Mungkin
sudah genap 4 tahun, atau bahkan lebih sedikit, Bapak berperang sekuat tenaga,
mengumpulkan kekuatan lahir dan batin melawan penyakitnya. Empat tahun waktu
yang cukup lama untuk menahan penyakit Stroke dan Gagal
Ginjal.
Selama itu pula Bapak akrab dengan rumah sakit, alat suntik, obat-obat, dan
segala yang berhubungan dengan kebaikan kondisi Bapak. Seminggu dua kali
bolak-balik rumah sakit untuk cuci darah karena Ginjalnya sudah disfungsi. Kadang juga tiga
sampai empat kali ke rumah sakit bila ada anggota badan atau kondisi tubuh
Bapak yang terganggu.
Memang
banyak faktor yang menyebabkan penyakit mendera Bapak bertubi-tubi. Saya tidak ingin
membicarakan bahwa ini sudah suratan takdir lantaran penyakit Bapak memang dari
Allah dan sudah waktunya Bapak terima. Banyak dari saudara dan tetangga yang bilang,
kalau salah satu faktor awal mula Bapak terserang Stroke karena banyak pikiran. Dan pikiran itu tertuju pada anaknya yang saat itu
jauh dari rumah, yaitu saya.
Saat awal-awal di Kairo, sekitar 6 bulan pertama, Bapak
masih sehat. Setelah konflik Mesir 2011, tumbangnya pemerintahan Hosni Mubarak,
dan kala itu terjadi bentrok di mana-mana, mungkin itulah Bapak mulai banyak
memikirkan saya. Sejak momen revolusi Mesir 25 Januari 2011 itu, kondisi Bapak
semakin memburuk. Bahkan saat berbicara melalui telephon, Bapak selalu menangis
dan meminta maaf. Ada dua permintaan maaf Bapak yang selalu diulang: Meminta
maaf lantaran tak pernah membiayai kuliah saya di Kairo, mulai biaya
pemberangkatan hingga biaya hidup selama di sana. Dan yang kedua, Bapak meminta
maaf lantaran telah mendidik saya dengan sangat keras.
Permintaan maaf Bapak yang pertama karena Bapak merasa
tidak menjalankan tugas dengan baik sebagai kepala rumah tangga yang seharusnya
mengopeni istri dan anak-anaknya hingga besar dan mempunyai pekerjaan
yang layak. Bapak merasa gagal dan tak becus sebagai Bapak. Biaya
pemberangkatan saya ke Mesir hasil dari menjual sepeda motor saya –yang dulu
dapat hadiah dari sebuah ajang perlombaan di JTV- dan peenyebaran proposal studi
saya di beberapa kota di Jawa Timur.
Sebenarnya Bapak bukanlah orang yang tidak berhasil
mengelola ekonomi keluarga kami. Semenjak kecil Bapak selalu memanjakan saya
dengan beragam keinginan saya waktu itu. Bapak pernah sukses dengan bisnis besi
tua, material bangunan, dan aneka pagar rumah. Saat masih si Sekolah Dasar,
kami mempunyai mobil pribadi, truk besar dan kecil untuk bisnis Bapak. Bapak juga
sudah membangun rumah plus gudang di daerah Kenjeran – Surabaya. Tapi rupanya
Tuhan berkehendak lain. Masa keemasan bisnis Bapak diambil oleh Allah hingga
ludes tak bersisa. Akhirnya Bapak menganggur mulai saya kelas 1 Madrasah
Aliyah.
Untuk permohonan maaf Bapak yang kedua memang murni
kesalahan saya. Kala masih di Sekolah Dasar, saya gila bola dan disekolahkan
Bapak di salah satu SSB (Sekolah Sepak Bola) di Surabaya. Segala kemauan saya
tentang bola, Bapak turuti. Tapi hobi saya yang satu ini berakhir naas. Sekitar
tahun 2000, Milenium dan warna silver sangat tenar dan mengudara. Dan pemain
sepak bola idola saya, David Beckham, saat itu bersepatu baru berwarna silver.
Saya pun merengek kepada Bapak agar dibelikan. Padahal 2 sepatu bola saya yang
berwarna merah dan putih masih bau toko. Rengekan saya disambut amarah oleh
Bapak. Bapak marah, geram, dan spontan mengambil semua baju bola, sepatu, pengaman,
dan kaos kaki saya. Bapak lempar ke luar rumah. Lalu bapak leburkan semua
barang kegilaan saya itu dengan api.
Tak hanya itu, Bapak lalu menghajar saya yang tak tahu
diri dan manja, yang selalu ingin dituruti kemauannya. Sangking takutnya ketika
itu, saya tak kuasa menahan kencing dan –maaf- berak. Dan peristiwa ini yang
selalu Bapak ingat. Bapak menyesal pernah memperlakukan saya seperti itu.
Dua permintaan maaf Bapak itu selalu saya tolak. Saya tak
pernah berpikir bahwa itu salah Bapak. Pertama, saya sudah besar dan bisa
menentukan arah hidup saya sendiri termasuk dalam dunia pendidikan. Al-Azhar
Kairo tujuan saya dan saya harus memperjuangkan dengan mati-matian. Kedua,
Bapak tak pernah salah dalam mendidik anak-anaknya. Meski dengan keras dan
ketat, justru itu yang bisa menjadikan saya seperti ini. Mungkin bila Bapak tak
sehebat itu menghajar saya kala itu, mungkin tak akan ada ijazah S1 Al-Azhar
University di rumah. Tak pernah ada tumbukan kitab-kitab berbahasa Arab yang
Bapak sendiri tak mengerti maksud tulisan itu apa. Dua alasan itu yang selalu
saya sampaikan ke Bapak. Bahkan saya bersyukur mempunyai Bapak yang sangat
amanah dalam mendidik anak-anaknya.
Ya, dua “kesalahan” Bapak itulah yang selalu
bergentayangan menghantui pikiran Bapak. Hingga pada akhirnya Allah memberikan
ujian sekaligus pembersihan kepada Bapak melalui rentetan penyakit-penyakitnya.
Bapak yang sudah lama tidak bisa berjalan dan tak bisa apa-apa, masih diberikan
umur panjang oleh Allah hingga saya pulang dari tanah rantauan membawa hadiah
ijazah S1 dan ilmu-ilmu meskipun hanya sekelumit. Padahal sanak famili dan
tetangga, banyak yang memprediksi, saya tak akan bisa lagi bertemu Bapak dan
mencium tangan beliau.
Kini Bapak tak lagi menangisi anaknya yang kuliah jauh
lantaran sudah pulang. Bapak tak lagi kepikiran anaknya yang ada di negeri
orang yang akrab dengan konflik dan keributan. Bapak tak lagi menanti anaknya
pulang. Bapak hanya menanti kesuksesan dan masa depan anak-anaknya. Oh iya, saya
juga sangat beruntung mempunyai Ibu yang sungguh luar biasa setia dan
pengabdiannya kepada seorang suami. Ibu bersabar meski Bapak terserang penyakit
Stroke di usianya yang tergolong cukup muda, 55 tahun. Ibu teguh dan setia
meski harus berhutang ke sana-sini untuk menutup kebutuhan keluarga dan
istiqamah mendoakan masa depan anak-anaknya.
Inilah garis tangan yang sudah disisirkan oleh Tuhan.
Semua harus dilalui. Semua wajib diterima dan dijalani. Bila kita rido dengan
takdir Allah, niscaya Allah akan rido dengan kita.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar