Kalau
kita buka al-Quran pada lembar terakhir surat al-Baqarah, kita akan menemukan
di bagian atas ayat yang membincang tentang amanat. Amanat terhadap barang atau
utang-piutang. Juga di ayat tersebut kita dilarang untuk menyembunyikan
kesaksian sebab hanya orang yang berhati kotor (berdosa) yang sengaja menutupi
kenyataan yang sesugguhnya. Padahal Tuhan yang kita imani adalah sang maha
mengetahui atas apapun yang ada di bumi dan di langit.
Dalam
hadis Nabi, kesaksian palsu yang tak sesuai dengan realita termasuk dari
jejeran dosa besar yang untuk menebusnya hanya dengan satu cara yaitu bertaubat
dengan sebenarnya.
Dua
hal tersebut kini telah menjadi sebuah kelumrahan untuk dilakukan, meskipun
rambu-rambu agama telah menyalakan lampu merahnya setiap saat. Menyembunyikan
kesaksian dan memberikan kesaksian palsu agaknya ada sedikit kemiripan.
Menyembunyikan kesaksian berarti menutupi sebuah kesalahan atau kejahatan.
Memberikan kesaksian palsu juga membungkus sebuah kesalahan dan kejahatan pula,
kalau toh hal yang disembunyikan tersebut terbukti sebuah kesalahan atau
kejahatan. Begitu juga sebaliknya, menyembunyikan kesaksian juga bermakna
mengubur kebenaran atau kebaikan. Dan memberikan kesaksian palsu seperti
memendam kebenaran dan kebaikan, jika hal itu terbukti sebuah kebenaran atau kejahatan.
Dua
hal tersebut amatlah erat kaitannya dengan dunia hukum di mana saja. Di
Indonesia hukum sudah menjadi milik pribadi. Siapa yang mempunyai uang, dialah
yang berhak diperlakukan spesial. Siapa yang melarat, dialah ladang untuk
pencitraan amanat. Mungin Tuhan akan sedikit tersenyum sembari menjeling
melihat fenomena ini. Mereka benar-benar dimabuk dunia sehingga lupa bahwa
Tuhan maha melihat segalanya.
Kasus
yang jamak kita ketahui dan tak pernah luput dari goresan tinta sejarah
Indonesia adalah kasus korupsi yang menyangkut kader-kader Partai Demokrat dan
Partai Keadilan Sejahtera.
Beberapa
kader Partai Demokrat terjerat kasus korupsi proyek Hambalang dan wisma atlet.
Proyek yang tak kunjung selesai ini dijadikan dana pemasukan bagi beberapa kader
Partai Demokrat (PD). Adalah Nazaruddin, kasus ini bermula. Setelah beberapa
hari ia melarikan diri ke luar negeri, akhirnya ia bisa dipulangkan dan
diproses oleh pihak yang berwajib. Setelah dinyatakan bersalah, ia tak
semerta-merta menutupi kejahatan yang menjerumuskannya ke dalam jeruji besi. Ia
menyalak dengan menyebut nama-nama rekannya yang juga ikutserta menelan uang
negara.
Kesaksian
Nazaruddin yang terkesan vulgar bisa menjadi sebuah bomerang baginya, bila
kesaksian itu tak terbukti. Namun rupanya, Nazaruddin bukan hanya mengumbar
isu. Beberapa saat setelah itu KPK menetapkan Angelina Sondakh sebagai
tersangka dalam kasus tersebut. Menyusul kemudian Andi Malarangeng yang
berhasil ditangani oleh KPK pada tanggal 3 Desember 2012. Dua bulan berikutnya
(22/2) Ketua Umum PD, Anas Urbaningrum harus melambaikan tangan kepada keluarga
dan rekan-rekannya.
Dalam
konteks di atas, Nazar tidak termasuk orang yang menyembunyikan kesaksian juga
bukan pula mengumbar kesaksian palsu. Walaupun demikian, amat disayangkan
apabila partai yang berkuasa di negeri kita ini semena-mena mengantongi uang
negara layaknya preman pasar yang semua awak pasar berada di genggamannya.
Sama
tapi berbeda dengan kasus Partai Demokrat, kini kita dibingungkan dengan Partai
Keadilan Sejahtera (PKS). Partai yang membawa visi dakwah Islam ini akhir-akhir
ini sangat santer dibicarakan. Awalnya Ahmad Fathonah ditangkap KPK pada 29
Januari 2013 di hotel Le Meridien dengan seorang mahasiswi cantik yang bernama
Maharani. Tak lama setelah itu, Presiden PKS, Luthfi Hasan, digadang-gadang
juga terkait dengan Ahmad Fathonah dalam kasus suap impor daging sapi.
Namun
sepertinya KPK harus berjalan jinjit dalam mengembangkan kasus ini, melihat
Ahmad Fathonah juga bungkam dan enggan menyebut nama-nama kader PKS yang juga
mungkin ada yang kaitannya dengan kasus tersebut. Terakhir, anak Ketua Majelis
Syuro PKS, Hilmi Aminuddin, yang bernama Ridwan Hakim juga diduga mempunyai
hubungan ‘khusus’ dengan Ahmad Fathonah.
Ada
beberapa spekulasi mengapa Ahmad Fathonah tak seperti Nazaruddin. Mungkin ia
tak mau memberikan kesaksian palsu. Mungkin tak ada lagi kader atau kawan dari
PKS yang ikutserta dalam kasus tersebut. Atau malah ia sengaja menutupi dan
menyimpan nama-nama ‘maling untuk sekedar menjaga sebuah nama partai atau
golongan. Hanya dia dan Tuhan yang tahu.
Semestinya
di zaman yang tak bisa dipersalahkan ini, maling juga tak malu dan segan teriak
maling lain. Lebih-lebih kalau dia sudah mendengkur di dalam sel tahanan.
Apabila seorang maling, menyembunyikan temannya sesama maling, maka niscaya
semakin merebak dan menyeruak kejahatan yang dilakukan oleh maling-maling lain
baik yang senior maupun yang junior.
Penegak
hukum harus berhati-hati dalam menjatuhkan sangka, duga dan dakwa terhadap
siapa pun. Namun siapa pun harus legowo dan mau mengakui, apabila bukti-bukti
mengatakan bahwa ia bersalah dan harus menerima mendekam di penjara.
Ya,
untuk menjunjung tinggi kebenaran dan keadilan, saatnya maling teriak maling
dan kalau perlu, sudah waktunya juga maling memekik “polisi juga maling”
bilamana kenyataannya memang demikian.
Semoga
bagsa kita tidak gampang menyimpan kesaksian dan pula tidak mudah memberikan
kesaksian palsu. Demi kemajuan bangsa dan menjunjung budi pekerti, mari saling
membuktikan bukan saling mengumbar dugaan.
Telah
dipost oleh : http://www.mosleminfo.com/opini/saatnya-maling-teriak-maling/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar