Kalau kita membincang soal
politik, tentu tak akan luput dari kacama tama kita tentang sistem pemerintahan sebuah negara. Pada masa kontemporer ini, sebagian besar negara-negara
di dunia khususnya barat telah menjadikan paham sekulerisme dan liberalisme
sebagai dasar menjalankan pemerintahan yang ada.
Mereka menganggap bahwa akan menjadi lebih baik bila
agama tidak diikutsertakan dalam meracik bumbu untuk melezatkan kehidupan rakyat
dan kesegaran bernegara. Hal ini terjadi setelah peristiwa yang sangat tidak
etis dan tidak pantas yang telah dilakukan kaum Kristen gereja. Kala itu, pimpinan kaum Kristen (Paus) dianggap selayaknya
Tuhan yang menentukan segalanya dan paling berkuasa dalam hal mengampuni dosa
serta menolak pertaubatan.[1]
Tak hanya itu, para cendikiawan dan tokoh agama Kristen
yang bekerja di gereja seolah dibebasakan dari segala peraturan-peraturan
agama, negara dan gereja.[2]
Oleh karena kesemena-semenaan inilah yang membuat publik
trauma bila
agama ikut mengatur dan mengolah pemerintahan negara. Namun Islam
datang sebagai agama yang lurus dan pelengkap ajaran-ajaran sebelumnya. Islam
membawa visi dan misi menebar kasih-sayang bagi seluruh alam. Dan Islam adalah
agama universal yang mengurus dan mengatur segala urusan dunia dan akhirat,
mulai yang terkecil hingga yang terbesar.
Lantas, apa yang dimaksud dengan Politik dalam Islam, seperti apa kedudukan politik dalam Islam, dan bagaimana
penerapannya yang telah dilakukan oleh Rasulullah Saw dan para sahabat?
Pengertian Islam, Politik, dan Politik Islam
Bila kita bertanya tentang makna Islam yang hakiki dan
terperinci, kita tak akan lupa sebuah teks hadis yang diriwayatkan oleh sahabat
Umar bin Khattab saat Nabi Muhammad didatangi malaikat
Jibril yang menjelma
seorang pria putih mempertanyakan hakikat Islam, Iman, dan Ihsan. Saat ditanya
tentang apa itu Islam? Nabi menjawab, “Islam adalah engkau bersaksi tidak
ada Tuhan melainkan Allah dan sesungguhnya Muhammad adalah Rasul Allah,
menegakkan shalat, menunaikan zakat, berpuasa di bulan Ramadhan dan engkau
menunaikan haji ke Baitullah jika engkau telah mampu melakukannya.”[3]
Imam Al-Jurjani dalam At-Ta’rifat nya menjelaskan
bahwa Islam adalah sikap patuh dan
tunduk kepada Allah Swt atas apa yang telah dirisalahkan melalui Rasulullah Saw
baik berupa ajaran/syariat maupun hukum-hukum.
Mayoritas ulama sepakat dengan apa yang telah
didengungkan oleh Imam Al-Jurjani tentang makna Islam. Meskipun Islam juga
bermakna lebih luas seperti kedamaian, penyerahan diri, kepasrahan, dll. Namun
hal itu tidak berbeda jauh dan tidak keluar dari apa yang telah disisirkan oleh
Imam Al-Jurjani. Hanya istilah bahasa dan defini saja yang sedikit menjadikan
jarak antar pengertian dan arti kata “Islam”.
Adapun politik, dalam bahasa Arab yaitu siyasah yang
secara bahasa bermakna: mengatur untuk kebaikan, atau mengerahkan segala daya
dan upaya untuk segala perbaikan dan menghapus seluruh tindak pengerusakan.
Secara istilah, Imam Al-Maqrizi dalam kitabnya Al-Khitthath
mendefinisikan politik secara umum yaitu segala peraturan atau undang-undang
yang dibuat guna menjaga dan mengatur tata krama, hal dan ihwal untuk menjadi
lebih baik. Baik undang-undang tersebut bersumber dari
wahyu al-quran dan hadis atau sengaja dibuat dari hasil olah pikir manusia. Baik undang-undang
tersebut diberlakukan secara adil atau lalim. Oleh karenanya, setelah
mendefinisikan politik secara luas dan umum, Al-Maqrizi membagi politik menjadi
dua; Politik yang dilakukan dengan keadilan, dan Politik yang dijalankan dengan
kelaliman.
Imam Al Mawardi dalam Ahkamus Sultaniyyah Wal
Walayatud Diniyah menjelaskan siyasah syar’iyah sebagai: “Kewajiban
yang dilakukan kepala negara pasca kenabian dalam rangka menjaga kemurnian
agama dan mengatur urusan dunia (hirosatud din wa raiyyatud dunya).”
Sedangkan definisi Politik Islam menurut Syekh Abdul
Wahhab Khallaf adalah: “Pengaturan urusan pemerintahan kaum Muslimin secara
menyeluruh dengan cara mewujudkan maslahat, mencegah terjadinya kerusakan (mafsadat)
melalui batasan-batasan yang ditetapkan syara’ dan prinsip-prinsip umum Syariah
(maqosidhus syari’ah) –kendati hal itu tidak ada dalam ketetapan nash
dan hanya menyandarkan pendapat para imam mujtahij”.
Kamus-kamus Islam mendefinisikan politik sebagai: “usaha
dan upaya memperbaiki umat/kaum dengan menunjukkan mereka jalan yang
menyelamatkan mereka baik di dunia maupun di akhirat dan mengatur serta menata
kehidupan mereka secara umum dengan adil dan tegas.” Definisi tersebut jelas
menyebutkan antara kehidupan dunia dan akhirat. Politik tidak hanya mengatur
kehidupan dunia yang fana. Tapi juga mempertimbangkan dan mengurus kehidupan
selanjutnya, yaitu akhirat.
Namun yang terjadi saat ini, arti politik hanya digunakan
untuk mengatur kehidupan dunia, bagaimana rakyat dan masyarakat hidup secara
makmur dan tercukupi. Tanpa memperhatikan kehidupan akhirat. Dengan mengetahui
makna politik yang sesungguhnya dari kamus-kamus Islam dan definisi ulama-ulama
Islam, maka kita tahu sejatinya politik adalah mengurus dan mengatur kehidupan
dunia dan akhirat sebab Islam agama yang menyeimbangkan antara urusan dunia dan
akhirat.
“Dan carilah pada apa yang
telah dianugerahkan Allah kepadamu (kebahagiaan) negeri akhirat, dan janganlah
kamu melupakan bahagianmu dari (kenikmatan) duniawi…” (Al-Qoshos: 77)
Kedudukan Politik dalam
Islam:
Terdapat tiga pendapat tentang kedudukan politik dalam
Islam yang ditawarkan oleh para pemikir Islam. Yaitu:
Pertama, kelompok yang menyatakan
bahwa Islam adalah agama lengkap yang mengatur segala sesuatu. Termasuk sistem
ketatanegaraan dan politik. Lebih jauh lagi kelompok ini berpendapat bahwa
sistem kenegaraan yang ideal menurut Islam adalah seperti yang dilakukan oleh
Rasulullah Saw dan Khulafa’ Ar-Rasyidin.
Kedua, golongan ini berpendapat
seperti yang telah disuarakan oleh bangsa barat, bahwa agama tidak ada
kaitannya dengan negara dan terlalu suci bila harus mencampuri urusan politik.
Mereka berpendapat bahwa Rasulullah diutus untuk menyebarkan Islam dan tidak
untuk mendirikan sebuah negara.
Ketiga, kelompok ini menepis
pendapat pertama dan kedua. Menolak bahwa Islam secara jelas dan
terang-terangan mengatur sistem kenegaraan dan menampik pendapat yang
memisahkan antara agama dan negara. Kelompok ini berpendirian bahwa dalam islam
tidak terdapat sistem ketatanegaraan, tetapi terdapat seperangkat tata nilai
etika bagi kehidupan bernegara.
Langkah-langkah Politik
Rasulullah dan Para Sahabat
Sebuah kebijakan politik yang
paling fenomenal yang telah diambil oleh Rasulullah adalah perjanjian
Hudaibiyah[4].
Perjanjian Hudaibiyah disepakati oleh pihak kafir Quraisy dan kaum Muslimin
pada tahun 6 H. Di antara isi dari perjanjian tersebut yaitu adanya genjatan
senjata antara kedua belah pihak selama sepuluh tahun, saling menjaga keamanan,
dan kaum Muslimin tidak diperbolehkan umrah pada tahun itu dan diperbolehkan
pada tahun mendatang dengan syarat tidak lebih dari tiga hari bermukim di
Makkah.
Rasulullah sebagai pimpinan
tertinggi kaum Muslimin mengamini poin-poin dari perjanjian tersebut lantaran
Islam agama yang mengedepankan keamanan dan kedamaian. Namun Suhail bin Amr
yang menjadi delegasi kafir Quraisy menambahkan poin yang tidak dihendaki oleh
para sahabat yang menyaksikan perjanjian tersebut. Poin yang ditambahkan adalah
“semua penduduk Muslim Makkah yang meminta perlindungan kepada Rasulullah tanpa
izin walinya, harus dikembalikan kepada walinya di Makkah dan bagi kaum
Muslimin yang telah berada di Makkah tidak wajib mengikuti Rasulullah tinggal di
Madinah.”
Poin terakhir tersebut dirasa
oleh para sahabat merugikan kaum Muslimin dan menguntungkan kafir Quraisy,
namun dengan kecerdikan dan siasat politik yang tinggi dan dalam justru
Rasulullah melegitimasi poin tersebut. Beberapa tahun setelah itu, terbuktilah
bahwa politik yang dimainkan Rasulullah sangat ciamik dan luar biasa. Jumlah
kaum Muslimin pada Fathu Makkah menanjak hingga angka 10.000 jiwa.
Padahal mulai Rasulullah mengikrarkan agama Islam hingga sebelum peristiwa
perjanjian itu, jumlah kaum Muslimin hanya berkisar di angka 2000 an.
Rasulullah menilai poin terakhir yang diajukan Suhail bin Amr malah
menguntungkan kaum Muslimin sebab bila kaum Muslimin yang berada pada
perlindungan Rasulullah tanpa izin dari walinya dikembalikan kepada para
walinya di Makkah sedangkan iman mereka telah membaja, maka mereka akan
berdakwah dan mengajak penduduk Makkah yang lain untuk masuk Islam. Dan adapun
kaum Muslimin yang sedari dulu berada di Makkah dilarang kumpul bersama Rasulullah
di Madinah, maka mereka akan bertemu saudara seiman dan seislam mereka hingga
terkukuhkan hati mereka dan ikut serta pula menyebarkan agama Islam.
Dengan siasat inilah,
al-quran mengabadikan momentum keberhasilan politik Rasulullah dalam al-quran
Surat An-Nashr yang menjelaskan bahwa manusia berbondong-bondong memeluk Islam.
Abu Bakar Ash-Siddiq yang
menjadi pemimpin kaum Muslimin sepeninggal Rasulullah juga melakukan siasat
politik yang menyelamatkan stabilitas negara dan agama. Abu Bakar memerangi
Thulaihah Al-Asadi, Musailamah Al-Kadzab yang keduanya mengaku sebagai Nabi dan
juga kaum Muslimin yang enggan mengeluarkan zakat.
Alasan konkrit yang mendasari
Abu Bakar adalah karena mereka semua mengancam stabilitas negara dan agama.
Sebab saat itu, iman kaum Muslimin sedikit tergoncang seusai wafatnya
Rasulullah, ditambah dengan adanya propaganda yang digemborkan oleh Thulaihah,
Musailamah, dan sebagian kaum Muslimin yang enggan mengeluarkan zakat.
Bila kala itu Abu Bakar tidak
bertindak tegas dengan siasat politiknya untuk menumpas dan memerangi mereka,
maka jumlah kaum Muslimin niscaya akan mengerut dan Madinah yang saat itu
menjadi pusaran peradaban Islam tak akan berwibawa hingga saat ini.
Langkah politik yang
dilakukan oleh Umar bin Khattab salah satunya adalah memberhentikan Al-Mughirah
bin Syu’bah dari jabatan Gubernur Basrah setelah adanya aduan yang diajukan Abu
Bakrah kepada Umar bahwa Al-Mughirah berzina. Al-Mughirah lantas diberhentikan sementara
untuk dimintai keterangan dan diinterogasi. Tiga saksi mengatakan bahwa
Al-Mughirah benar-benar berzina. Namun satu saksi ragu dan tidak membenarkan
bahwa Al-Mughirah berzina. Akhirnya, Umar memutuskan bahwa Al-Mughirah tidak
bisa dihukum lantaran saksi tidak genap dan lengkap. Pemberhentian Al-Mughirah
dari jabatan gubernur untuk proses peradilan merupakan siasat politik untuk
menghindari gunjingan dan tuduhan yang berlebih yang dilakukan oleh Amirul
Mukminin Umar bin Khattab.
Etika Berpolitik Rasulullah
Setelah kekuatan Islam
membaja dan Islam mendapatkan respon hangat di berbagai pelosok Arab,
Rasulullah memainkan peranannya sebagai negarawan. Beliau mengirim surat kepada
para penguasa dunia dengan tanpa merendahkan harkat dan martabat mereka. Kita
ambil contoh surat yang beliau layangkan kepada penguasa Romawi, Hiraqel.
Setelah menyebut nama Hiraqel, beliau mengikutsertakan kata “Adhim Ar-Rum” yang
berarti penguasa Romawi. Dengan lawan politiknya yang yang jelas-jelas non
Muslim saja, Rasulullah masih menjunjung tinggi norma dan menjaga wibawa lawan
politiknya. Tak ada satu kata umpatan pun yang beliau sebutkan kepada
lawan-lawan politiknya melalui surat-surat yang dikirimkan.
Dengan berbagai kesantunan
dan pola pikir yang sesuai kehendak Tuhan itulah, akhirnya nama Muhammad bisa
mendulang perhatian dunia sejak 14 abad yang lalu. Dan nama itu akan terus
dikenang dan dihormati siapa pun yang mengerti dan mengkaji pribadi yang
berbudi luhur. Dan santun dalam bertutur.
Demikianlah sekelumit misal
siasat dan etika politik yang diperankan oleh manusia-manusia mulia. Bukan
hanya bertujuan untuk memperbaiki urusan dunia dan negara semata namun juga
agama.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar