Kamis, 05 September 2013

Islam, Politik, dan Politik Islam

Kalau kita membincang soal politik, tentu tak akan luput dari kacama tama kita tentang sistem pemerintahan sebuah negara. Pada masa kontemporer ini, sebagian besar negara-negara di dunia khususnya barat telah menjadikan paham sekulerisme dan liberalisme sebagai dasar menjalankan pemerintahan yang ada.

Mereka menganggap bahwa akan menjadi lebih baik bila agama tidak diikutsertakan dalam meracik bumbu untuk melezatkan kehidupan rakyat dan kesegaran bernegara. Hal ini terjadi setelah peristiwa yang sangat tidak etis dan tidak pantas yang telah dilakukan kaum Kristen gereja. Kala itu, pimpinan kaum Kristen (Paus) dianggap selayaknya Tuhan yang menentukan segalanya dan paling berkuasa dalam hal mengampuni dosa serta menolak pertaubatan.[1]
Tak hanya itu, para cendikiawan dan tokoh agama Kristen yang bekerja di gereja seolah dibebasakan dari segala peraturan-peraturan agama, negara dan gereja.[2]

Oleh karena kesemena-semenaan inilah yang membuat publik trauma bila agama ikut mengatur dan mengolah pemerintahan negara. Namun Islam datang sebagai agama yang lurus dan pelengkap ajaran-ajaran sebelumnya. Islam membawa visi dan misi menebar kasih-sayang bagi seluruh alam. Dan Islam adalah agama universal yang mengurus dan mengatur segala urusan dunia dan akhirat, mulai yang terkecil hingga yang terbesar.

Lantas, apa yang dimaksud dengan Politik dalam Islam, seperti apa kedudukan politik dalam Islam, dan bagaimana penerapannya yang telah dilakukan oleh Rasulullah Saw dan para sahabat?

Pengertian Islam, Politik, dan Politik Islam

Bila kita bertanya tentang makna Islam yang hakiki dan terperinci, kita tak akan lupa sebuah teks hadis yang diriwayatkan oleh sahabat Umar bin Khattab saat Nabi Muhammad didatangi malaikat Jibril yang menjelma seorang pria putih mempertanyakan hakikat Islam, Iman, dan Ihsan. Saat ditanya tentang apa itu Islam? Nabi menjawab, “Islam adalah engkau bersaksi tidak ada Tuhan melainkan Allah dan sesungguhnya Muhammad adalah Rasul Allah, menegakkan shalat, menunaikan zakat, berpuasa di bulan Ramadhan dan engkau menunaikan haji ke Baitullah jika engkau telah mampu melakukannya.”[3]

Imam Al-Jurjani dalam At-Ta’rifat nya menjelaskan bahwa Islam adalah sikap patuh dan tunduk kepada Allah Swt atas apa yang telah dirisalahkan melalui Rasulullah Saw baik berupa ajaran/syariat maupun hukum-hukum.

Mayoritas ulama sepakat dengan apa yang telah didengungkan oleh Imam Al-Jurjani tentang makna Islam. Meskipun Islam juga bermakna lebih luas seperti kedamaian, penyerahan diri, kepasrahan, dll. Namun hal itu tidak berbeda jauh dan tidak keluar dari apa yang telah disisirkan oleh Imam Al-Jurjani. Hanya istilah bahasa dan defini saja yang sedikit menjadikan jarak antar pengertian dan arti kata “Islam”.
Adapun politik, dalam bahasa Arab yaitu siyasah yang secara bahasa bermakna: mengatur untuk kebaikan, atau mengerahkan segala daya dan upaya untuk segala perbaikan dan menghapus seluruh tindak pengerusakan.

Secara istilah, Imam Al-Maqrizi dalam kitabnya Al-Khitthath mendefinisikan politik secara umum yaitu segala peraturan atau undang-undang yang dibuat guna menjaga dan mengatur tata krama, hal dan ihwal untuk menjadi lebih baik. Baik undang-undang tersebut bersumber dari wahyu al-quran dan hadis atau sengaja dibuat dari hasil olah pikir manusia. Baik undang-undang tersebut diberlakukan secara adil atau lalim. Oleh karenanya, setelah mendefinisikan politik secara luas dan umum, Al-Maqrizi membagi politik menjadi dua; Politik yang dilakukan dengan keadilan, dan Politik yang dijalankan dengan kelaliman.

Imam Al Mawardi dalam Ahkamus Sultaniyyah Wal Walayatud Diniyah menjelaskan siyasah syar’iyah sebagai: “Kewajiban yang dilakukan kepala negara pasca kenabian dalam rangka menjaga kemurnian agama dan mengatur urusan dunia (hirosatud din wa raiyyatud dunya).”

Sedangkan definisi Politik Islam menurut Syekh Abdul Wahhab Khallaf adalah: “Pengaturan urusan pemerintahan kaum Muslimin secara menyeluruh dengan cara mewujudkan maslahat, mencegah terjadinya kerusakan (mafsadat) melalui batasan-batasan yang ditetapkan syara’ dan prinsip-prinsip umum Syariah (maqosidhus syari’ah) –kendati hal itu tidak ada dalam ketetapan nash dan hanya menyandarkan pendapat para imam mujtahij”.

Kamus-kamus Islam mendefinisikan politik sebagai: “usaha dan upaya memperbaiki umat/kaum dengan menunjukkan mereka jalan yang menyelamatkan mereka baik di dunia maupun di akhirat dan mengatur serta menata kehidupan mereka secara umum dengan adil dan tegas.” Definisi tersebut jelas menyebutkan antara kehidupan dunia dan akhirat. Politik tidak hanya mengatur kehidupan dunia yang fana. Tapi juga mempertimbangkan dan mengurus kehidupan selanjutnya, yaitu akhirat.

Namun yang terjadi saat ini, arti politik hanya digunakan untuk mengatur kehidupan dunia, bagaimana rakyat dan masyarakat hidup secara makmur dan tercukupi. Tanpa memperhatikan kehidupan akhirat. Dengan mengetahui makna politik yang sesungguhnya dari kamus-kamus Islam dan definisi ulama-ulama Islam, maka kita tahu sejatinya politik adalah mengurus dan mengatur kehidupan dunia dan akhirat sebab Islam agama yang menyeimbangkan antara urusan dunia dan akhirat.

“Dan carilah pada apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu (kebahagiaan) negeri akhirat, dan janganlah kamu melupakan bahagianmu dari (kenikmatan) duniawi…” (Al-Qoshos: 77)

Kedudukan Politik dalam Islam:
Terdapat tiga pendapat tentang kedudukan politik dalam Islam yang ditawarkan oleh para pemikir Islam. Yaitu:

Pertama, kelompok yang menyatakan bahwa Islam adalah agama lengkap yang mengatur segala sesuatu. Termasuk sistem ketatanegaraan dan politik. Lebih jauh lagi kelompok ini berpendapat bahwa sistem kenegaraan yang ideal menurut Islam adalah seperti yang dilakukan oleh Rasulullah Saw dan Khulafa’ Ar-Rasyidin.

Kedua, golongan ini berpendapat seperti yang telah disuarakan oleh bangsa barat, bahwa agama tidak ada kaitannya dengan negara dan terlalu suci bila harus mencampuri urusan politik. Mereka berpendapat bahwa Rasulullah diutus untuk menyebarkan Islam dan tidak untuk mendirikan sebuah negara.

Ketiga, kelompok ini menepis pendapat pertama dan kedua. Menolak bahwa Islam secara jelas dan terang-terangan mengatur sistem kenegaraan dan menampik pendapat yang memisahkan antara agama dan negara. Kelompok ini berpendirian bahwa dalam islam tidak terdapat sistem ketatanegaraan, tetapi terdapat seperangkat tata nilai etika bagi kehidupan bernegara.

Langkah-langkah Politik Rasulullah dan Para Sahabat

Sebuah kebijakan politik yang paling fenomenal yang telah diambil oleh Rasulullah adalah perjanjian Hudaibiyah[4]. Perjanjian Hudaibiyah disepakati oleh pihak kafir Quraisy dan kaum Muslimin pada tahun 6 H. Di antara isi dari perjanjian tersebut yaitu adanya genjatan senjata antara kedua belah pihak selama sepuluh tahun, saling menjaga keamanan, dan kaum Muslimin tidak diperbolehkan umrah pada tahun itu dan diperbolehkan pada tahun mendatang dengan syarat tidak lebih dari tiga hari bermukim di Makkah.

Rasulullah sebagai pimpinan tertinggi kaum Muslimin mengamini poin-poin dari perjanjian tersebut lantaran Islam agama yang mengedepankan keamanan dan kedamaian. Namun Suhail bin Amr yang menjadi delegasi kafir Quraisy menambahkan poin yang tidak dihendaki oleh para sahabat yang menyaksikan perjanjian tersebut. Poin yang ditambahkan adalah “semua penduduk Muslim Makkah yang meminta perlindungan kepada Rasulullah tanpa izin walinya, harus dikembalikan kepada walinya di Makkah dan bagi kaum Muslimin yang telah berada di Makkah tidak wajib mengikuti Rasulullah tinggal di Madinah.”

Poin terakhir tersebut dirasa oleh para sahabat merugikan kaum Muslimin dan menguntungkan kafir Quraisy, namun dengan kecerdikan dan siasat politik yang tinggi dan dalam justru Rasulullah melegitimasi poin tersebut. Beberapa tahun setelah itu, terbuktilah bahwa politik yang dimainkan Rasulullah sangat ciamik dan luar biasa. Jumlah kaum Muslimin pada Fathu Makkah menanjak hingga angka 10.000 jiwa. Padahal mulai Rasulullah mengikrarkan agama Islam hingga sebelum peristiwa perjanjian itu, jumlah kaum Muslimin hanya berkisar di angka 2000 an. Rasulullah menilai poin terakhir yang diajukan Suhail bin Amr malah menguntungkan kaum Muslimin sebab bila kaum Muslimin yang berada pada perlindungan Rasulullah tanpa izin dari walinya dikembalikan kepada para walinya di Makkah sedangkan iman mereka telah membaja, maka mereka akan berdakwah dan mengajak penduduk Makkah yang lain untuk masuk Islam. Dan adapun kaum Muslimin yang sedari dulu berada di Makkah dilarang kumpul bersama Rasulullah di Madinah, maka mereka akan bertemu saudara seiman dan seislam mereka hingga terkukuhkan hati mereka dan ikut serta pula menyebarkan agama Islam.

Dengan siasat inilah, al-quran mengabadikan momentum keberhasilan politik Rasulullah dalam al-quran Surat An-Nashr yang menjelaskan bahwa manusia berbondong-bondong memeluk Islam.

Abu Bakar Ash-Siddiq yang menjadi pemimpin kaum Muslimin sepeninggal Rasulullah juga melakukan siasat politik yang menyelamatkan stabilitas negara dan agama. Abu Bakar memerangi Thulaihah Al-Asadi, Musailamah Al-Kadzab yang keduanya mengaku sebagai Nabi dan juga kaum Muslimin yang enggan mengeluarkan zakat.

Alasan konkrit yang mendasari Abu Bakar adalah karena mereka semua mengancam stabilitas negara dan agama. Sebab saat itu, iman kaum Muslimin sedikit tergoncang seusai wafatnya Rasulullah, ditambah dengan adanya propaganda yang digemborkan oleh Thulaihah, Musailamah, dan sebagian kaum Muslimin yang enggan mengeluarkan zakat.

Bila kala itu Abu Bakar tidak bertindak tegas dengan siasat politiknya untuk menumpas dan memerangi mereka, maka jumlah kaum Muslimin niscaya akan mengerut dan Madinah yang saat itu menjadi pusaran peradaban Islam tak akan berwibawa hingga saat ini.

Langkah politik yang dilakukan oleh Umar bin Khattab salah satunya adalah memberhentikan Al-Mughirah bin Syu’bah dari jabatan Gubernur Basrah setelah adanya aduan yang diajukan Abu Bakrah kepada Umar bahwa Al-Mughirah berzina. Al-Mughirah lantas diberhentikan sementara untuk dimintai keterangan dan diinterogasi. Tiga saksi mengatakan bahwa Al-Mughirah benar-benar berzina. Namun satu saksi ragu dan tidak membenarkan bahwa Al-Mughirah berzina. Akhirnya, Umar memutuskan bahwa Al-Mughirah tidak bisa dihukum lantaran saksi tidak genap dan lengkap. Pemberhentian Al-Mughirah dari jabatan gubernur untuk proses peradilan merupakan siasat politik untuk menghindari gunjingan dan tuduhan yang berlebih yang dilakukan oleh Amirul Mukminin Umar bin Khattab.

Etika Berpolitik Rasulullah

Setelah kekuatan Islam membaja dan Islam mendapatkan respon hangat di berbagai pelosok Arab, Rasulullah memainkan peranannya sebagai negarawan. Beliau mengirim surat kepada para penguasa dunia dengan tanpa merendahkan harkat dan martabat mereka. Kita ambil contoh surat yang beliau layangkan kepada penguasa Romawi, Hiraqel. Setelah menyebut nama Hiraqel, beliau mengikutsertakan kata “Adhim Ar-Rum” yang berarti penguasa Romawi. Dengan lawan politiknya yang yang jelas-jelas non Muslim saja, Rasulullah masih menjunjung tinggi norma dan menjaga wibawa lawan politiknya. Tak ada satu kata umpatan pun yang beliau sebutkan kepada lawan-lawan politiknya melalui surat-surat yang dikirimkan.

Dengan berbagai kesantunan dan pola pikir yang sesuai kehendak Tuhan itulah, akhirnya nama Muhammad bisa mendulang perhatian dunia sejak 14 abad yang lalu. Dan nama itu akan terus dikenang dan dihormati siapa pun yang mengerti dan mengkaji pribadi yang berbudi luhur. Dan santun dalam bertutur.

Demikianlah sekelumit misal siasat dan etika politik yang diperankan oleh manusia-manusia mulia. Bukan hanya bertujuan untuk memperbaiki urusan dunia dan negara semata namun juga agama.
               


               

                 




[1] Qadlaya Fikriyah Muashirah. Hal: 29
[2] Muhadlarat Fi An-Nashraniyah. Hal: 202
[3] HR. Imam Muslim
[4] Hadis tentang perjanjian Hudaibiyah diriwayatkan oleh Imam Bukhari dalam kitab Sahihnya pada bab As-Syuruth wa Al-Jihad wa Al-Musalahah ma’a ahli Al-Harb.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar