berusaha menutup paha mulusnya dengan buku diktat kuliah yang ia bawa, Estetika Sastra Indonesia. Di pojok cover depan tertulis namanya Aisyah Qonita Bella. Aku tercengang usai membaca namanya. Mataku melotot seakan tak terima. Kesekian kalinya hatiku bergemuruh, "Bagaimana tidak memalukan seorang gadis yang bernama istri Rasul berpakaian seperti ini?." Lagi-lagi aku kesal dibuatnya. Seakan-akan islam hanya sebuah legalitas agama belaka. Sangat kontras kedua wanita yang kini ada di depan mataku. Seolah terpandang jauh antara surga dan neraka. Namun nuraniku menepisnya. Bukankah sabda Nabi menjelaskan bahwa ada seseorang yang rutin mengamalkan amalan ahli surga tetapi di sisa hidupnya ia berbalik mengamalkan amalan ahli neraka lalu mati dengan cap PENGHUNI NERAKA. Ah, entahlah. Aku tak mau menghakimi orang lain.

Di kantor pos depan aku akan turun. Rumah temanku tak jauh dari kantor pos itu. Dengan berat hati aku beranikan sedikit bertanya kepada gadis berpakaian mini tadi, "Mbak, tahu gak apa artinya Aisyah Qonita Bella?"

"Gak tahu, Mas." Jawabnya kaget karena ada yang memberinya perhatian.

"Seorang perempuan yang tunduk kepada Allah." singkatku. "Kiri pak sopir." Aku turun dan membayar ongkos bemo lalu berjalan tak menghiraukan gadis itu. Aku berhak muak dengan penampilannya, karena terumbarnya aurat bisa mengkembang-kempiskan imanku. Ah, bukannya aku sok suci tapi ini ajaran agamaku, agama gadis itu dan agama kita. Ini syariat dan prinsip agama bukan harga suatu barang pasar yang bisa ditawar. "Kehidupan kota sangat memilukan. Tak jauh beda juga dengan desa. Jika di kota para gadis cantik yang berpakaian minim tetapi di desa para nenek tua yang hanya berpakaian selembar-dua lembar kain." Senyumku hampa.

****  

Setelah mandi, salat maghrib dan berbuka, seperti biasa kubaca Alquran. Kurampungkan hingga akhir surat Al-Ahzab sebab targetku setiap bulan bisa menamatkan Alquran. Tak lama setelah itu, HP tuaku berdering. Rupanya ada sebuah pesan masuk :

Aslmkum. Mas Mustafa ya?trims ya udh ngasih tahu arti namaku tdi. Ni diktat kuliah mas ktinggln dbemo. Skli lg trm ksh ats ilmux. Aisyah jd sdar gmn shrsnya mnjdi prmpuan n Aisyah jnji ma dri Aisyah sndr mlai skrg brpkain rapi n brkerdung. Trms ya?
Aisyah Qonita Bella

Astaghfirulloh, kenapa aku sampai lupa dengan diktat kuliahku. Untung di setiap buku diktatku aku cantumkan nomor HPku agar jika hilang atau terbawa oleh teman bisa dikembalikan dengan mudah. Namun biarlah mungkin kejadian ini alat untuk mengingatkan gadis itu.

Wlkmslmwrwb. Iya sm2 mbk kt slng mngingtkan ssma mslim. Alhmdlh klo mbk skrg sdar. Wah gmn aku hrs ngmbilx mbk? Balasku.

Gni ja sbtu bsok aku ksong gk da makul. Ntr aku antr ke kmps IAIN deh? Gmn?  

Okey. O, iya baca terjemahan Alquran surat Al-Ahzab ayat 59, ya?

Siap. Singkatnya.

Alhamdulillah, setetes kasih sayang petunjuk Allah telah jatuh hari ini teruntuk hambanya. Aisyah Qonita Bella.


Kairo, 27 Agustus 2012

*Sebuah Cerpen Fiksi yang masih merah (Amatiran)


Tidak ada komentar:

Posting Komentar