Semenjak
di pesantren dan diajari tata krama -khususnya kepada orang tua-, saya sangat
mengimani kekuatan doa seorang ibu. Ketika Ibu mengatakan IYA, saya sebisa
mungkin mengikuti keiyaan Ibu saya kecuali satu, kuliah di Al-Azhar
Kairo-Mesir. Sewaktu saya menyodorkan lembaran persyaratan tes dan kuliah di
Al-Azhar Kairo, Ibu langsung menolak dengan alasan tak punya biaya -karena saya
saat itu ikut tes jalur non beasiswa-.
Saya
berusaha menampik kekhawatiran Ibu dan Bapak kala itu. Saya tegaskan bahwa Sang
Maha Kaya bukanlah Ibu dan Bapak tapi Allah. Saya minta rido keduanya untuk
ikut tes dan minta didoakan dan ditirakati. Setelah tes dan jika saya
dinyatakankan lulus, saya berjanji akan mencari uang sendiri yang kala itu
sekitar Rp. 18.000.000. yang harus dilunasi.
Doa
dan tirakat Ibu terkabul, saya lulus tes. Bapak menangis dan menyuruh saya
mencari uang pinjaman ke Bank yang nantinya sesampai saya di Kairo, Bapak akan
cicil beserta bunganya. Ibu terkesan sedikit tenang, namun bisa dipastikan hatinya gusar bukan kepalang.
Saya
tak menoleh sedikit pun usulan Bapak, lagi-lagi
saya minta doa dan tirakat Ibu supaya urusan keuangan saya untuk kuliah di
Mesir tercukupi. Lagi-lagi doa Ibu terijabahi, segala biaya terpenuhi melewati
tangan para dermawan. Saya pun terbang ke negeri Piramid.
Oh iya, usai bisnis besi tua dan bahan
bangunan Bapak bangkrut, entah mengapa Bapak tak bisa menemukan lapangan
pekerjaan. Bapak menganggur. Pernah menjadi sopir, tapi jadwal salat Bapak
harus diatur-atur. Terakhir Bapak menjadi buruh di pabrik pupuk yang kerjanya
tak pasti, terkadang dua minggu kerja, dua minggu libur. Usaha Bapak mencari
pekerjaan ke mana-mana tak juga membuahkan hasil.
***
Tiga
hari sampai di Kairo, saya jualan pulsa lantaran Bapak sudah pesan jauh-jauh
hari, “Sesampai di Kairo bekerjalah agar biaya hidupmu
terpenuhi. Bapak dan Ibu hanya bisa mengirimimu doa dan tirakat.Bapak tidak
mampu mengirim uang.”
Dua minggu di Kairo, tiba-tiba saya bersama teman-teman saya ndelalah dimasukkan asrama dan langsung diberi beasiswa bulan itu juga oleh Grand Shaikh Al-Azhar.
Kala mengabari berita gembira itu, Ibu saya
menangis dengan senggukan yang entah tepatnya ditafsirkan Apa? Gembira, haru, senang, sedih, atau semua itu pas
mengartikan senggukan tangis Ibu yang memecah.”Terima kasih, Ya Allah. Doa Ibumu terkabulkan, Nak.Alhamdulillah,
Ibu tak terlalu gelisah sekarang dengan biaya hidupmu di Mesir.”ucapnya.
***
10
bulan menggeluti diktat kuliah yang berbahasa Arab dan berharakat, serta
menghadiri majelis ilmu Syekh-syekh membuat saya pusing dan menguras otak
lantaran tak terbiasa membaca buku dengan model yang seperti itu.
Salah
satu baterai untuk mengisi semangat adalah menelepon keluarga di Indonesia. Sudah
hampir dua bulan tak ada kabar.Telinga saya
seakan ditusuk tombak berkali-kali tatkala Mbakyu mengabari bahwa Bapak sakit
semenjak dua bulan. Bapak terkena stroke dan semakin akrab dengan rumah sakit,
dokter, dan obat-obatan. Satu lagi kursi roda.Pantas saja dua bulan tak ada
kabar.
Saya meminta restu, doa, dan tirakat Ibu untuk
bekerja guna ikut meringankan biaya obat Bapak dan SPP Adik. Saya pun bekerja
di warung Indonesia, jualan madu, tempe, dan menjadi cleaning service di KBRI.Meski mengganggu
kuliah dan ujian, lagi-lagi doa dan tirakat Ibu murajab. Saya selalu naik ke
tingkat selanjutnya.
Setiap ujian saya selalu mengabari Ibu,
meminta dipuasai di hari-hari ujian saya, dihadiahi khatmil Al-Quran setidaknya
dua kali, dan didoakan setiap sepertiga
malam. Dengan sabar dan istiqamahnya, Ibu selalu melakukan rangkaian tirakat
untuk anak-anaknya. Alhamdulillah, saya berhasil lulus dan menyelesaikan studi
S1 saya tepat 4 tahun, walapun harus terseok-seok dalam memahami teks diktat
kuliah dan keterangan dosen, apalagi jurusan saya termasuk yang tidak bisa
dianggap mudah karena harus menghafalkan nama, sejarah hidup sahabat dan ulama,
dll.
Untuk kesekian kalinya doa dan tirakat Ibu
dikabulkan oleh Allah. Hingga akhirnya saya berpikir kesuksesan saya bukanlah
karena kegigihan atau usaha saya, tapi di balik saya ada seorang Ibu yang rajin
dan sabar berdoa, tirakat, dan menangis dalam sujud malamnya.
Saya rasa tak ada seorang anak yang gagal di
dunia ini bila ia mau berusaha dan dibantu untaian doa seorang ibu yang begitu
tulus.
Bila kita telisik sejarah orang-orang sukses,
pasti kita akan temukan bahwa ibu-ibu mereka bukanlah wanita biasa yang
berleha-leha menikmati kesuksesan anak-anaknya, melainkan berdoa, bertirakat
dan bermunajat demi kesuksesan anak-anaknya.
Di situlah kita akan merasakan kesucian
seorang ibu yang benar-benar nyata dan kita rasakan.Hormat dan takzim saya
teruntuk Ibu saya tercinta dan ibu-ibu lain yang tak henti-hentinya membasahi
bibir meeka dengan berbagai doa untuk anak-anaknya. Untuk ibu dari anak-anak
saya kelak, semoga bisa meniru dan menjadi seperti Ibu saya. Amin.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar