Rinduku pada Sumba
adalah rindu padang-padang terbuka
Di mana matahari
membusur api di atas sana
Rinduku pada Sumba
adalah rindu peternak perjaka
Bilamana peluh dan
tenaga tanpa dihitung harga
Itu adalah sebagian bait
puisi yang berjudul “Beri Daku Sumba” karya Taufiq Ismail. Tepatnya lima atau
enam tahun yang lalu aku membacakan puisi itu. Kala itu, Universitas Islam
Malang menggelar lomba Teaterikalisasi Puisi se-Jawa Timur. Dan setelah
dilakukan seleksi oleh pelatih teater sekolahku, akhirnya aku dipaksa menjadi
pembaca puisi di perlombaan itu. Jujur, saat itu aku memang tak ada kemampuan
membaca puisi. Namun berkat arahan dari pelatih, aku pun menjadi percaya diri.
Oiya, karena teaterikalisasi puisi, tak hanya aku yang maju ke panggung namun
juga ada beberapa temanku yang ikut serta mempercantik penampilan. Satu lagi,
aku tak sendirian membaca puisi itu, ada seorang bidadari cantik yang berduet
denganku dulu. Ya, dia mantan calon istriku. Ingat, dia mantan calon istriku.
Dengan keterbatasan kami,
kami pun memberanikan diri untuk tampil. Dan, Alhamdulillah kami diberi
kesempatan mengangkat tropi juara I lomba teaterikalisasi puisi se-Jawa Timur.
Sebenarnya bukan hanya satu puisi yang kami bawakan, ada satu lagi judulnya
“Jembatan” ciptaan Sutardji Chalzoum. Temanku bernama Erik yang membacanya
dengan penuh kobaran semangat.
Mulai itulah aku cinta
dengan bait-bait syair, menikmati keindahan kata-kata, menelusuri sajak-sajak
yang penuh makna. Aku sangat memuji Chairul Anwar dengan puisinya “Aku”, W.S
Rendra dengan “Orang-orang Miskin”, Gus Mus dengan “Wanita Cantik Sekali di
Multazam”, D. Zawawi Imran dengan “Ibu”, dan penyair-penyair yang lain. Tentu
saja, aku juga sangat senang dengan Taufik ismail, pencipta puisi yang aku
bacakan saat lomba itu.
Taufik Ismail telah mencipta
ratusan bahkan mungkin ribuan judul puisi dengan beragam macam pesan yang
disampaikan. Mulai dari sisi agama, politik, sosial, budaya, kenegaraan,
pertemanan, dll. Aku pun tak bisa pungkiri, bahwa aku lambat laun menjauhi
rokok usai membaca puisinya berjudul “Tuhan Sembilan Senti”.
Rasa cinta, kagum, hormat
dan entahlah apalagi yang tak bisa diungkapkan, rasanya amat menggelora di
kalbu. Hingga akhirnya, Tuhan mempertemukan kami. Beliau bertandang ke negeri
Piramida untuk menghadiri sebuah acara penghargaan lantaran puisi-puisi beliau
yang telah diterjemahkan ke bahasa Arab mendapat sanjungan yang menarik dari
para sastrawan Mesir. Dan tiga hari yang lalu, beliau diundang oleh mahasiswa
Indonesia di Mesir untuk menjadi narasumber acara yang bertajuk Sarasehan
Budaya, Sastra, dan Baca Puisi.
Semenjak acara dimulai, aku
duduk dibarisan terdepan sebelah kanan beliau, inilah momentum yang paling aku
tunggu-tunggu selama lima-enam tahun. Menatap wajah sang penyair yang paling
aku damba. Penyair yang bersih dari sifat dan sikap yang tabu. Penyair yang tak
hanya mengurai kata-kata namun juga menyisipkan di dalamnya sebuah ayat-ayat
firman dan sabda.
Aku diberi kesempatan
pertama oleh moderator sebagai penanya. Aku pegang mikrofon dengan kuat. Aku
mulai dengan uluk salam dan berkata.
“Pak Taufik, perkenankan
saya mencium tangan bapak, sebelum saya bertanya dan mengungkapkan apa yang ada
di benak saya. Sebab apa yang ingin saya katakan ini telah lama terpendam di
hati saya selama lima hingga enam tahun.”
Beliau pun mempersilahkan.
Dengan rasa takzim, kucium tangan beliau seperti cucu mencium tangan kakeknya.
Beliau pun tersenyum. Aku sampaikan pada beliau, bahwa lima-enam tahun yang
lalu aku membacakan puisi beliau “Beri Daku Sumba”, duet dengan mantan calon
istriku dan kami menjadi juara I se-Jawa Timur. Sontak bibir beliau tersungging
diikuti tepuk tangan para hadirin. Aku minta beliau membacakan puisi itu dan
menjelaskan mengapa puisi itu tercipta.
Beliau pun menerangkan seluk-beluk
puisi, puisi itu tercipta saat beliau ingin ke Rusia dan berhenti sejenak di
Uzbekistan. Di Uzbekistan, ternyata beliau melihat tanah lapang yang luas,
derapan kaki kuda yang mengingatkan beliau kepada teman beliau yang juga
penyair, yaitu Umbu Landu Paranggi. Umbu adalah seorang pujangga kelahiran
Sumba. Dimana saat ia bertemu dengan Taufik Ismail, ia menceritakan perihal
Sumba.
“Dan saat di Uzbekistan
itulah, bapak menciptakan puisi Beri Daku Sumba itu, sebab di sana terdapat
pemandangan seperti apa yang diceritakan oleh Umbu Landu Paranggi.” ungkapnya.
Lalu beliau membacakan puisi itu dengan penuh hikmat dan menjiwai.
Dan saat ini, aku sedang
menunggu naskah syair-syair beliau yang telah beliau janjikan saat aku bertemu
beliau. Semoga naskah itu secepatnya ada di tanganku.
Terima kasih bapak Taufik,
semoga akan ada penyair-penyair santun dan ikhlas seperti bapak. Amin.
Kairo, 16 April 2013
Tidak ada komentar:
Posting Komentar