Rabu, 30 Oktober 2013

Allah, Rasulullah, dan Ikhwanul Muslimin

Ikhwanul Muslimin (IM) selama ini mengeklaim dirinya sebagai organisasi pembela Islam yang menggembar-gemborkan penerapan syariat Islam. Tentu bila memang benar ini adanya, berarti IM adalah kelompok yang disayang oleh Allah. Karena Allah menguji hamba-hambanya yang paling dicintai-Nya. Dalam sebuah hadis yang diriwayatkan Imam Tirmizi, Rasulullah SAW. bersabda,“….Sesungguhnya jika Allah mencintai sesuatu kaum maka Allah akan mengujinya. Barang siapa yang rela (akan ujian itu), maka Allah pun akan rido (kepadanya). Namun barang siapa yang memberontak (akan ujian itu), maka Allah pun akan benci (kepadanya).”

Namun agaknya hadis di atas lepas dari ingatan para ‘pengusung’ syariat Islam ini. Mereka mengaku membela agama Allah tapi mereka melupakan datangnya ujian dari Allah. Mereka tetap mengeyel untuk dikembalikannya Morsi pada jabatannya. Mereka emoh akan pemerintahan Mesir saat ini. Mereka terus melaknat, mengecam dan mengutuk orang-orang yang ikut serta dan mendukung dalam keputusan 3 Juli 2013. Pemuda-pemudi IM terus berdemo di universitas-universitas dengan mencorat-coret dinding kampus dengan kata-kata ini dan itu. Menolak kegiatan belajar-mengajar hingga keinginan mereka dikabulkan.

Sebuah hadis Qudsi dengan tegas mengingatkan hamba Allah yang tak mau menerima takdir yang telah ditentukan, “Barang siapa yang enggan menerima ketetapan-Ku dan tak bersabar atas cobaan-Ku, hendaknya ia mencari Tuhan selain-Ku.” (HR: Tabrani) Tak hanya Imam Tabrani, Imam Baihaqi juga memperkuat hadis tersebut dengan makna yang sama dan lafal yang hampir mirip.
Kalau saya boleh menganalogikan hadis tersebut, bisa saja Pemerintah Mesir mengeluarkan ketentuan “Barang siapa yang tidak menerima keputusan Revolusi 30 Juni, silahkan cari kewarganegaraan selain Mesir.” Bisa juga Al-Azhar mengeluarkan keputusan “Barang siapa yang tidak sependapat dengan Al-Azhar, hendaknya ia kuliah di universitas lain.” Tapi sepertinya menyamakan matan hadis Qudsi dengan ketentuan Pemerintah dan keputusan Al-Azhar yang saya angan-angankan itu, rasanya terlalu jahat, geram dan tidak tepat. Tak perlu ‘fatwa’ semacam itu dikeluarkan.

Atau jangan-jangan mereka lupa atau sengaja amnesia akan sejarah Rasulullah. Kalau mereka mengaku membela syariat Islam ‘dengan cara mereka’, Rasulullah pun membela agama Allah ‘dengan cara Allah’ sejak 1400 tahun silam. Dan beliau menerima takdir Allah atas terbunuhnya kurang lebih 70 kaum muslimin di peperangan Uhud. Beliau lantas tidak marah akan peristiwa itu. Beliau tidak kesal pada gunung Uhud dengan mencorat-coret, umpamanya “Khalid bin Walid adalah Pembunuh” atau “Abdullah bin Ubai bin Salul, Seorang Pengkhianat”. Justru proklamasi beliau tentang gunung Uhud diabadikan oleh Imam Bukhari-Muslim dalam kitab Sahih, “Uhud adalah gunung yang mencintai kita dan kita mencintainya.” Dan tak berlebihan bilamana ada salah seorang ulama yang menorehkan tinta emas dalam salah satu bab di kitabnya dengan judul “Gunung Uhud Radliya Allahu anhu”.


Mungkin saudara-saudara kita pengikut IM ini salah persepsi dalam mengartikan dan membela Islam. Islam lebih tepatnya dikatakan sebagai agama Allah bukan agama kita. Sebab dalam memeluk agama Islam, kita sebagai Muslim sudah barang tentu menjalani prosedur-prosedur agama sesuai yang telah digariskan oleh Allah. Namun bila kita menyebut Islam sebagai agama kita, maka yang ada malah kita seenaknya berbuat apa saja yang kita hendaki dengan mengatasnamakan Islam.

Bila kita membela Islam, tentu kita harus ingat bahwa Islam adalah agama Allah dan kita membelanya dengan cara yang direstui oleh Allah pula, sebab Islam adalah agama Allah. Tapi bila kita memposisikan Islam sebagai agama kita, maka kita akan membela Islam dengan cara yang kita hendaki meskipun dengan kekerasan dan menghilangkan norma-norma kemanusiaan yang Allah sendiri sejatinya meluhurkannya. Oleh karenanya, ada sebuah perbedaan bila kita mengatakan Islam sebagai agama Allah dengan Islam adalah agama kita.

Jika para pengikut IM benar-benar menganggap Allah sebagai Tuhan mereka dan Nabi Muhammad sebagai Rasul mereka dan benar-benar membela agama Allah dan syariat yang dibawa Rasulullah, tentunya mereka akan bisa sedikit lebih bijak dalam merespon pemakzulan presiden mereka, Dr. Mohammed Morsi sejak empat bulan lalu. Atau jangan-jangan pengakuan mereka selama ini hanya pencitraan dan pembungkus saja, lantaran Allah dan Rasulullah sudah memberikan pengertian dan contoh kepada mereka akan cara menjalani kesulitan hidup ini, tapi mereka justru menentang dan menolak cara yang Allah dan Rasulullah ajarkan? Sepertinya perlu dikaji ulang dasar, niat, dan prinsip hidup mereka dalam beragama.


Kairo, 30 Oktober 2013

2 komentar:

  1. lantas ketika dtangnnya ujian....kita trina saja tanpa ada usaha untuk.menyelesaikaannya....?
    apa lagi ketika.kita twlisik yg memimpin setwlah murai adalah orang2 liberal yg noyabennya tidak menegakkan.syari'at....terlepas dri.ikhwanul muslimin atau apalah...setidaknya presiden.mursi membawa.prubahan pada mesir....membuka jalur gaza..dll...sedangkan kalau liberal yg mimpin....bgaimana...?
    bukankah menghindari kemudharatan lbh utama....
    bukankan.kita hrus menperjuangkan.agama ini....tentu mrubah tdk.lngaung semuanya....
    nah betsabar disini saya rasa bukan.menerima saja...namun sabar menghadapi ujian dan berusaha mncari jalannya.....

    *maaf berpendapar...saya hanya orang.yg sedang belajar...

    BalasHapus
    Balasan
    1. iya tapi usaha mencari jalan keluar Ikhwanul Muslimin saya rasa salah dan tidak sesuai syariat Islam yang selama ini mereka dengungkan.

      Hapus