Grand Shaikh Al-Azhar, Syekh Ahmad Tayyib |
Akhir-akhir ini beberapa media yang tak
bertanggung jawab atas sumbernya, gencar memberitakan sosok nomer wahid di
lembaga Islam tertua dan terbesar se-dunia, Al-Azhar As-Syarif. Media-media yang sarat akan bau politik itu
mencerca, menghina, melecehkan, menistakan, dan menuduh
Grand Shaikh Al-Azhar, Al-Imam Al-Akbar Syekh Ahmad Tayyib dengan dakwaan yang
tak benar adanya. Dengan rasa cinta dan hormat yang meletup ini, saya ingin menggoreskan
sebuah pengetahuan, pengalaman, dan pelajaran dari pribadi guru yang sufi, penuh sayang dan pengertian.
Syekh yang Sufi dan
Zuhud
Syekh Ahmad Tayyib yang saya kenal dan tahu
adalah seorang ulama yang sangat zuhud dan mengaplikasikan norma-norma agama
melalui ilmu syariat dan tasawuf. Beliau menjadi salah satu pimpinan tarekat
tasawuf di tanah kelahirannya di daerah Luxor setelah ayahanda beliau wafat.
Sisi kehidupannya yang nyufi ini terbukti dengan beliau menyewa sebuah rumah
di kawasan Nashr City dalam jangka waktu yang sangat panjang. Beliau hanya
tinggal seorang diri lantaran keluarga beliau berada di Luxor. Setelah beliau
ditetapkan menjadi Grand Shaikh Al-Azhar, pemilik rumah yang disewa oleh Syekh
Tayyib, menggratiskan rumah itu untuk Syekh sembari berkata kepada beliau, “Ya
Syekh, engkau sekarang menjadi Imam Besar Al-Azhar, jangankan hanya rumah
sederhana ini, anda pun berhak menunjuk sebuah fila di bilangan Tajammu’ dan
saya yakin tak seorang pun yang akan menolak permintaan anda itu.” Syekh Tayyib
hanya menganggap pernyataan pemilik rumah itu sebagai lelucon, meskipun si
pemilik rumah itu mengutarakannya dengan penuh sungguh-sungguh. Dan Syekh
Tayyib pun tetap membayar sewa rumah itu.
Seorang pakar hukum dan pengacara senior, Prof.
Dr. Jabir Jad Nasshar dalam
tulisannya di sebuah media lokal Mesir, membuktikan bahwa Syekh Tayyib benar-benar orang yang
jauh dari kegelimangan harta. Ia pernah dihubungi oleh salah satu konsultan
Grand Shaikh Al-Azhar, bahwa Syekh Tayyib enggan menerima gaji sebagai Grand
Shaikh Al-Azhar, yang saat itu gaji sebagai Grand Shaikh Al-Azhar mencapai
kelipatan puluhan ribu pound Mesir. Setelah hal ini dilaporkan dan dibahas dengan pemerintah,
pemerintah pun mengamini bahwa Grand Shaikh Al-Azhar berhak menentukan sendiri
berapa gaji yang diterima. Setelah mengetahui isi perbincangan dengan
pemerintah itu, sontak Syekh Tayyib berkata, “Apakah kalian ingin memotong tanganku?(beliau
menganggap menentukan gaji sendiri sama halnya mencuri uang Al-Azhar dan umat
Islam). Saya tidak akan menuntut gaji dari Al-Azhar. Dan saya tidak akan
menentukan gaji saya dari kas Al-Azhar dan
kementerian agama. Memang mustahil saya bekerja tanpa bayaran, tapi saya tidak
akan menuntut satu keping mata uang
pun dari kas Al-Azhar.”
Pada bulan April lalu, Grand Shaikh Al-Azhar,
Syekh Ahmad Tayyib menerima penghargaan dan hadiah sebesar 1 juta dirham Emirat
(2,5 miliar rupiah) dari Emirat Arab. Hadiah tersebut sebagai penghargaan
kepada beliau yang selama ini memimpin Al-Azhar yang moderat, santun, dan rahmatan
lil alamin dalam mengemban misi Islam. Hadiah uang yang bisa untuk
membangun rumah gedongan itu, langsung dihibahkan oleh Syekh Tayyib ke
bendahara Al-Azhar dan langsung masuk ke kas Al-Azhar.
Syekh yang Penyayang
Memang saya tak banyak
bersua dengan Syekh Tayyib, namun dalam beberapa pertemuan dengan beliau banyak
pelajaran yang saya petik dari sikap beliau yang begitu sayang dan pengertian
kepada murid-muridnya.
Seminggu sampai di tanah
Musa ini, saya beserta rombongan teman saya yang berjumlah 23 orang mengurus
administrasi agar bisa ikut test masuk kuliah yang di adakan oleh pihak Al-Azhar pada tahun itu juga. Pihak senior kami
bernegosiasi dengan pihak Al-Azhar yang bertanggung-jawab atas test tersebut.
Berjam-jam kami menunggu, hasilnya tetap sama. Kami harus menunggu satu tahun ke depan untuk bisa duduk di kampus
Universitas Al-Azhar, padahal kami telah menunggu satu tahun selama di
Indonesia. Cekcok ringan pun terjadi antara panitia penyelenggara test dengan
senior kami, secara kebetulan Grand Shaikh Al-Azhar kala itu mengecek seluruh komponen
kampus mulai sekolah persiapan, test masuk Al-Azhar, hingga fakultas
perkuliahan.
Syekh Tayyib pun
bertanya, “Ada apa kok gaduh seperti ini?”. Setelah kami semua bersalaman,
akhirnya senior kami dipanggil oleh Syekh Tayyib dan dipersilahkan mengutaran
unek-uneknya di kantor beliau.
Di Masyikhah,
kantor Grand Shaikh Al-Azhar, senior kami menjelaskan bahwa kami telah menunggu
pemberangkatan ke Mesir selama hampir setahun, dan itu pun kami harus berangkat
dengan uang sendiri dengan menambah beberapa juta lantaran melalui jalur visa
on arrival. Sebagian besar kami hanyalah orang berkecukupan, juga sebagian
dari kami berangkat dengan hasil menyebarkan proposal studi ke beberapa para
dermawan. Kami pun tak diperbolehkan mengikuti test masuk kuliah di Al-Azhar
oleh pihak penyelenggara.
Syekh Tayyib merasa
sedih mendengar keadaan kami. Beliau pun langsung menulis nota yang berisi
bahwa kami diperbolehkan mengikuti test masuk Al-Azhar saat itu juga dan kami
boleh tinggal di asrama dan sejak bulan itu pula kami bisa menerima uang
beasiswa Al-Azhar perbulannya. Padahal kami bukan mahasiswa yang dinyatakan
lulus test ke Mesir melalui jalur beasiswa.
Jujur, mendengar berita
baik itu, ibu saya langsung menangis seraya bersyukur sebab doa yang selama ini
beliau panjatkan di terima oleh Allah. Ibu saya senang lantaran hidup saya di
Mesir ditanggung oleh Al-Azhar dan tidak lagi harus berpeluh-peluh bekerja.
Salah satu pertemuan
saya pada kesempatan lain dengan Syekh Tayyib yang penuh dengan kasih sayang kepada
muridnya adalah pada bulan Ramadan dua tahun lalu di masjid Al-Azhar. Saat itu
beliau menghadiri Khatmil Quran salat Tarawih di masjid Al-Azhar. Seusai
salat, beliau mempersilahkan para hadirin yang ingin bersalaman dengan beliau
untuk memasuki ruangan khusus para ulama Al-Azhar satu persatu dengan tertib.
Saya pun masuk dan bersalaman dengan beliau. Seusai mencium tangan
beliau, saya dipersilahkan untuk mengambil kue yang sejatinya diperuntukkan
untuk beliau dan para ulama yang lain. Tak hanya saya, semua yang bersalaman
dengan beliau juga dipersilahkan mengambil kue di depan beliau. Padahal beliau
belum mencicipi satu pun kue yang kami ambil. Sungguh amat sayang sekali beliau
kepada para murid-muridnya.
Pemimpin yang Pengertian
Beberapa tahun terakhir
ini berulang-ulang tindakan provokasi dan demonstrasi digelar yang menginginkan
Syekh Tayyib turun dari jabatannya. Tak ayal, demo pro dan mendukung semua
langkah Syekh Tayyib pun juga diadakan untuk menandingi pihak yang kontra. Di
antara pihak yang pro itu adalah para bekerja asrama kami. Asrama Internasional
Al-Azhar yang biasa disebut Madinat Buust
Al-Islamiyah.
Saat ditanya mengapa
mereka mendukung Syekh Tayyib, mereka menjawab dengan kompak, “Karena Syekh
Tayyib pengertian dengan hidup kami. Beliau lah yang menaikkan gaji kami hingga
kehidupan kami sedikit terangkat.”
Ya, memang gaji yang
mereka dapat selama bekerja di Al-Azhar tidak bisa mencukupi
segala kebutuhan mereka. Sampai tak jarang dari mereka yang setelah bekerja di
asrama, mereka bekerja lagi menjadi sopir taksi, berjualan keliling, bekerja di
toko, dll. Oleh karenanya, mereka takut bila Syekh Tayyib diturunkan, keluarga
mereka kelaparan, anak-anak mereka tak bisa mengenyam pendidikan.
Demikianlah sosok Grand
Shaikh Al-Azhar, Syekh Ahmad Tayyib, yang penulis ketahui. Beliau adalah
seorang Syekh yang tak ingin kaya dengan ‘aji mumpung’ menjabat sebagai Grand
Shaikh Al-Azhar. Beliau bukanlah seorang yang gampang tertipu akan glamornya
dunia. Beliau bukanlah seorang ulama yang terjebak dengan jabatan dan
kenikmatan semata. Beliau bukanlah sosok yang selama ini diberitakan oleh
media-media politik yang menghalalkan segala cara untuk membela dan memuluskan
langkah-langkah politiknya. Beliau seorang guru yang sayang dan memperhatikan
kondisi dan keadaan para muridnya. Beliau seorang pemimpin yang mengerti akan
hal dan ihwal yang beliau pimpin.
Tulisan ini bukan sebuah pentahbisan seorang murid kepada gurunya melainkan hanya sebuah
luapan rasa cinta seorang murid kepada gurunya. Guru yang selama ini
direndahkan, dinistakan dan dituduh dengan propaganda yang diluncurkan oleh
sebagian golongan yang tak bertanggung-jawab.
Subhanallah luar biasa tulisannya Ustadz, antum telah memberi angin segar kala udara maya begitu sesak dengan orang2 yang lupa akan guru dan kehilangan suluknya. Syukron, Salam kenal. kalau ada waktu mampir juga ke rumah saya di miftahunanote.blogspot.com
BalasHapusIya salam kenal juga Ustaz. Semoga bisa saling berbagi kemanfaatan. Syukron.
HapusDemi Allah. Saya menangis setelah membaca tulisan ini.
BalasHapussemoga tulisan ini bisa menjadi tuntunan bagi kita semua. Amiin.
HapusApik
BalasHapusterima kasih.
HapusAllah Akbar,,,,,,,,,allah akbar,,,,,,,,,,,,,
BalasHapustulisan ini sungguh sangat menyentuh hati,,,,,,,,,,,,,,,,,,,
saya izin untuk menyimpannya,,,,,,,,sukron ,,,,,,,
Silahkan... :)
BalasHapus