Aku sangat
bersyukur terlahir dalam keadaan memeluk agama Islam. Padahal pertama kali yang
keluar dari mulutku saat selamat dari rahim bukan dua kalimat pengakuan
melainkan hanya rengekan seorang bayi yang kaget merasakan alam baru, terpaksa
menatap dunia yang semerawut dengan ini dan itu, meninggalkan
hangatnya kandungan sang ibu. Tak lama setelah merasakan sesuatu yang
baru, bapak mengumandangkan azan tepat di telinga kananku. Lalu aku
tumbuh bak balita lainnya, kemudian mengenyam pendidikan sekolah, sempat menikmati kehidupan pesantren hingga merantau
jauh mencari ilmu di sebuah negeri yang sarat akan peradaban dan pengetahuan.
Di negeri ini aku tidak hanya diajarkan syariat dan aqidah
tapi juga akhlak. Ya, budi pekerti. Aku
menjadi tahu bagaimana berinteraksi dengan sesama kaum yang seiman
denganku. Aku juga semakin paham seperti apa mestinya aku bersosial dengan umat
yang berseberangan keyakinan. Karena bumi Tuhan amatlah luas dan tidak hanya
untuk mereka yang taat mengesakan, namun juga mereka yang menduakan bahkan pula
untuk golongan yang tak mengakui keberadaan Tuhan. Di situlah aku menemukan
sifat Tuhan yang paling agung. Sifat yang selalu aku ikrarkan pertama kali di
setiap sikap dan ucapku, ar-Rahman. Memang, kasih-sayang Tuhan di dunia
tak terbatas dan untuk siapa saja yang pernah menghembuskan nafas. Tapi mengapa
Tuhan dengan mudah membentangkan selimut hangat-Nya? Bukankah Ia berhak pilih
kasih dari siapa saja yang memadu-Nya?
Setelah
beberapa saat merenung dan mengingat-ingat, terlintaslah di pikiranku sebuah
firman Tuhan yang berbunyi, “Tidaklah Kami (Allah) mengutusmu (Muhammad)
melainkan sebagai penebar kasih sayang untuk sekalian alam.” Ini merupakan salah satu
dari tujuan pokok risalah yang diemban oleh Nabi Muhammad Saw, yaitu
kasih-sayang. Aku rasa semua manusia butuh sebuah kasih-sayang. Seorang anak
takkan pernah luput akan kasih-sayang orang tua. Murid selalu membutuhkan
kasih-sayang guru. Istri setiap saat mendamba kasih-sayang suami. Betapa
pentingnya kasih-sayang hingga kelak tatkala manusia berkumpul menjadi satu di
tanah lapang, mereka mengelu-elukan kasih-sayang Tuhan.
Sejatinya tak ada agama yang terlepas dari kasih-sayang.
Semua agama sepakat bahwa kasih-sayanglah yang menciptakan kerukunan antar
sesama, memberikan ketentraman para pemeluk agama, dan mendamaikan segala
perbedaan manusia. Hakikatnya tak ada agama yang menyabdakan peperangan tanpa
alasan, tak ada agama yang mudah menghalalkan pertikaian, dan tak ada agama
yang mengedarkan benci, luka, dan derita. Tapi sayang, justru mata hati kita
yang sering tertutup rapat hingga benang-benang cinta antar sesama memudar dan dengan
gampang tergantikan oleh rantai permusuhan.
Aku semakin bingung dengan dewasa kini. Entah, seakan
agamaku –Islam- menjadi sebuah anutan yang sempit dan dangkal. Hanya bendera
Islam saja yang berkibar lebar namun tak sadar bahwa kibarannya hanya setengah
tiang. Semua mengeklaim pengikut Rasul Muhammad, mengaku menapaki jalan para
sahabat, menggembar-gemborkan kembali ke al-Quran dan Sunnah
dengan tanpa sadar bahwa wujud keduanya untuk membumikan Islam bukan malah
mengkotak-kotakkan Islam dan menjauhkan Islam dari pemeluk agama lain. Saat
kita bersalaman dan berangkulan dengan umat lain, dianggap tidak baik. Kita moderat
dan terbuka, disebut liberal. Kita tak sepakat, dibilang sesat. Kita tak sependapat,
dicap laknat.
Bukankah Rasullullah tak pernah absen dalam hidupnya
menyuapi seorang yahudi yang setiap saat mencelanya? Bukankah Madinah, bumi
pijakan Nabi, dulunya dikuasahi penduduk Yahudi hingga menjadi pusat
tersebarnya Islam tanpa menggeser sepetak tanah mereka? Bukankah itu
kasih-sayang? Tidakkah hijrah pertama kali adalah berlindung di negara yang
notabene warga dan rajanya memeluk agama Nashrani, Habasyah? Tidakkah sahabat
Umar bin Khattab mempersilahkankan umat Nashrani hidup berdampingan tatkala
Islam telah menaklukkan Yerussalem? Tidakkah ini kasih-sayang? Lantas,
kasih-sayang macam apa yang harus kita tafsirkan?
Hari ini umat Islam bingung memilih mana pendapat yang
paling argumentatif dalam mengucapkan “Selamat Natal” bagi kaum Kristiani.
Mereka sibuk mencari kesalahan lawan yang berseberangan pandangan hingga lupa
bahwa lawannya adalah saudara seiman. Hingga menganggap kafir, syirik, sesat
dan neraka. Bukankah yang terpenting adalah kasih-sayang? Bukan hanya sebuah
ucapan. Ingat, kasih-sayang!
Sudahlah, kita tinggalkan saja masalah yang hukumnya
masih diperdebatkan. Kita boleh tidak mengucapkan dan juga boleh mengucapkan
sebab keduanya disokong bukti-bukti yang kuat.
Tapi yang dibutuhkan oleh umat
kristiani dan kaum lainnya bukanlah itu semua, mereka amat mengharap
kasih-sayang kita antar sesama guna bisa hidup berdampingan, saling rukun dan
menyapa, saling berangkulan dan bertegur sapa, saling memberi dan menerima,
saling mengingatkan dan mengajak kebajikan. Namun tetap pada keyakinan
masing-masing tanpa berebut dan saling menyikut siapa benar dan siapa salah?
Siapa surga dan siapa neraka?
Kairo, 25 Desember 2012
Tidak ada komentar:
Posting Komentar