Senin, 19 Agustus 2013

Bolehkah Dai/Ustaz Mematok Tarif?

Kala Uje wafat, saya langsung menulis sebuah opini berjudul “Menilai Dai/Ustaz layar Kaca” (baca: http://masyaqien.blogspot.com/2013/08/menilai-ustazdai-layar-kaca.html). Dalam tulisan itu saya mengupas tentang kepribadian para dai dan ustaz televisi, apakah kepribadian mereka sesuai dengan apa yang selama ini mereka dengungkan melalui firman Allah dan hadis Nabi atau tidak? Saya lebih memilih berbaik sangka dalam hal ini, toh kita sebagai manusia biasa hanya sanggup menilai seseorang secara kasat mata.

Saat ini, media sosial semacam Facebook dan Twitter sedang ramai membincang tentang “Ustaz Bertarif”, sepertinya hati saya terketuk untuk menulis sebuah wacana yang mungkin manfaatnya bisa menyeluruh.

Berdakwah merupakan sebuah kewajiban bagi siapa saja yang mampu. Tentu tidak serta-merta semua orang bisa mengeklaim dirinya sebagai dai atau ustaz. Seorang dai/ustaz harus teruji secara keilmuan, keimanan, budi pekerti dan keikhlasan. Mungkin, di antara beberapa poin yang harus dilampaui oleh seorang dai/ustaz tersebut ada satu poin yang sulit untuk diteropong lebih jauh, yaitu keikhlasan.

Kita bisa mengetahui strata kelimuan seorang dai/ustaz dengan mendengar dan memperhatikan apa yang disampaikan. Adapun keimanan, kita bisa mengukurnya melalui akhlak seorang dai/ustaz tersebut, sebab Imam Ibnul Qoyyim berkata, “Agama adalah budi pekerti. Barang siapa yang lebih baik budi pekertinya darimu, berarti ia lebih beriman darimu.” Dan sudah barang tentu, budi pekerti sangat mudah kita ketahui dengan mata telanjang, apakah seorang dai/ustaz berakhlak sesuai ajaran agama atau justru malah melenceng dari tuntunan yang telah digariskan oleh Allah dan Rasul-Nya. Seperti berkata baik, sopan, dan tidak mencemooh orang lain, apalagi menghardik dengan kata-kata yang dinisbatkan kepada agama seperti kafir, musyrik, dan murtad tanpa ada alasan yang disahkan oleh agama.

Namun bila kita menyinggung soal keikhlasan, agaknya amat jarang manusia di jagat raya ini yang tahu, mana orang yang benar-benar ikhlas dan mana orang yang tak pernah ikhlas? Sebab ikhlas bertempat di hati dan hati hanya otoritas pemilik dan penciptanya. Kita tak akan tahu seseorang itu ikhlas atau tidak kecuali orang itu sendiri dan Tuhan yang Maha Mengetahui.

Sebelum menulis, saya harus membuka diktat kuliah saya pelajaran fikih tingkat II terlebih dulu. Sebab dalam buku itu terdapat bab yang mengupas tentang hukum seorang dai/ustaz mengampil upah dari hasil dakwah dan mengajarnya.

Ada dua pendapat menyoal masalah ini: Pertama, haram hukumnya mengambil upah hasil dari mengajar ilmu-ilmu syariat. Pendapat ini didukung oleh Imam Al-Qarafi dari mazhab Maliki, Imam As-Subki dari mazhab Syafii, para ulama pendahulu mazhab Hanafi, dan diikuti oleh para ulama kontemporer. Namun hanya sepertiga dari ulama masa kini yang setuju dengan pendapat ini. Kedua, boleh hukumnya mengambil upah hasil dari mengajar ilmu-ilmu syariat. Pendapat kedua ini merupakan pendapat mayoritas ulama baik dari kalangan sahabat hingga saat ini.

Adapun beberapa dalil pendapat pertama adalah bahwa menyebarkan ilmu –terlebih ilmu agama- hukumnya wajib dan haram menyembunyikannya. Allah berfirman di surat Al-Baqarah: 159, “Sesungguhnya orang-orang yang menyembunyikan apa yang telah Kami turunkan berupa keterangan-keterangan (yang jelas) dan petunjuk, setelah Kami menerangkannya kepada manusia dalam Al Kitab, mereka itu dilaknati Allah dan dilaknati (pula) oleh semua (mahluk) yang dapat melaknati.” Juga sebuah hadis riwayat Abu Hurairah yang termaktub di kitab Musnad Imam Ahmad bin Hambal, Rasulullah Saw bersabda, “Barang siapa yang menyembunyikan ilmu yang ia mengerti, kelak di hari kiamat ia akan dikekang dengan kekangan api neraka.”  

Para ulama yang sepakat dengan pendapat kedua berdalih dengan ayat dan hadis yang melarang untuk memakan makanan hasil dari kebatilan atau riba. Di antara ayat-ayat tersebut yaitu surat Al-Baqarah: 188, “Janganlah kalian makan dari harta kalian yang diperoleh dengan proses yang batil...” Dan mengajar atau berdakwah bukanlah sebuah kebatilan. Dalil kedua yang menjadi sandaran pendapat kedua ini adalah hadis riwayat Imam Bukhari dan Muslim yang menjelaskan bahwa Rasulullah Saw  pernah menikahkan seorang sahabat Anshar dengan mahar sahabat tersebut mengajarkan al-Quran kepada istrinya.

Bila kita telisik kedua pendapat di atas, keduanya memiliki sebuah landasan masing-masing tersendiri selain dalil yang telah dipaparkan. Pendapat pertama mengharamkan sebab ditakutkan kegiatan belajar-mengajar dan berdakwah akan menjadi ladang bisnis untuk meraih kebahagiaan dunia dan ini juga termasuk dalam ayat yang melarang makan dari sebuah kebatilan. “Janganlah kalian makan dari harta kalian yang diperoleh dengan proses yang batil...”

Islam juga melarang seorang muslim menjual agama/akhiratnya demi kenikmatan dunia. Ilmu syariat merupakan bekal yang ditawarkan oleh Islam untuk kehidupan akhirat dan tak pantas bila hal itu ditukar dengan kepingan mata uang. “Mereka menukarkan ayat-ayat Allah dengan harga yang sedikit, lalu mereka menghalangi (manusia) dari jalan Allah. Sesungguhnya amat buruklah apa yang mereka kerjakan.” At-Taubah: 9. 

           Pendapat kedua memperbolehkan dengan alasan bukan membayar ilmu dari seorang dai/ustaz namun membayar waktu dan tenaga yang telah dikerahkan untuk berdakwa dan mengajar. Juga diniati sebagai hadiah dan simbol terima kasih. Bahasa pesantrennya “Bisyarah”, kabar gembira. Dalam sebuah kesempatan Rasulullah bersabda, “Saling memberi hadiahlah di antara kalian, karena hadiah melenyapkan letupan kebencian di dada kalian..” HR: At-Tirmidzi.

Setelah menimbang lebih jauh kedua pendapat di atas, kiranya kita mufakat dengan kedua pendapat tersebut, melihat tidak ada kontradiksi di antara keduanya. Namun tentu harus dilandasi dengan niat, alasan dan tujuannya yang benar. Lantas, bolehkah bila seorang dai/ustaz mematok harga khusus untuk sebuah ceramah atau mengajar? Tentu jawaban yang paling konkrit dan tepat adalah TIDAK. Dalam hal ini, saya lebih memilih menyalahkan kedua pihak. Baik pihak panitia pengundang maupun pihak si dai/ustaz.

Tak selayaknya seorang dai/ustaz yang digadang-gadang sebagai pewaris para Nabi, mematok harga untuk sebuah ceramah atau mengajar. Sebab bila Islam mengajarkan itu, niscaya Nabi Muhammad Saw adalah manusia terkaya se-dunia hingga akhir masa, lantaran tak pernah luput ajaran agama dari kata-kata mutiara yang keluar dari lisan beliau.

Pihak yang mengundang juga salah, jika telah tahu ada seorang dai/ustaz yang memang mematok harga, lalu tetap saja diundang untuk berceramah/mengajar. Karena jika hal ini terus-menerus terjadi, maka si dai/ustaz tersebut menjadi kebiasaan dan tentu akan semakin meninggikan harganya bilamana undangan yang dilayangkan kepadanya semakin deras.

Oleh karenaya, mari kita sama-sama belajar tentang keikhlasan. Seorang dai/ustaz sudah layaknya tak memandang pesangon yang diberikan kepadanya, dan para kaum muslimin tidak terlalu memilah dan milih paras atau ketenaran seorang dai/ustaz yang diundang. Semoga dengan ini, kita bisa berkesimpulan bahwa pada hakikatnya upah dari hasil berdakwah dan mengajar sah-sah saja bila niat, alasan dan tujuannya benar. Dan kita mengerti bahwa agama tidak bisa dipatok oleh harga setinggi apapun karena Islam agama yang sangat tinggi serta mulia yang tak mampu tertandingi.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar