Hampir tiga
minggu saya absen menulis, banyak alasan yang saya buat-buat untuk tidak menggerak-gerakkan jemari
saya. Alasan yang paling bisa saya pertanggung-jawabkan adalah karena dalam
tiga minggu terakhir ini saya jarang membaca. Membaca yang saya maksud adalah
membaca kondisi sosial masa kini untuk bisa dijadikan topik tulisan. Atau membaca
tulisan-tulisan sastra, esai berbahasa Indonesia agar gaya bahasa saya tidak
njelimet dan bisa dinikmati oleh para pembaca.
Saya malu menulis bila hanya mengandalkan kemauan tapi
tema dan gaya bahasa yang diusung tidak bisa memuaskan para pembaca. Jelas, jika
para pembaca merasa jijik dan tak mendapatkan manfaat dari apa yang saya tulis,
alangkah berdosanya saya lantaran telah menyia-nyiakan waktu mereka hanya untuk
memelototi ‘sampah’ atau ‘kotoran’ saya.
Mungkin para pembaca juga akan muak dengan tulisan yang
akan saya tulis ini. Maka dari itu, saya peringatkan bagi para pembaca yang
waktu dan tenaganya tak ingin terbuang begitu saja, silahkan tutup komputer,
laptop, dan HP anda. Atau tutup tab blog saya ini, lalu beralih ke situs
yang lebih bermanfaat.
Saya juga masih bingung hendak menulis apa yang sekiranya
bermanfaat bagi para pembaca. Tapi biarlah jemari saya menari-nari sesuka dan
seirama dengan hati saya yang sedang kedinginan. Mungkin anda terasa agak
pening, apakah ada hati yang kedinginan? Bagi saya ada-ada saja bila kita
mengada-ada.
Hati saya sedang kedinginan sebab dua faktor. Faktor yang
pertama, beberapa hari ini suhu dingin Kairo semakin membukit. Baru hari ini
saja yang agak sedikit bersahabat. Faktor kedua, beberapa jam yang lalu dua
teman lama saya di Indonesia menyapa lewat Facebook. Teman saya yang pertama
adalah teman karib saya yang menemani saya dulu saat menyebar ‘proposal studi’
saya ke beberapa dosen, dan orang kaya untuk biaya pemberangkatan saya ke Kairo.
Ia bercerita bahwa sekarang ia kuliah di Universitas Al-Hikam, Malang. Universitas
yang diasuh langsung oleh KH. Hasyim Muzadi.
Teman saya ini memang orang yang tak tentu arah hidupnya.
Ia lebih memilih hidup mengalir meski terkadang harus terkatung-katung. Saya merasa
senang dia bisa kuliah lagi lantaran dulu ia pernah kuliah gratis di Surabaya
tapi harus terputus karena alasan yang dia sendiri tidak menceritakannya kepada
saya sampai saat ini. Dia hanya bilang, “Sepertinya Allah bukan menempatkan saya
di sana.”
Dia juga satu-satunya teman saya yang nyantri mingguan
dengan saya di daerah Bululawang, Malang. Kami berdua berangkat tiap malam
Jumat dari pesantren kami di Singosari, Malang menuju rumah kyai kami di
Bululawang. Jaraknya lumayan jauh. Hampir satu jam setengah kami menempuhnya
dengan mengendarai motor. Itu pun sebelumnya kami harus dipusingkan dengan
merayu teman-teman atau senior kami yang memiliki motor di pesantren. Belum juga
uang bensin pulang-pergi, yang bagi santri biasa seperti kami cukup untuk
memangkas uang makan, kopi dan rokok.
Kyai kami memang sangat muda. Tujuh tahun silam, beliau
masih berumur sekitar 30 tahunan. Tapi kesalehan dan keilmuannya sangat dalam
dan luar biasa. Selain seorang sufi, beliau juga ulama yang sanggup menafsirkan
mimpi. Salah satu bukti konkritnya adalah bumi yang saya pijak saat ini. Beliau
pernah menafsirkan mimpi saya, yang intinya adalah saya nantinya akan berangkat
ke Mesir dan belajar di Al-Azhar. Padahal mimpi itu saat saya berada di banku Aliyah/SMA
kelas 1.
Hari ini teman saya yang bernama Afif itu bercerita. Dia tempo
hari baru sowan ke Pak Kyai. Dia bilang bahwa Pak Kyai selalu mendoakan kami berdua agar
sampai pada maqam dan derajat kedudukan kita masing-masing. Saya mengamini
doa Pak Kyai. Hati saya terasa tersiram guyuran air hujan. Adem dan dingin
sebab doa Pak Kyai. Saya juga teringat petuah Syekh saya minggu lalu. Syekh
Sayyid Syaltut memberi wejangan, “Barang siapa yang ditempatkan oleh Allah pada
sebuah kedudukan, maka ia akan beruntung dan selamat. Namun barang siapa yang
menempatkan dirinya sendiri pada sebuah kedudukan yang tidak Allah ridoi, maka
ia akan hancur.”
Dalam kehidupan yang ganas ini, saya hanya berharap Allah
lah yang benar-benar menempatkan saya pada kedudukan yang direstui-Nya. Dewasa ini
bukan seperti zaman Nabi dulu yang mana masyarakatnya penuh dengan sifat
kanaah. Zaman sekarang adalah zaman para hewan. Sudah hewan, buas pula. Serakah.
Tak pernah puas. Saling bunuh dan tuna nurani.
Teman saya kedua adalah imam dan muazin masjid besar di
bilangan Tanjung Perak, Surabaya. Jauh lebih tua daripada saya. Bersuara emas
dan telah mengajari saya azan yang serupa dengan azan Masjidil Haram. Meski saya
tidak bertampang seorang qari, atau ahli tilawah. Paling tidak, azan yang
selalu saya kumandangkan di kampung menjadi azan terfavorit mengalahkan azan
para tukang becak dan sol sepatu.
Teman saya yang kedua ini menawari saya untuk ikut
mengabdi dan ‘cawe-cawe’ mengurus masjid besar yang katanya mendapatkan
suntikan dana dari Kuwait. Ia bercerita, bahwa pengurus dan takmir masjid
banyak dari alumni Timur Tengah. Masjid ini juga akan membangun universitas
yang mencetak para imam dan khatib yang berkualitas. Oleh karenanya, dia
mengajakku berjuang dan ikut andil di sana.
Lagi-lagi hati saya terasa disiram air hujan. Saya merasa
tersanjung dengan tawaran itu. Tersanjung saya bukan karena kedudukan atau
jabatan yang ditawarkan kepada saya. Tapi Allah benar-benar mengajari saya hari
ini perihal kedudukan yang harusnya kita serahkan kepada-Nya, di mana nantinya
kita akan ditempatkan. Tawaran teman saya ini tidak saya respon dengan histeris
dan sontak tekan kontrak. Tapi saya justru berpikir ulang, apakah saya pantas
nantinya menerima tawaran itu? Apakah ini kedudukan yang Allah berikan untuk
masa depan saya, atau malah saya yang terlalu percaya diri dan ke-geer-an? Perlu
diingat, bahwa berprasangka baik dan ke-geer-an kepada Allah itu tipis dan
hampir serupa.
Inti dari tulisan saya yang berbelit-belit ini adalah
hendaknya kita lebih memilih kedudukan/tempat yang Allah berikan kepada kita
bukan kedudukan/tempat yang kita inginkan. Berikhtiar untuk mendapatkan
cita-cita dan keinginan sangatlah dianjurkan oleh agama, tapi ikhtiar yang
sehat dan benar. Tanpa hasrat kegairahan yang buas, dan ketamakan yang tak
pernah puas. Sebab sejatinya kedudukan dan derajat membuat empunya hidup nyaman
bukan memasungnya.
Negara kita yang semakin terombang-ambing ini dikarenakan
rakyatnya yang tak pernah rela dengan apa yang Allah berikan. Jika semua
rakyatnya ingin duduk di kursi senayan lantaran berhasrat hidup enak, lalu
siapa yang berdemo memprotes dan mengawasi mereka. Bak satu tulang dikepung 7
ekor anjing, bukannya makan, yang ada malah gonggongan dan lolongan yang membuat
telinga terpekak.
Selamat karena waktu anda telah terbuang sia-sia!!!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar