Selasa, 08 Oktober 2013

Tersanjung dan Terpasung Kedudukan

Hampir tiga minggu saya absen menulis, banyak alasan yang saya buat-buat untuk tidak menggerak-gerakkan jemari saya. Alasan yang paling bisa saya pertanggung-jawabkan adalah karena dalam tiga minggu terakhir ini saya jarang membaca. Membaca yang saya maksud adalah membaca kondisi sosial masa kini untuk bisa dijadikan topik tulisan. Atau membaca tulisan-tulisan sastra, esai berbahasa Indonesia agar gaya bahasa saya tidak njelimet dan bisa dinikmati oleh para pembaca.

Saya malu menulis bila hanya mengandalkan kemauan tapi tema dan gaya bahasa yang diusung tidak bisa memuaskan para pembaca. Jelas, jika para pembaca merasa jijik dan tak mendapatkan manfaat dari apa yang saya tulis, alangkah berdosanya saya lantaran telah menyia-nyiakan waktu mereka hanya untuk memelototi ‘sampah’ atau ‘kotoran’ saya.

Mungkin para pembaca juga akan muak dengan tulisan yang akan saya tulis ini. Maka dari itu, saya peringatkan bagi para pembaca yang waktu dan tenaganya tak ingin terbuang begitu saja, silahkan tutup komputer, laptop, dan HP anda. Atau tutup tab blog saya ini, lalu beralih ke situs yang lebih bermanfaat.

Saya juga masih bingung hendak menulis apa yang sekiranya bermanfaat bagi para pembaca. Tapi biarlah jemari saya menari-nari sesuka dan seirama dengan hati saya yang sedang kedinginan. Mungkin anda terasa agak pening, apakah ada hati yang kedinginan? Bagi saya ada-ada saja bila kita mengada-ada.

Hati saya sedang kedinginan sebab dua faktor. Faktor yang pertama, beberapa hari ini suhu dingin Kairo semakin membukit. Baru hari ini saja yang agak sedikit bersahabat. Faktor kedua, beberapa jam yang lalu dua teman lama saya di Indonesia menyapa lewat Facebook. Teman saya yang pertama adalah teman karib saya yang menemani saya dulu saat menyebar ‘proposal studi’ saya ke beberapa dosen, dan orang kaya untuk biaya pemberangkatan saya ke Kairo. Ia bercerita bahwa sekarang ia kuliah di Universitas Al-Hikam, Malang. Universitas yang diasuh langsung oleh KH. Hasyim Muzadi.

Teman saya ini memang orang yang tak tentu arah hidupnya. Ia lebih memilih hidup mengalir meski terkadang harus terkatung-katung. Saya merasa senang dia bisa kuliah lagi lantaran dulu ia pernah kuliah gratis di Surabaya tapi harus terputus karena alasan yang dia sendiri tidak menceritakannya kepada saya sampai saat ini. Dia hanya bilang, “Sepertinya Allah bukan menempatkan saya di sana.”

Dia juga satu-satunya teman saya yang nyantri mingguan dengan saya di daerah Bululawang, Malang. Kami berdua berangkat tiap malam Jumat dari pesantren kami di Singosari, Malang menuju rumah kyai kami di Bululawang. Jaraknya lumayan jauh. Hampir satu jam setengah kami menempuhnya dengan mengendarai motor. Itu pun sebelumnya kami harus dipusingkan dengan merayu teman-teman atau senior kami yang memiliki motor di pesantren. Belum juga uang bensin pulang-pergi, yang bagi santri biasa seperti kami cukup untuk memangkas uang makan, kopi dan rokok.

Kyai kami memang sangat muda. Tujuh tahun silam, beliau masih berumur sekitar 30 tahunan. Tapi kesalehan dan keilmuannya sangat dalam dan luar biasa. Selain seorang sufi, beliau juga ulama yang sanggup menafsirkan mimpi. Salah satu bukti konkritnya adalah bumi yang saya pijak saat ini. Beliau pernah menafsirkan mimpi saya, yang intinya adalah saya nantinya akan berangkat ke Mesir dan belajar di Al-Azhar. Padahal mimpi itu saat saya berada di banku Aliyah/SMA kelas 1.

Hari ini teman saya yang bernama Afif itu bercerita. Dia tempo hari baru sowan ke Pak Kyai. Dia bilang bahwa  Pak Kyai selalu mendoakan kami berdua agar sampai pada maqam dan derajat kedudukan kita masing-masing. Saya mengamini doa Pak Kyai. Hati saya terasa tersiram guyuran air hujan. Adem dan dingin sebab doa Pak Kyai. Saya juga teringat petuah Syekh saya minggu lalu. Syekh Sayyid Syaltut memberi wejangan, “Barang siapa yang ditempatkan oleh Allah pada sebuah kedudukan, maka ia akan beruntung dan selamat. Namun barang siapa yang menempatkan dirinya sendiri pada sebuah kedudukan yang tidak Allah ridoi, maka ia akan hancur.”

Dalam kehidupan yang ganas ini, saya hanya berharap Allah lah yang benar-benar menempatkan saya pada kedudukan yang direstui-Nya. Dewasa ini bukan seperti zaman Nabi dulu yang mana masyarakatnya penuh dengan sifat kanaah. Zaman sekarang adalah zaman para hewan. Sudah hewan, buas pula. Serakah. Tak pernah puas. Saling bunuh dan tuna nurani.

Teman saya kedua adalah imam dan muazin masjid besar di bilangan Tanjung Perak, Surabaya. Jauh lebih tua daripada saya. Bersuara emas dan telah mengajari saya azan yang serupa dengan azan Masjidil Haram. Meski saya tidak bertampang seorang qari, atau ahli tilawah. Paling tidak, azan yang selalu saya kumandangkan di kampung menjadi azan terfavorit mengalahkan azan para tukang becak dan sol sepatu.

Teman saya yang kedua ini menawari saya untuk ikut mengabdi dan ‘cawe-cawe’ mengurus masjid besar yang katanya mendapatkan suntikan dana dari Kuwait. Ia bercerita, bahwa pengurus dan takmir masjid banyak dari alumni Timur Tengah. Masjid ini juga akan membangun universitas yang mencetak para imam dan khatib yang berkualitas. Oleh karenanya, dia mengajakku berjuang dan ikut andil di sana.

Lagi-lagi hati saya terasa disiram air hujan. Saya merasa tersanjung dengan tawaran itu. Tersanjung saya bukan karena kedudukan atau jabatan yang ditawarkan kepada saya. Tapi Allah benar-benar mengajari saya hari ini perihal kedudukan yang harusnya kita serahkan kepada-Nya, di mana nantinya kita akan ditempatkan. Tawaran teman saya ini tidak saya respon dengan histeris dan sontak tekan kontrak. Tapi saya justru berpikir ulang, apakah saya pantas nantinya menerima tawaran itu? Apakah ini kedudukan yang Allah berikan untuk masa depan saya, atau malah saya yang terlalu percaya diri dan ke-geer-an? Perlu diingat, bahwa berprasangka baik dan ke-geer-an kepada Allah itu tipis dan hampir serupa.

Inti dari tulisan saya yang berbelit-belit ini adalah hendaknya kita lebih memilih kedudukan/tempat yang Allah berikan kepada kita bukan kedudukan/tempat yang kita inginkan. Berikhtiar untuk mendapatkan cita-cita dan keinginan sangatlah dianjurkan oleh agama, tapi ikhtiar yang sehat dan benar. Tanpa hasrat kegairahan yang buas, dan ketamakan yang tak pernah puas. Sebab sejatinya kedudukan dan derajat membuat empunya hidup nyaman bukan memasungnya.

Negara kita yang semakin terombang-ambing ini dikarenakan rakyatnya yang tak pernah rela dengan apa yang Allah berikan. Jika semua rakyatnya ingin duduk di kursi senayan lantaran berhasrat hidup enak, lalu siapa yang berdemo memprotes dan mengawasi mereka. Bak satu tulang dikepung 7 ekor anjing, bukannya makan, yang ada malah gonggongan dan lolongan yang membuat telinga terpekak.

Selamat karena waktu anda telah terbuang sia-sia!!!




Tidak ada komentar:

Posting Komentar