Pulang. Aku tak akan membahas lagu Nidji yang berjudul Pulang,
atau lagu Andien yang bertajuk sama. Atau novel Pulang karya Leila S. Chudlori
yang mengisahkan seorang jurnalis yang dituduh sebagai kroni Partai Komunis
Indonesia (PKI), yang mana saat terjadi pembersihan anggota PKI, ia berada di
Yugoslavia menghadiri sebuah kongres atau seminar jurnalis dunia, lalu terpaksa
‘lari’ ke Peking, Cina. Dan akhirnya menikmati ‘setengah hidupnya’ di Paris.
Menikah dengan gadis Perancis, mempunyai anak perempuan yang luar biasa hingga
mati dan kembali pulang ‘dalam pelukan’ Tanah Air. Aih, maaf kata-kataku
terlalu lebar menceritakan tentang novel Leila S, Chudlori. Kuulangi sekali
lagi, aku tak akan membahas itu semua. Titik.
Saat kata “pulang” terdengar, tentu saja ingatanku akan
rumah, keluarga, orang tua, teman, tetangga, dan kampung halaman terekam jelas.
Seolah otakku memutar kembali sebuah kaset usang berdebu yang sudah tergeletak
di pojok gudang selama belasan tahun.
Kurang lebih sebelas tahun aku merantau meninggalkan
rumah, orang tua, dan keluarga. Tujuh tahun berada di kota Malang dan hampir 4
tahun terbang ke negeri Firaun. Tatkala ‘nyantri’ di Malang, memang aku sering
pulang. Apalagi waktu menjadi senior di pesantren yang khusus mendapatkan izin
pulang setiap bulan. Maklum, santri senior tak lagi dibesuk orang tua.
Aku cukup menikmati suasana hidupku di Malang. Belum lagi
udara Malang yang sejuk tak semuak hawa panas Surabaya. Waktu menginjakkan kaki
pertama kali, kota Malang memang tak semalang nasibnya. Cahaya Matahari tak
begitu terasa, seperti musim dingin di Kairo. Tapi rupanya lambat laun, kota
Malang kian malang dan hampir menyerupai kota bocoran neraka, Surabaya.
2010, pertama kalinya aku naik pesawat dan semoga itu
juga bukan yang terakhir. Setelah melewati pulau-pulau, berbagai negara, dan
bentangan lautan, kesampaian juga mimpiku melihat Piramida yang dibangun
raja-raja Mesir terdahulu.
Hidup di Mesir amat berbeda dengan di Indonesia. Mulai
dari makanan, -aduh, kenapa makanan dulu yang tersebut-, penduduknya,
pakaiannya, percakapan, dan lain sebagainya.
Mesir mengajariku bagaimana cara
hidup di tengah masyarakat yang beragam. Dari manusia bernurani malaikat hingga
manusia yang berhati bejat. Mesir pula yang mengajariku arti kesabaran. Sabar
memandang paras ayu wanita-wanita turunan Cleopatra. Sabar menunggu bus dan angkutan umum. Sabar mengantri saat mengurus segala
administrasi. Sabar menghadapi orang Mesir yang ‘sok’ terhormat dan dibutuhkan.
Sabar untuk tidak cepat-cepat nikah. Sabar jarang menikmati makanan khas
Indonesia –aha, kali ini soal makanan paling belakang-.
Lebih dari itu, Mesir juga mengajariku segala apa yang
terjadi di dalamnya. Sepertinya Tuhan tak salah menunjuk Mesir sebagai negara
kedua yang membisikiku dengan rutin
bagaimana seharusnya hidup.
Sangking banyaknya ilmu yang dikucurkan Mesir kepadaku,
aku jadi bimbang ingin pulang dan meninggalkannya. Kalau hanya 4 tahun berguru
di Mesir, rasanya aku sangat cemburu dengan mereka yang menghabiskan separuh
umurnya di negeri ini. Memang, bagi mahasiswa tingkat akhir sepertiku ini agak
risau dengan hasil ujian kelulusan. Takut dijadikan korban PHP (Pemberi Harapan
Palsu), begitu kata
kawan-kawanku.
Pulang kapan pun, aku akan siap dan terima. Asal dengan
satu syarat yaitu Tuhan yang memulangkanku. Entah terserah Tuhan waktu dan
caranya bagaimana, selagi itu yang terbaik untukku. Sempat dua sampai tiga kali
pemberangkatanku ke Mesir ditunda, dan akhirnya Tuhan menghendaki tanggal 4
Juli 2010 sebagai hari injakan pertama kakiku di tanah ini, sama persis dengan
tujuh tahun silam tepatnya 4 Juli 2003, pertama kalinya pula aku tidur kurang
nyenyak berderet dengan 20 santri lainnya di kamar pesantren bak ikan segar yang
siap dijual di pasar.
Ah, kalau toh tidak karena orang tua dan keluarga, juga
ingin menikah, ingin rasanya menambah pengalaman lebih lama lagi di negeri ini.
Tapi semuanya, kupasrahkan pada Tuhan. Tuhan yang mengirimku kemari. Dan Tuhan
pula yang harus menentukan jadwalku pergi, angkat kaki dari negeri ini.
Pulang. Setiap orang yang mempunyai rasa rindu, pastilah
berhasrat untuk pulang. Pulang. Ya, pulang.
Kapan aku pulang?
Kairo, 19 Januari 2014