Kala Uje wafat, saya langsung menulis sebuah opini berjudul
“Menilai Dai/Ustaz layar Kaca” (baca: http://masyaqien.blogspot.com/2013/08/menilai-ustazdai-layar-kaca.html).
Dalam tulisan itu saya mengupas tentang
kepribadian para dai dan ustaz televisi, apakah kepribadian mereka sesuai dengan apa yang selama
ini mereka dengungkan melalui firman Allah dan hadis Nabi atau
tidak? Saya lebih memilih berbaik sangka dalam hal ini, toh kita sebagai manusia
biasa hanya sanggup menilai seseorang secara kasat mata.
Saat ini, media sosial semacam Facebook dan Twitter sedang ramai membincang tentang “Ustaz
Bertarif”, sepertinya hati saya terketuk untuk menulis sebuah wacana yang mungkin manfaatnya bisa menyeluruh.
Berdakwah merupakan sebuah kewajiban bagi
siapa saja yang mampu. Tentu tidak serta-merta semua orang bisa mengeklaim
dirinya sebagai dai atau ustaz. Seorang dai/ustaz harus teruji secara keilmuan,
keimanan, budi pekerti dan keikhlasan. Mungkin, di antara
beberapa poin yang harus dilampaui oleh seorang dai/ustaz tersebut ada satu poin yang sulit untuk diteropong lebih jauh, yaitu keikhlasan.
Kita bisa mengetahui strata kelimuan seorang
dai/ustaz dengan mendengar dan memperhatikan apa yang disampaikan. Adapun keimanan,
kita bisa mengukurnya melalui akhlak seorang dai/ustaz
tersebut, sebab Imam Ibnul Qoyyim berkata,
“Agama adalah budi pekerti. Barang siapa yang lebih baik budi pekertinya
darimu, berarti ia lebih beriman darimu.” Dan sudah barang tentu, budi
pekerti sangat mudah kita ketahui dengan mata telanjang, apakah seorang
dai/ustaz berakhlak sesuai ajaran agama atau justru malah melenceng dari
tuntunan yang telah digariskan oleh Allah dan Rasul-Nya. Seperti berkata
baik, sopan, dan tidak mencemooh orang lain, apalagi menghardik dengan
kata-kata yang dinisbatkan kepada agama seperti kafir, musyrik, dan murtad tanpa
ada alasan yang disahkan oleh agama.
Namun bila kita menyinggung soal keikhlasan,
agaknya amat jarang manusia di jagat raya ini yang tahu, mana orang yang
benar-benar ikhlas dan mana orang yang tak pernah ikhlas? Sebab ikhlas
bertempat di hati dan hati hanya otoritas pemilik dan penciptanya. Kita tak akan tahu seseorang itu ikhlas atau
tidak kecuali orang itu sendiri dan Tuhan yang Maha Mengetahui.
Sebelum menulis, saya harus membuka diktat kuliah saya pelajaran fikih tingkat II terlebih dulu. Sebab dalam buku itu terdapat bab yang mengupas tentang hukum seorang dai/ustaz mengampil upah
dari hasil dakwah dan mengajarnya.
Ada dua pendapat menyoal
masalah ini: Pertama, haram hukumnya mengambil upah hasil dari mengajar
ilmu-ilmu syariat. Pendapat ini didukung oleh Imam Al-Qarafi dari mazhab
Maliki, Imam As-Subki dari mazhab Syafii, para ulama pendahulu mazhab Hanafi,
dan diikuti oleh para ulama kontemporer. Namun hanya sepertiga dari ulama masa
kini yang setuju dengan pendapat ini. Kedua, boleh hukumnya mengambil
upah hasil dari mengajar ilmu-ilmu syariat. Pendapat kedua ini merupakan
pendapat mayoritas ulama baik dari kalangan sahabat hingga saat ini.
Adapun beberapa dalil
pendapat pertama adalah bahwa menyebarkan ilmu –terlebih ilmu agama- hukumnya
wajib dan haram menyembunyikannya. Allah berfirman di surat Al-Baqarah: 159, “Sesungguhnya
orang-orang yang menyembunyikan apa yang telah Kami turunkan berupa
keterangan-keterangan (yang jelas) dan petunjuk, setelah Kami menerangkannya
kepada manusia dalam Al Kitab, mereka itu dilaknati Allah dan dilaknati (pula)
oleh semua (mahluk) yang dapat melaknati.” Juga sebuah hadis riwayat Abu
Hurairah yang termaktub di kitab Musnad Imam Ahmad bin Hambal, Rasulullah Saw
bersabda, “Barang siapa yang menyembunyikan ilmu yang ia mengerti, kelak di
hari kiamat ia akan dikekang dengan kekangan api neraka.”
Para ulama yang sepakat
dengan pendapat kedua berdalih dengan ayat dan hadis yang melarang untuk
memakan makanan hasil dari kebatilan atau riba. Di antara ayat-ayat tersebut
yaitu surat Al-Baqarah: 188, “Janganlah kalian makan dari harta kalian yang diperoleh
dengan proses yang batil...” Dan mengajar atau berdakwah bukanlah sebuah
kebatilan. Dalil kedua yang menjadi sandaran pendapat kedua ini adalah hadis
riwayat Imam Bukhari dan Muslim yang menjelaskan bahwa Rasulullah Saw pernah menikahkan seorang sahabat Anshar
dengan mahar sahabat tersebut mengajarkan al-Quran kepada istrinya.
Bila kita telisik kedua
pendapat di atas, keduanya memiliki sebuah landasan masing-masing tersendiri
selain dalil yang telah dipaparkan. Pendapat pertama mengharamkan sebab
ditakutkan kegiatan belajar-mengajar dan berdakwah akan menjadi ladang bisnis
untuk meraih kebahagiaan dunia dan ini juga termasuk dalam ayat yang melarang
makan dari sebuah kebatilan. “Janganlah kalian makan dari harta kalian yang diperoleh
dengan proses yang batil...”
Islam juga melarang
seorang muslim menjual agama/akhiratnya demi kenikmatan dunia. Ilmu syariat
merupakan bekal yang ditawarkan oleh Islam untuk kehidupan akhirat dan tak
pantas bila hal itu ditukar dengan kepingan mata uang. “Mereka menukarkan
ayat-ayat Allah dengan harga yang sedikit, lalu mereka menghalangi (manusia)
dari jalan Allah. Sesungguhnya amat buruklah apa yang mereka kerjakan.”
At-Taubah: 9.
Pendapat kedua memperbolehkan dengan alasan bukan membayar ilmu dari seorang dai/ustaz namun membayar waktu dan tenaga yang telah dikerahkan untuk berdakwa dan mengajar. Juga diniati sebagai hadiah dan simbol terima kasih. Bahasa pesantrennya “Bisyarah”, kabar gembira. Dalam sebuah kesempatan Rasulullah bersabda, “Saling memberi hadiahlah di antara kalian, karena hadiah melenyapkan letupan kebencian di dada kalian..” HR: At-Tirmidzi.
Pendapat kedua memperbolehkan dengan alasan bukan membayar ilmu dari seorang dai/ustaz namun membayar waktu dan tenaga yang telah dikerahkan untuk berdakwa dan mengajar. Juga diniati sebagai hadiah dan simbol terima kasih. Bahasa pesantrennya “Bisyarah”, kabar gembira. Dalam sebuah kesempatan Rasulullah bersabda, “Saling memberi hadiahlah di antara kalian, karena hadiah melenyapkan letupan kebencian di dada kalian..” HR: At-Tirmidzi.
Setelah menimbang lebih
jauh kedua pendapat di atas, kiranya kita mufakat dengan kedua pendapat
tersebut, melihat tidak ada kontradiksi di antara keduanya. Namun tentu harus
dilandasi dengan niat, alasan dan tujuannya yang benar. Lantas, bolehkah bila
seorang dai/ustaz mematok harga khusus untuk sebuah ceramah atau mengajar? Tentu jawaban yang paling konkrit dan tepat adalah TIDAK. Dalam
hal ini, saya lebih memilih menyalahkan kedua pihak. Baik pihak panitia pengundang
maupun pihak si dai/ustaz.
Tak selayaknya seorang
dai/ustaz yang digadang-gadang sebagai pewaris para Nabi, mematok harga untuk
sebuah ceramah atau mengajar. Sebab bila Islam mengajarkan itu, niscaya Nabi
Muhammad Saw adalah manusia terkaya se-dunia hingga akhir masa, lantaran tak
pernah luput ajaran agama dari kata-kata mutiara yang keluar dari lisan beliau.
Pihak yang mengundang juga
salah, jika telah tahu ada seorang dai/ustaz yang memang mematok harga, lalu tetap
saja diundang untuk berceramah/mengajar. Karena jika hal ini terus-menerus terjadi,
maka si dai/ustaz tersebut menjadi kebiasaan dan tentu akan semakin meninggikan
harganya bilamana undangan yang dilayangkan kepadanya semakin deras.
Oleh karenaya, mari kita
sama-sama belajar tentang keikhlasan. Seorang dai/ustaz sudah layaknya tak memandang
pesangon yang diberikan kepadanya, dan para kaum muslimin tidak terlalu memilah
dan milih paras atau ketenaran seorang dai/ustaz yang diundang. Semoga dengan
ini, kita bisa berkesimpulan bahwa pada hakikatnya upah dari hasil berdakwah
dan mengajar sah-sah saja bila niat, alasan dan tujuannya benar. Dan kita
mengerti bahwa agama tidak bisa dipatok oleh harga setinggi apapun karena Islam
agama yang sangat tinggi serta mulia yang tak mampu tertandingi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar