Jumat, 10 Januari 2014

Kesetiaan, Norma dan Agama


Pagi ini –mumpung hari libur- saya menonton film yang berjudul From Bandung With Love. Saya tidak akan menceritakan alur cerita film itu. Tapi paling tidak, saya bisa mengambil pelajaran yang cukup menarik dari film itu yaitu arti kesetiaan. 

Setelah menonton film itu, saya sempat berbincang dengan beberapa teman saya. Tentu bahasan kami tak keluar dari film itu. Namun, sebelum tulisan saya ini lebih jauh, agaknya kurang sopan bila saya -yang masih belum berkomitmen dengan seseorang manapun- tidak kulo nuon berkicau tentang kesetiaan di depan anda yang sudah berpasangan dan hidup berumah tangga.

Saya hanya ingin berbagi obrolan saya bersama teman-teman saya. Meski tak satu pun di antara kami yang sudah berkomitmen dengan seorang wanita, tapi paling tidak hampir semua dari kami pernah mengalami dan merasakan makna kesetiaan.
Kesetiaan memang awalnya tumbuh dari rasa. Dan sebuah rasa, pastinya anda tak bisa membatasi pemiliknya. Kita tak bisa melarang anak SMP menyukai teman sekelasnya. Kita juga tak bisa mengharamkan kawan kita untuk tidak mencintai sahabatnya sendiri. Kita pun tak bisa mengekang perasaan kita kepada orang yang kita cintai. Karena sebuah rasa, timbul dari hati. Dan hati tak bisa dipungkiri.

Namun ada solusi terbaik yang menggarisi dan mengawal rasa yang dicipta oleh hati, yaitu agama dan norma. Bila kita menimbang rasa kita, mengukur hati kita dengan patokan agama dan norma, tentu rasa yang ditimbulkan oleh hati kita tak akan jadi masalah. Yang menjadi bencana, apabila kita mengabaikan agama dan norma dan lebih menuhankan rasa. Bila itu terjadi, apapun yang digairahi oleh hati dan keinginan kita, harus kita peroleh dengan berbagai cara.

Sederhananya seperti ini. Beberapa hari lalu, ada seseorang yang minta doa kepada saya agar rumah tangganya langgeng dan harmonis. Saya sempat tergelak mendengarnya lantaran dia salah alamat dan alamat yang dia dapat palsu. Tapi apa salahnya? Apa dia salah bila meminta doa? Dan apa salah saya jika sekedar mendoakannya? Intinya, dia mulai resah dan takut melewati perjalanan rumah tangganya. Dia bercerita bahwa tetangganya –seorang perempuan- yang sudah beranak-pinak selingkuh dengan tetangganya sendiri yang masih berumur dua puluh sekian. Singkatnya saya sampaikan kepada dia, selain Tuhan memberikan rasa pada setiap hati manusia, Tuhan yang Maha Sempurna tak lupa pula memberikan batasan-batasannya; agama dan norma.

Contoh satu lagi yang sering kita dapati, seseorang yang ditinggal menikah oleh mantannya dan ia masih punya rasa kepada mantannya. Apalagi kalau mantannya juga masih menyukainya. Perasaan dua insan ini bila tak ditengahi oleh agama dan norma, akan menggerus tatanan kehidupan orang lain.

Agama dan norma memang dua undang-undang yang mengikat dan mengatur rasa, cinta, dan kesetiaan setiap manusia. Kembali kepada kesetiaan, seorang teman saya mengatakan janji kesetiaan itu muncul setelah akad nikah. Sebelum akad nikah, sebaiknya kita tak terlalu muluk-muluk dengan kesetiaan sebab bila seorang wanita yang kita cinta tidak berjodoh dengan kita, kita tidak sampai menggigit lengan kita hingga tak bersisa, cukup gigit jari saja.

Rupanya, pandangan teman saya tadi bersumber pada pengalaman pribadinya. Hingga dia mengartikan kesetiaan hanya tercipta dari sebuah pelaminan. Mungkin dia lebih menafsirkan kesetiaan dalam arti sebenarnya yang ramping. Terbatas. Dan bukan luas.

Saya mencoba berbeda dengannya. Saya lebih condong memaknai kesetiaan dalam arti yang umum. Setia bagi saya adalah kamus terbesar dalam kehidupan berpasangan. Berpasangan dalam makna yang luas tidak hanya kehidupan suami-istri atau berpacaran atau bertunangan. Seorang karyawan harus setia dengan atasannya. Seorang murid harus setia dengan gurunya. Seorang anak harus setia dengan orang tuanya. Seorang pedagang harus setia pada pembelinya. Begitu juga sebaliknya. Kecuali bila ada sesuatu yang –dengan pasti- memutus tali kesetiaan itu.

Ya, saya lebih senang mengartikan kesetiaan seperti itu. Dan sebuah kesetiaan memang harus dibangun dalam sebuah komitmen, berumah tangga misalnya. Itu yang resmi. Atau komitmen yang tak terlalu resmi seperti berkehidupan sosial antar sesama. Karena kehidupan tanpa kesetiaan, semuanya akan sia-sia. 

Kesetiaan merupakan tema besar yang tak cukup diuraikan dengan lembaran tulisan dan ribuan kata lisan. Setia? Setialah kepada siapa saja yang anda pikir layak untuk mendapatkan kesetiaan anda. Setialah selama agama dan norma mengamini kesetiaan anda.  Setialah, selama setia itu masih pantas untuk ditebar. Setialah lantaran setia cukup mahal harganya.


Kairo, 10 Januari 2013