Senin, 26 Agustus 2013

Grand Shaikh Al-Azhar; Syekh Ahmad Tayyib

Grand Shaikh Al-Azhar, Syekh Ahmad Tayyib 
Akhir-akhir ini beberapa media yang tak bertanggung jawab atas sumbernya, gencar memberitakan sosok nomer wahid di lembaga Islam tertua dan terbesar se-dunia, Al-Azhar As-Syarif.  Media-media yang sarat akan bau politik itu mencerca, menghina, melecehkan, menistakan, dan menuduh Grand Shaikh Al-Azhar, Al-Imam Al-Akbar Syekh Ahmad Tayyib dengan dakwaan yang tak benar adanya. Dengan rasa cinta dan hormat yang meletup ini, saya ingin menggoreskan sebuah pengetahuan, pengalaman, dan pelajaran dari pribadi guru yang sufi, penuh sayang dan pengertian. 

Syekh yang Sufi dan Zuhud

Syekh Ahmad Tayyib yang saya kenal dan tahu adalah seorang ulama yang sangat zuhud dan mengaplikasikan norma-norma agama melalui ilmu syariat dan tasawuf. Beliau menjadi salah satu pimpinan tarekat tasawuf di tanah kelahirannya di daerah Luxor setelah ayahanda beliau wafat. Sisi kehidupannya yang nyufi ini terbukti dengan beliau menyewa sebuah rumah di kawasan Nashr City dalam jangka waktu yang sangat panjang. Beliau hanya tinggal seorang diri lantaran keluarga beliau berada di Luxor. Setelah beliau ditetapkan menjadi Grand Shaikh Al-Azhar, pemilik rumah yang disewa oleh Syekh Tayyib, menggratiskan rumah itu untuk Syekh sembari berkata kepada beliau, “Ya Syekh, engkau sekarang menjadi Imam Besar Al-Azhar, jangankan hanya rumah sederhana ini, anda pun berhak menunjuk sebuah fila di bilangan Tajammu’ dan saya yakin tak seorang pun yang akan menolak permintaan anda itu.” Syekh Tayyib hanya menganggap pernyataan pemilik rumah itu sebagai lelucon, meskipun si pemilik rumah itu mengutarakannya dengan penuh sungguh-sungguh. Dan Syekh Tayyib pun tetap membayar sewa rumah itu.
           
          Seorang pakar hukum dan pengacara senior, Prof. Dr. Jabir Jad Nasshar dalam tulisannya di sebuah media lokal Mesir, membuktikan bahwa Syekh Tayyib benar-benar orang yang jauh dari kegelimangan harta. Ia pernah dihubungi oleh salah satu konsultan Grand Shaikh Al-Azhar, bahwa Syekh Tayyib enggan menerima gaji sebagai Grand Shaikh Al-Azhar, yang saat itu gaji sebagai Grand Shaikh Al-Azhar mencapai kelipatan puluhan ribu pound Mesir. Setelah hal ini dilaporkan dan dibahas dengan pemerintah, pemerintah pun mengamini bahwa Grand Shaikh Al-Azhar berhak menentukan sendiri berapa gaji yang diterima. Setelah mengetahui isi perbincangan dengan pemerintah itu, sontak Syekh Tayyib berkata, “Apakah kalian ingin memotong tanganku?(beliau menganggap menentukan gaji sendiri sama halnya mencuri uang Al-Azhar dan umat Islam). Saya tidak akan menuntut gaji dari Al-Azhar. Dan saya tidak akan menentukan gaji saya dari kas Al-Azhar dan kementerian agama. Memang mustahil saya bekerja tanpa bayaran, tapi saya tidak akan menuntut satu keping mata uang pun dari kas Al-Azhar.”

       Pada bulan April lalu, Grand Shaikh Al-Azhar, Syekh Ahmad Tayyib menerima penghargaan dan hadiah sebesar 1 juta dirham Emirat (2,5 miliar rupiah) dari Emirat Arab. Hadiah tersebut sebagai penghargaan kepada beliau yang selama ini memimpin Al-Azhar yang moderat, santun, dan rahmatan lil alamin dalam mengemban misi Islam. Hadiah uang yang bisa untuk membangun rumah gedongan itu, langsung dihibahkan oleh Syekh Tayyib ke bendahara Al-Azhar dan langsung masuk ke kas Al-Azhar.

Syekh yang Penyayang

Memang saya tak banyak bersua dengan Syekh Tayyib, namun dalam beberapa pertemuan dengan beliau banyak pelajaran yang saya petik dari sikap beliau yang begitu sayang dan pengertian kepada murid-muridnya.

Seminggu sampai di tanah Musa ini, saya beserta rombongan teman saya yang berjumlah 23 orang mengurus administrasi agar bisa ikut test masuk kuliah yang di adakan oleh pihak Al-Azhar pada tahun itu juga. Pihak senior kami bernegosiasi dengan pihak Al-Azhar yang bertanggung-jawab atas test tersebut. Berjam-jam kami menunggu, hasilnya tetap sama. Kami harus menunggu satu tahun ke depan untuk bisa duduk di kampus Universitas Al-Azhar, padahal kami telah menunggu satu tahun selama di Indonesia. Cekcok ringan pun terjadi antara panitia penyelenggara test dengan senior kami, secara kebetulan Grand Shaikh Al-Azhar kala itu mengecek seluruh komponen kampus mulai sekolah persiapan, test masuk Al-Azhar, hingga fakultas perkuliahan.

Syekh Tayyib pun bertanya, “Ada apa kok gaduh seperti ini?”. Setelah kami semua bersalaman, akhirnya senior kami dipanggil oleh Syekh Tayyib dan dipersilahkan mengutaran unek-uneknya di kantor beliau.

Di Masyikhah, kantor Grand Shaikh Al-Azhar, senior kami menjelaskan bahwa kami telah menunggu pemberangkatan ke Mesir selama hampir setahun, dan itu pun kami harus berangkat dengan uang sendiri dengan menambah beberapa juta lantaran melalui jalur visa on arrival. Sebagian besar kami hanyalah orang berkecukupan, juga sebagian dari kami berangkat dengan hasil menyebarkan proposal studi ke beberapa para dermawan. Kami pun tak diperbolehkan mengikuti test masuk kuliah di Al-Azhar oleh pihak penyelenggara.

Syekh Tayyib merasa sedih mendengar keadaan kami. Beliau pun langsung menulis nota yang berisi bahwa kami diperbolehkan mengikuti test masuk Al-Azhar saat itu juga dan kami boleh tinggal di asrama dan sejak bulan itu pula kami bisa menerima uang beasiswa Al-Azhar perbulannya. Padahal kami bukan mahasiswa yang dinyatakan lulus test ke Mesir melalui jalur beasiswa.

Jujur, mendengar berita baik itu, ibu saya langsung menangis seraya bersyukur sebab doa yang selama ini beliau panjatkan di terima oleh Allah. Ibu saya senang lantaran hidup saya di Mesir ditanggung oleh Al-Azhar dan tidak lagi harus berpeluh-peluh bekerja.

Salah satu pertemuan saya pada kesempatan lain dengan Syekh Tayyib yang penuh dengan kasih sayang kepada muridnya adalah pada bulan Ramadan dua tahun lalu di masjid Al-Azhar. Saat itu beliau menghadiri Khatmil Quran salat Tarawih di masjid Al-Azhar. Seusai salat, beliau mempersilahkan para hadirin yang ingin bersalaman dengan beliau untuk memasuki ruangan khusus para ulama Al-Azhar satu persatu dengan tertib. Saya pun masuk dan bersalaman dengan beliau. Seusai mencium tangan beliau, saya dipersilahkan untuk mengambil kue yang sejatinya diperuntukkan untuk beliau dan para ulama yang lain. Tak hanya saya, semua yang bersalaman dengan beliau juga dipersilahkan mengambil kue di depan beliau. Padahal beliau belum mencicipi satu pun kue yang kami ambil. Sungguh amat sayang sekali beliau kepada para murid-muridnya.

Pemimpin yang Pengertian

Beberapa tahun terakhir ini berulang-ulang tindakan provokasi dan demonstrasi digelar yang menginginkan Syekh Tayyib turun dari jabatannya. Tak ayal, demo pro dan mendukung semua langkah Syekh Tayyib pun juga diadakan untuk menandingi pihak yang kontra. Di antara pihak yang pro itu adalah para bekerja asrama kami. Asrama Internasional Al-Azhar yang biasa disebut Madinat Buust Al-Islamiyah.

Saat ditanya mengapa mereka mendukung Syekh Tayyib, mereka menjawab dengan kompak, “Karena Syekh Tayyib pengertian dengan hidup kami. Beliau lah yang menaikkan gaji kami hingga kehidupan kami sedikit terangkat.”

Ya, memang gaji yang mereka dapat selama bekerja di Al-Azhar tidak bisa mencukupi segala kebutuhan mereka. Sampai tak jarang dari mereka yang setelah bekerja di asrama, mereka bekerja lagi menjadi sopir taksi, berjualan keliling, bekerja di toko, dll. Oleh karenanya, mereka takut bila Syekh Tayyib diturunkan, keluarga mereka kelaparan, anak-anak mereka tak bisa mengenyam pendidikan.

Demikianlah sosok Grand Shaikh Al-Azhar, Syekh Ahmad Tayyib, yang penulis ketahui. Beliau adalah seorang Syekh yang tak ingin kaya dengan ‘aji mumpung’ menjabat sebagai Grand Shaikh Al-Azhar. Beliau bukanlah seorang yang gampang tertipu akan glamornya dunia. Beliau bukanlah seorang ulama yang terjebak dengan jabatan dan kenikmatan semata. Beliau bukanlah sosok yang selama ini diberitakan oleh media-media politik yang menghalalkan segala cara untuk membela dan memuluskan langkah-langkah politiknya. Beliau seorang guru yang sayang dan memperhatikan kondisi dan keadaan para muridnya. Beliau seorang pemimpin yang mengerti akan hal dan ihwal yang beliau pimpin.

Tulisan ini bukan sebuah pentahbisan seorang murid kepada gurunya melainkan hanya sebuah luapan rasa cinta seorang murid kepada gurunya. Guru yang selama ini direndahkan, dinistakan dan dituduh dengan propaganda yang diluncurkan oleh sebagian golongan yang tak bertanggung-jawab. 

8 komentar:

  1. Subhanallah luar biasa tulisannya Ustadz, antum telah memberi angin segar kala udara maya begitu sesak dengan orang2 yang lupa akan guru dan kehilangan suluknya. Syukron, Salam kenal. kalau ada waktu mampir juga ke rumah saya di miftahunanote.blogspot.com

    BalasHapus
    Balasan
    1. Iya salam kenal juga Ustaz. Semoga bisa saling berbagi kemanfaatan. Syukron.

      Hapus
  2. Demi Allah. Saya menangis setelah membaca tulisan ini.

    BalasHapus
    Balasan
    1. semoga tulisan ini bisa menjadi tuntunan bagi kita semua. Amiin.

      Hapus
  3. Allah Akbar,,,,,,,,,allah akbar,,,,,,,,,,,,,
    tulisan ini sungguh sangat menyentuh hati,,,,,,,,,,,,,,,,,,,

    saya izin untuk menyimpannya,,,,,,,,sukron ,,,,,,,

    BalasHapus