![]() |
Menggendong Basmalah |
Jika
kita berbicara tentang negara yang barang produksinya melalang ke berbagai belahan
dunia, mungkin Cina lah yang tepat untuk kita perbincangkan. Mulai dari motor,
telepon genggam, mesin cuci, hingga sandal jepit pun sering kita temui tulisan Made
in China.
Apalagi Mesir,
seluruh pernak-pernik cendera mata seperti patung mini Piramida dan Spink
juga buatan Cina. Hampir segala barang yang berbau elektronik
di sini impor dari Cina. Lebih dari 70% penduduk Mesir lebih memilih handphone
merek Cina. Jadi,
tak ayal jika sering kita dengar bualan-bualan pedagang di pasar, “Kullu Hagah min Shiin”.
Segala sesuatu dibuat oleh Cina.
Dan mungkin bila Piramida sanggup kita angkat, kita akan temui dibawahnya Made in China.
Ketika berpikir, mengapa begitu banyak produk Cina yang
berkeliaran di negeri Musa ini, setidaknya ada beberapa spekulasi yang muncul
di pikiranku. Pertama, karena etos kerja orang Mesir yang tergolong malas dan
acuh dengan pekerjaan. Lihat saja, pukul 08.00 pagi mereka masuk kantor. Lalu sarapan sampai pukul
09.00. Tak hanya itu, mukadimah bekerja mereka juga minum
teh hangat sembari ngobrol dulu satu jam hingga jarum jam menunjukkan angka
sepuluh. Baru mereka
duduk di kursi yang paling mereka benci selama hidupnya. Dalam bekerja pun, mereka mengikutsertakan
mulut mereka yang penuh dengan busa obrolan yang tidak jelas. Meracau dengan seenaknya.
Hingga
tak jarang, mahasiswa-mahasiswa
asing yang
sedang mengurus administrasi
dicampakkan hanya lantaran orang Mesir lebih suka menggerakkan bibir mereka dibanding jari,
tangan, kaki dan otak mereka. Belum lagi saat mendengar azan zuhur, mereka akan mandek kerja dengan alasan salat lalu
enggan meneruskan pekerjaan mereka dan bilang dengan penuh adidaya, “Silakan
datang lagi besok!”. Sekurangnya hanya dua jam mereka menjalankan kewajiban
sebagai suami dan ayah di medan jihad. Bagaimana bisa memproduksi barang
tertentu,
coba?
Kedua, produk Cina tak banyak menguras
kantong. Terbukti bila kita mengeluarkan uang 350 Pound Mesir atau Rp500.000, kita sudah bisa melihati jari-jari kita menari di atas
layar sentuh handphone
bersistem Andorid. Aku sendiri sering menemui orang mesir dengan
pongahnya memamerkan hape barunya
lantaran di genggamanku hanya Nokia tipe lawas yang hanya berfungsi untuk
telepon dan SMS saja.
Sangat hebat memang negara satu ini, Kawan.
Oh iya, setahun yang lalu aku pernah bekerja di restoran Cina selama sebulan.
Ini termasuk pengalaman yang tak bisa terenyahkan begitu saja. Aku bekerja
mulai
pukul 10.00 pagi hingga
pukul 10.00 malam. Bahkan bisa lembur sampai pukul 12.00 dini hari. Sebagai tukang cuci piring dan pelayan
restoran, tentunya aku tak bisa semena-mena mengambil alih bagian koki. Koki
sudah ada, asli orang Cina. Ia tak bisa bercakap dengan bahasa Arab.
Paling-paling hanya tanya kabar. Belum lagi si Bos. Pemilik restoran yang mempekerjakan dua orang asing
ini bertubuh besar. Dia sering marah jika kerja kami tak becus. Aku bekerja
dengan satu orang Afrika setiap harinya, Said namanya. Dia
dari negara Burundi.
Ada juga istri bos. Dia juga ikut bekerja dengan kami. Meskipun sedang merawat
anak perempuan yang baru berumur 1,5 tahun, ia tak mau kalah dengan suaminya.
Ia mampu menunjukkan pada suaminya bahwa orang Cina rajin bekerja. Kalau dia ikut bekerja, bukan lagi
cuci piring dan melayani tamu lagi yang aku kerjakan, Kawan. Pasti kau sudah
tahu, ya benar. Nilai seratus untukmu, aku jadi baby brother. Menimang
anak bos, mendendangkan lagu untuknya dan mengajak bicara meski aku harus sabar
seperti orang gila yang tak dapat jawaban apapun. Basmalah, itulah nama yang
diberikan oleh kedua bosku untuk anak keduanya ini. Dia amat lucu dan
menggemaskan.
Yang paling membuatku geleng-geleng kepala adalah kuatnya orang Cina bekerja lebih dari 15 jam tanpa henti. Sangat gila
memang! Aku saja usai merampungkan cucian piring dan merapikannya, pulang ke
asrama dengan kaki terseok-seok. Sangat letih dan amat capek. Tapi, kerja 12-15 jam bagi mereka dianggap belum apa-apa. Meski demikian, kami selalu makan bersama 2-3 kali dalam sehari. Aku dilarang makan dengan meja sendiri. Harus satu meja
dengan lima kursi. Itulah
keramahan orang Cina. Meski mereka mencerca dan memarahi bila pekerjanya
melakukan kesalahan, mereka cukup mengayomi para pekerja.
Tapi aku enggan menambah kontrak kerja sebulan lagi.
Selain gaji yang tak seimbang dengan pekerjaan, aku juga hendak fokus untuk
ujian. Itulah orang Cina, pelit dalam memberikan gaji. Pernah
suatu saat ada turis makan di restoran tempat aku kerja, si turis meninggalkan
uang tips di balik piring-piring kotor di atas meja. Belum sampai aku di meja
itu, si Bos dengan sigapnya mengambil uang tips itu. Sekecil apapun nilai mata uang, pasti orang Cina akan mengungkitnya. Aku jadi teringat kata-kata yang sudah melekat di diri
teman-teman sekamarku. Ketika diantara kami ada yang sedikit bersikap pelit,
langsung serentak suara tinggi melengking memenuhi kamar kami, “Oh, Cino!!”
Entahlah. Selama di Mesir, begitu akrab kata “Cina” dengan mahasiswa Indonesia di sini. Hampir setiap bertemu orang Mesir, kami selalu disangka orang Cina. Padahal kulit kami cokelat dan mata kami lebar. Begitu tak mampukah orang Mesir membedakan antara
orang Indonesia dan Cina?
Ada lagi, kata “Cina” yang
keluar dengan reflek dari mulut teman-teman. Bila sedang
main game Pe-Es Foot Ball
dan salah satu pemain yang dimainkan mengumpan bola saat berhadapan dengan
penjaga gawang lawan, maka kata “Cino!!!” akan menggema dengan
nyaringnya. Entah mengapa “Cina“ yang disebutkan. Padahal negara dengan sepak bola terhebat bukan Cina,
melainkan Brazil, Argentina, Spanyol, Italia, dan Inggris.
Saking banyaknya produk Cina yang tersebar di dunia, ada
anekdot yang cukup booming di telingaku (dan mungkin juga di telingamu, Kawan). Begini bunyinya, “Jika Tuhan menciptakan langit dan
bumi, maka yang menciptakan isi antara langit dan bumi adalah orang Cina.”
Begitu adidayanya Cina dalam mencipta
hingga mengalahkan Amerika. Begitu kayanya Cina berkarya hingga produknya mampu
menembus pelosok Sumatra. Begitu dan begitunya Cina sampai dua minggu aku memakai sandal jepit, aku baru tahu sandalku itu juga buatan Cina.
Untuk
urusan dunia, orang Cina layaknya orang yang sedang haus meneguk air laut.
Bukan
lepas dahaganya, malah kian meradang tenggorokannya. Untung aku keturunan Madura-Jawa, bukan keturunan Cina.
Kairo,
1/04/2013
Tidak ada komentar:
Posting Komentar