Kamis, 01 Agustus 2013

Menilai Ustaz/Dai Layar Kaca

Almarhum Ustaz Jefri Al-Bukhari
Banyak masyarakat -khususnya yang mengerti agama- menerka bahwasannya para dai/ustaz televisi hanyalah manis di bibir belaka, dakwah mereka hanya berbekal wajah 'oke', dan penampilan menarik,  namun apa yang disampaikan cuma sampai kerongkongan saja. Jujur, saya kurang sependapat dengan dugaan ini. Tak ada manusia yang dibebani untuk menilai hubungan pribadi seseorang dengan Allah. Niat misalnya, tak satu pun manusia yang mengetahui satu-persatu niat seseorang dalam melakukan kebaikan. Niat bermula dan berakhir di hati dan urusan hati hanya Tuhan yang mengerti dan memahami.

Ketika di depan manusia, yang ternilai dari kita hanyalah paras, sikap, dan budi pekerti. Adapun di depan Allah, kita tak akan mampu menutupi diri. Terlepas dari niat dan tujuan para dai/ustaz televisi yang hal itu bukan otoritas kita sebagai manusia biasa, masyarakat sangat membutuhkan arahan, wejangan, dan nasehat beliau-beliau di layar kaca. Sebab kemajemukan aktivitas setiap orang berbeda dan tak mungkin mengumpulkan seluruh anak cucu Adam di satu tempat dan satu waktu kecuali kelak di padang mahsyar.



Para dai/ustaz juga manusia biasa yang bisa salah dan lupa. Tak adil rasanya jika kita mengumbar setitik kesalahan dan memendam luapan kebenaran. Sebab manusia diajarkan untuk menebarkan seluruh kebaikan dan mengubur segala kejelekan, termasuk amal orang lain.

Orang bijak berkata, "Ambillah sebuah hikmah meski hikmah itu keluar dari gonggongan anjing." Agama -Islam- tak membatasi kita mengambil manfaat dari sebagian golongan yang berkriteria "A". Dan tidak mendesak kita untuk mengkultuskan kelompok "B". Namun mengajarkan kita untuk selalu berbaik sangka.

Dalam salah satu firman Allah, disebutkan bahwa; "Sejatinya manusia dalam kerugian kecuali mereka yang beriman dan beramal saleh serta saling memberikan nasehat satu sama lain dalam hal kebenaran dan kesabaran." (Al-Ashr: 2-3)

Jika kita tadaburi, ayat tersebut berpesan kepada kita semua dengan kata "saling menasehati", yang berarti setiap dari kita memang bisa salah. Oleh karenanya kita diperintah untuk saling membenarkan. Namun tentunya, pembenaran itu dengan sikap yang bijak dan sabar, seperti keterangan ayat selanjutnya. Tidak dengan menghasut, dan membangkitkan kebencian dan kemarahan kepada seseorang yang berbuat salah.

Dakwah tak terbatasi oleh tempat, waktu, dan media. Selama tempat, waktu dan media itu patut dan tidak merugikan yang lain, dakwah dengan apapun sah-sah saja. Asalkan, dakwah dan seorang dai mencukupi dan mematuhi undang-undang agama yang telah digariskan.
Meskipun setiap insan mendapatkan hak dan kewajiban dalam berdakwah, tapi tidak serta-merta seluruh lisan melantangkan suara hingga tak ada telinga yang sibuk mendengar.

Mencari ilmu dan menyampaikannya kepada orang lain serupa dengan makan dan buang air. Jika kita terus-menerus mencari ilmu dan tak mau membaginya kepada orang lain, maka akan terjadi pengendapan dan kita tak ubahnya seperti pohon yang kokoh namun meranggas, tak ada satu ranting pun yang berbuah. Begitu juga bila kita selalu menebarkan ilmu tapi lupa mencari ilmu, yang akan terjadi adalah lesu, kurus, dan tak berbobot sebab pengeluaran lebih banyak dari pemasukan.

Hari ini (26/4), di tengah carut-marutnya keadaan negeri kita, Indonesia berkabung atas wafatnya seorang dai muda yang akrab dengan para kaum remaja. Ustaz Jefri Al-Bukhari. Beliau wafat tadi malam sebab kecelakaan tunggal selepas menghadiri acara yang dipersiapkan untuk meramaikan bulan Ramadlan.
Semoga amal baiknya diterima di sisi Allah. Dan dakwah Islam di Indonesia selalu hidup, menyebar, dan menyeluruh serta tak terpaku oleh beberapa figur saja.



Kairo, 26 April 2013

Tidak ada komentar:

Posting Komentar