Senin, 15 April 2013

Kasih-Sayang Tanpa Berebut Surga

Aku sangat bersyukur terlahir dalam keadaan memeluk agama Islam. Padahal pertama kali yang keluar dari mulutku saat selamat dari rahim bukan dua kalimat pengakuan melainkan hanya rengekan seorang bayi yang kaget merasakan alam baru, terpaksa menatap dunia yang semerawut dengan ini dan itu, meninggalkan hangatnya kandungan sang ibu. Tak lama setelah merasakan sesuatu yang baru, bapak mengumandangkan azan tepat di telinga kananku. Lalu aku tumbuh bak balita lainnya, kemudian mengenyam pendidikan sekolah, sempat  menikmati kehidupan pesantren hingga merantau jauh mencari ilmu di sebuah negeri yang sarat akan peradaban dan pengetahuan.

Di negeri ini aku tidak hanya diajarkan syariat dan aqidah tapi juga akhlak.  Ya, budi pekerti. Aku menjadi tahu bagaimana berinteraksi dengan sesama kaum yang seiman denganku. Aku juga semakin paham seperti apa mestinya aku bersosial dengan umat yang berseberangan keyakinan. Karena bumi Tuhan amatlah luas dan tidak hanya untuk mereka yang taat mengesakan, namun juga mereka yang menduakan bahkan pula untuk golongan yang tak mengakui keberadaan Tuhan. Di situlah aku menemukan sifat Tuhan yang paling agung. Sifat yang selalu aku ikrarkan pertama kali di setiap sikap dan ucapku, ar-Rahman. Memang, kasih-sayang Tuhan di dunia tak terbatas dan untuk siapa saja yang pernah menghembuskan nafas. Tapi mengapa Tuhan dengan mudah membentangkan selimut hangat-Nya? Bukankah Ia berhak pilih kasih dari siapa saja yang memadu-Nya?

Setelah beberapa saat merenung dan mengingat-ingat, terlintaslah di pikiranku sebuah firman Tuhan yang berbunyi, “Tidaklah Kami (Allah) mengutusmu (Muhammad) melainkan sebagai penebar kasih sayang untuk sekalian alam.” Ini merupakan salah satu dari tujuan pokok risalah yang diemban oleh Nabi Muhammad Saw, yaitu kasih-sayang. Aku rasa semua manusia butuh sebuah kasih-sayang. Seorang anak takkan pernah luput akan kasih-sayang orang tua. Murid selalu membutuhkan kasih-sayang guru. Istri setiap saat mendamba kasih-sayang suami. Betapa pentingnya kasih-sayang hingga kelak tatkala manusia berkumpul menjadi satu di tanah lapang, mereka mengelu-elukan kasih-sayang Tuhan.

Sejatinya tak ada agama yang terlepas dari kasih-sayang. Semua agama sepakat bahwa kasih-sayanglah yang menciptakan kerukunan antar sesama, memberikan ketentraman para pemeluk agama, dan mendamaikan segala perbedaan manusia. Hakikatnya tak ada agama yang menyabdakan peperangan tanpa alasan, tak ada agama yang mudah menghalalkan pertikaian, dan tak ada agama yang mengedarkan benci, luka, dan derita. Tapi sayang, justru mata hati kita yang sering tertutup rapat hingga benang-benang cinta antar sesama memudar dan dengan gampang tergantikan oleh rantai permusuhan.

Aku semakin bingung dengan dewasa kini. Entah, seakan agamaku –Islam- menjadi sebuah anutan yang sempit dan dangkal. Hanya bendera Islam saja yang berkibar lebar namun tak sadar bahwa kibarannya hanya setengah tiang. Semua mengeklaim pengikut Rasul Muhammad, mengaku menapaki jalan para sahabat, menggembar-gemborkan kembali ke al-Quran dan Sunnah dengan tanpa sadar bahwa wujud keduanya untuk membumikan Islam bukan malah mengkotak-kotakkan Islam dan menjauhkan Islam dari pemeluk agama lain. Saat kita bersalaman dan berangkulan dengan umat lain, dianggap tidak baik. Kita moderat dan terbuka, disebut liberal. Kita tak sepakat, dibilang sesat. Kita tak sependapat, dicap laknat.

Bukankah Rasullullah tak pernah absen dalam hidupnya menyuapi seorang yahudi yang setiap saat mencelanya? Bukankah Madinah, bumi pijakan Nabi, dulunya dikuasahi penduduk Yahudi hingga menjadi pusat tersebarnya Islam tanpa menggeser sepetak tanah mereka? Bukankah itu kasih-sayang? Tidakkah hijrah pertama kali adalah berlindung di negara yang notabene warga dan rajanya memeluk agama Nashrani, Habasyah? Tidakkah sahabat Umar bin Khattab mempersilahkankan umat Nashrani hidup berdampingan tatkala Islam telah menaklukkan Yerussalem? Tidakkah ini kasih-sayang? Lantas, kasih-sayang macam apa yang harus kita tafsirkan?

Hari ini umat Islam bingung memilih mana pendapat yang paling argumentatif dalam mengucapkan “Selamat Natal” bagi kaum Kristiani. Mereka sibuk mencari kesalahan lawan yang berseberangan pandangan hingga lupa bahwa lawannya adalah saudara seiman. Hingga menganggap kafir, syirik, sesat dan neraka. Bukankah yang terpenting adalah kasih-sayang? Bukan hanya sebuah ucapan. Ingat, kasih-sayang!

Sudahlah, kita tinggalkan saja masalah yang hukumnya masih diperdebatkan. Kita boleh tidak mengucapkan dan juga boleh mengucapkan sebab keduanya disokong bukti-bukti yang kuat. 

Tapi yang dibutuhkan oleh umat kristiani dan kaum lainnya bukanlah itu semua, mereka amat mengharap kasih-sayang kita antar sesama guna bisa hidup berdampingan, saling rukun dan menyapa, saling berangkulan dan bertegur sapa, saling memberi dan menerima, saling mengingatkan dan mengajak kebajikan. Namun tetap pada keyakinan masing-masing tanpa berebut dan saling menyikut siapa benar dan siapa salah? Siapa surga dan siapa neraka?


Kairo, 25 Desember 2012

Tidak ada komentar:

Posting Komentar