Sebagai lelaki biasa dan normal, tentunya,
saya pernah mengalami bagaimana rasanya jatuh hati. Eh, jatuh cinta. Halah,
entahlah mana yang benar dari dua frase kata itu. Tapi saya benar-benar
merasakan arti sebuah cinta setelah saya menginjak masa-masa SMA. Sungguh benar
lagu yang mendendangkan lirik: Tiada masa paling indah … masa-masa di
sekolah. Tiada kisah paling indah … kisah-kasih di sekolah.
Semenjak SMA, saya baru tahu bagaimana
seharusnya mencintai seorang perempuan. Kala itu pula, saya mencoba merasakan
dan berpikir bagaimana cara terbaik memperlakukan perempuan sebaik mungkin. Saya
juga harus berlaku bijak, karena posisi saya saat itu sangat sulit untuk bisa
mencintai seorang perempuan lantaran saya dan dia berada di pesantren yang sama
dan hanya bisa bertemu di sekolah.
Mulanya saya tak sampai hati dan tak
menyangka bisa meliriknya. Ya, kisah kami berawal dari salah seorang teman saya
yang menyukainya dan menjadikan saya sebagai “Pak Pos” yang menyampaikan “salam”
kepadanya. Lama-lama dia justru bertanya kepada saya, “Kenapa salamnya tidak
dari situ aja?”
Dari situlah, lambat laun dia semakin “berani”
“menggoda” perasaan saya dengan pancingan kata-kata yang sedikit “nakal”. Saya pun
tak menganggap itu serius, itu hanya
dagelan belaka mengingat dia suka bercanda, menyampaikan
kata-kata itu dengan bibir menungging, dia cantik, mancung dan satu lagi; Dia
anak seorang kyai besar di daerah asalnya. Alasan terakhir yang paling saya
takuti lantaran saya tahu diri. Tapi entah bagaimana, nasi punel yang baru
masak tiba-tiba jadi nasi goreng. Saya kalah dengan perasaan. Ketidaktahuandiri
saya terenyahkan dengan sebuah kata -yang saya sebut- cinta. Kami pun
menjalaninya hingga 4 tahun lebih, sangking
lamanya, sampai-sampai mengalahkan orang-orang yang
mengkredit motor.
Sesampai di tempat rantauan yang jauh dari
Ibu Pertiwi, kami masih menjalani masa-masa itu hingga Tuhan berkehendak lain. Tuhan
memang Maha Pemurah dan Pengasih serta Kuasa melakukan apapun. Tuhan pilihkan
seorang yang saleh, mapan, dan bertanggung jawab untuknya. Perjanjian sucipun
diucapkan dan sah; ia menjadi istri orang lain.
Perpisahan kami bukanlah salah dia. Sekali
lagi bukan salah dia. Apalagi salah Tuhan. Saya berlindung dari menyalahkan
Tuhan sebab Tuhan Sang Maha Benar atas segala apa yang telah menjadi ketentuan-Nya. Sayalah yang
salah. Saya yang terlalu dalam memberinya cinta. Saya yang terlalu jauh
berjanji dengan seluruh hal-hal yang masih semu dan abu-abu. Saya yang telat dan
belum siap dalam semua hal tentang pernikahan. Ya, sayalah yang salah.
Kurang lebih demikian cerita
singkat tentang Sang Mantan saya yang pertama. Jangan khawatir, saya tak punya banyak mantan kok. Sengaja saya sebut “Sang”,
karena saya wajib memuliakan mereka yang pernah mengajari saya bagaimana
seharusnya mencintai seorang wanita meskipun berujung dengan kisah duka.
Ada satu lagi Sang Mantan saya. Dia masih
sangat muda dan duduk di kursi SMA. Lagi-lagi saya tak bisa mengelak dari
perempuan berhidung mancung. Dia pintar, berwawasan luas, dan mau menerima saya
dengan segala kekurangan dan keburukan saya. Berawal dari kenalan melalui sosial
media, diskusi, dan sesekali berdebat, hubungan kami pun menepi dan berhenti
beberapa bulan setelah itu.
Bukan salah dia, dan saya tak pernah
menyalahkannya. Hanya saja saya yang kurang sabar dan bijak dalam menyikapi
kelabilannya dan –mungkin- kekanak-kanakannya. Terkadang dia marah,
kesal, dan cemburu. Tapi saya yang membuatnya marah,
kesal, dan cemburu, justru tak bisa meredam dan menghilangkan marah, kesal, dan
cemburunya. Ia pun tak bisa lama-lama bersama saya; lelaki yang
tak pernah bijak dan benar dalam menyikapi dan menghadapi seorang wanita yang
dicintai dan mencintainya.
Apa tujuan
saya menulis kisah dua Sang Mantan saya ini? Saya tidak ada niatan buruk dan
jahat supaya bisa mengambil simpati dan empati dari dua mantan saya. Sama sekali
tidak. Hanya saja saya bangga dan bersyukur bisa mencintai dan dicintai dua
perempuan hebat dan mancung itu. Saya selalu berharap mereka bahagia dengan
pasangan mereka masing-masing. Dan semoga kekurangan dan keburukan yang mereka
jumpai di diri saya tidak ada yang mereka temui di diri pasangan mereka
masing-masing.
Tulisan ini juga
–mudah-mudahan- menjadi pelajaran bagi saya dan –mungkin- pembaca, bahwa jangan
-seperti saya yang- terlalu dalam mencintai pasangan yang belum menjadi hak
milik kita seutuhnya. Dan bila kita sudah berpasangan secara sah, sudah
sepatutnya kita mensyukurinya dengan mencintai pasangan kita dengan dalam, utuh
dan seluruh.
bagus bwt pelajaran ust
BalasHapusAssalamu'alaikum Mas, memang remuk redam ketika sang mantan memutuskan untuk bersanding dengan yang lain. Tetapi saya ingin menanyakan, kira-kira apa yang alasan Mas-Mas untuk tidak segera melamar sang kekasih? Beberapa teman seringkali dirundung galalu tentang kekasih yang tidak jelas mau dibawa ke mana arah kisah mereka. Ingin saya menjawab teman-teman yang bertanya, tetapi saya pun tak tahu bagaimana sudut pandang pihak laki-laki terkait hal ini. Terima kasih. Salam kenal, Rifkul
BalasHapus