Setelah para
ulama Al-Azhar dicerca, dihina, dan direndahkan pasca revolusi 30 Juni
lalu, banyak mahasiswa Indonesia di
Mesir (baca: Masisir) yang memilih ‘mendekat’ kepada para
ulama Al-Azhar. Di antara mereka ada yang mulai mengikuti halaqah-halaqah
keilmuan para ulama Al-Azhar, baik di Masjid Al-Azhar atau di tempat lain. Ada
juga yang bertandang ke rumah salah seorang syekh untuk bersilaturahmi. Ada
pula yang menghadirkan salah seorang syekh untuk mengisi acara seminar di
kawasan pemukiman Masisir. Kedekatan dengan para ulama Al-Azhar yang seperti
inilah yang sudah selayaknya digadang-gadang guna mendapatkan kucuran ilmu dan
percikan keberkahan para ulama Al-Azhar.
Namun, agaknya
ada sedikit yang kurang elok dalam proses pendekatan
tersebut. Akhir-akhir ini Masisir dirundung tren baru, yaitu berpose bersama
syekh lalu diup-load di media jejaring sosial dengan tujuan yang bermacam-macam. Tentunya,
pembaca sudah dapat menangkap sendiri apa tujuan
mereka yang masih dalam proses pendekatan dengan seorang syekh, memamerkan foto semisal
itu. Lain lagi bila seorang murid yang sudah bertahun-tahun berguru pada seorang syekh. Tentu hal ini
sangatlah wajar, lantaran perjuangan si murid untuk terus istiqamah mendatangi
majelis ilmu sang syekh layak diapresiasi oleh sang syekh.
Sangat aneh,
jika seorang murid baru bertemu sekali – dua kali dengan syekhnya. Kemudian 'memaksa'
sang syekh untuk berpose bersamanya dengan harapan sebagai bukti kedekatan
seorang murid dengan syekh. Hanya bertemu sekali - dua kali lalu mengklaim
sebagai orang yang dekat dengan syekh dengan bukti sebuah foto,
menurut akal dangkal saya itu hanya sebuah pencitraan dan pembungkus saja.
Oke, memang
sebagai pencari ilmu kita wajib mengidolakan para ulama. Tapi
perlu diingat, perilaku kita kepada para ulama yang selama ini kita idolakan amatlah
berpunggungan dengan perilaku kita kepada para artis yang mungkin juga kita eluh-eluhkan.
Ulama bukanlah seorang artis yang senang fotonya disebar kemana-mana hingga
menjadikannya makin populer. Ulama adalah pengemban
risalah Nabi yang sudah sepatutnya kita muliakan dan kita utamakan sopan-santun
di hadapannya. Jika seorang ulama rela untuk difoto, tentu tidak menjadi masalah, tapi kita
harus tetap menjunjung tinggi budi pekerti kita sebagai seorang murid kepada gurunya.
Semoga kita tidak hanya menjadi orang yang pintar mengklaim,
orang yang hilang kejiwaannya cuma untuk mengangkat martabat dirinya sendiri di
depan manusia meski dengan tanpa rasa malu menerobos perbuatan zalim.
Ini hanya sebuah opini ringan, yang tak perlu
diperdebatkan. Terima kasih sudah sudi menyempatkan. Maaf bila membuat anda mual dan emoh makan. Orang Jawa bilang, "Ngunu yo ngunu mung ojo ngunu."
Kairo, 18 Oktober 2013
Tidak ada komentar:
Posting Komentar