Selasa, 16 April 2013

Rinduku pada Taufik Ismail

Rinduku pada Sumba adalah rindu padang-padang terbuka
Di mana matahari membusur api di atas sana

Rinduku pada Sumba adalah rindu peternak perjaka
Bilamana peluh dan tenaga tanpa dihitung harga

Itu adalah sebagian bait puisi yang berjudul “Beri Daku Sumba” karya Taufiq Ismail. Tepatnya lima atau enam tahun yang lalu aku membacakan puisi itu. Kala itu, Universitas Islam Malang menggelar lomba Teaterikalisasi Puisi se-Jawa Timur. Dan setelah dilakukan seleksi oleh pelatih teater sekolahku, akhirnya aku dipaksa menjadi pembaca puisi di perlombaan itu. Jujur, saat itu aku memang tak ada kemampuan membaca puisi. Namun berkat arahan dari pelatih, aku pun menjadi percaya diri. Oiya, karena teaterikalisasi puisi, tak hanya aku yang maju ke panggung namun juga ada beberapa temanku yang ikut serta mempercantik penampilan. Satu lagi, aku tak sendirian membaca puisi itu, ada seorang bidadari cantik yang berduet denganku dulu. Ya, dia mantan calon istriku. Ingat, dia mantan calon istriku.

Dengan keterbatasan kami, kami pun memberanikan diri untuk tampil. Dan, Alhamdulillah kami diberi kesempatan mengangkat tropi juara I lomba teaterikalisasi puisi se-Jawa Timur. Sebenarnya bukan hanya satu puisi yang kami bawakan, ada satu lagi judulnya “Jembatan” ciptaan Sutardji Chalzoum. Temanku bernama Erik yang membacanya dengan penuh kobaran semangat.

Mulai itulah aku cinta dengan bait-bait syair, menikmati keindahan kata-kata, menelusuri sajak-sajak yang penuh makna. Aku sangat memuji Chairul Anwar dengan puisinya “Aku”, W.S Rendra dengan “Orang-orang Miskin”, Gus Mus dengan “Wanita Cantik Sekali di Multazam”, D. Zawawi Imran dengan “Ibu”, dan penyair-penyair yang lain. Tentu saja, aku juga sangat senang dengan Taufik ismail, pencipta puisi yang aku bacakan saat lomba itu.

Taufik Ismail telah mencipta ratusan bahkan mungkin ribuan judul puisi dengan beragam macam pesan yang disampaikan. Mulai dari sisi agama, politik, sosial, budaya, kenegaraan, pertemanan, dll. Aku pun tak bisa pungkiri, bahwa aku lambat laun menjauhi rokok usai membaca puisinya berjudul “Tuhan Sembilan Senti”.

Rasa cinta, kagum, hormat dan entahlah apalagi yang tak bisa diungkapkan, rasanya amat menggelora di kalbu. Hingga akhirnya, Tuhan mempertemukan kami. Beliau bertandang ke negeri Piramida untuk menghadiri sebuah acara penghargaan lantaran puisi-puisi beliau yang telah diterjemahkan ke bahasa Arab mendapat sanjungan yang menarik dari para sastrawan Mesir. Dan tiga hari yang lalu, beliau diundang oleh mahasiswa Indonesia di Mesir untuk menjadi narasumber acara yang bertajuk Sarasehan Budaya, Sastra, dan Baca Puisi.

Semenjak acara dimulai, aku duduk dibarisan terdepan sebelah kanan beliau, inilah momentum yang paling aku tunggu-tunggu selama lima-enam tahun. Menatap wajah sang penyair yang paling aku damba. Penyair yang bersih dari sifat dan sikap yang tabu. Penyair yang tak hanya mengurai kata-kata namun juga menyisipkan di dalamnya sebuah ayat-ayat firman dan sabda.

Aku diberi kesempatan pertama oleh moderator sebagai penanya. Aku pegang mikrofon dengan kuat. Aku mulai dengan uluk salam dan berkata.
“Pak Taufik, perkenankan saya mencium tangan bapak, sebelum saya bertanya dan mengungkapkan apa yang ada di benak saya. Sebab apa yang ingin saya katakan ini telah lama terpendam di hati saya selama lima hingga enam tahun.”

Beliau pun mempersilahkan. Dengan rasa takzim, kucium tangan beliau seperti cucu mencium tangan kakeknya. Beliau pun tersenyum. Aku sampaikan pada beliau, bahwa lima-enam tahun yang lalu aku membacakan puisi beliau “Beri Daku Sumba”, duet dengan mantan calon istriku dan kami menjadi juara I se-Jawa Timur. Sontak bibir beliau tersungging diikuti tepuk tangan para hadirin. Aku minta beliau membacakan puisi itu dan menjelaskan mengapa puisi itu tercipta.

Beliau pun menerangkan seluk-beluk puisi, puisi itu tercipta saat beliau ingin ke Rusia dan berhenti sejenak di Uzbekistan. Di Uzbekistan, ternyata beliau melihat tanah lapang yang luas, derapan kaki kuda yang mengingatkan beliau kepada teman beliau yang juga penyair, yaitu Umbu Landu Paranggi. Umbu adalah seorang pujangga kelahiran Sumba. Dimana saat ia bertemu dengan Taufik Ismail, ia menceritakan perihal Sumba.

“Dan saat di Uzbekistan itulah, bapak menciptakan puisi Beri Daku Sumba itu, sebab di sana terdapat pemandangan seperti apa yang diceritakan oleh Umbu Landu Paranggi.” ungkapnya. Lalu beliau membacakan puisi itu dengan penuh hikmat dan menjiwai.

Dan saat ini, aku sedang menunggu naskah syair-syair beliau yang telah beliau janjikan saat aku bertemu beliau. Semoga naskah itu secepatnya ada di tanganku.

Terima kasih bapak Taufik, semoga akan ada penyair-penyair santun dan ikhlas seperti bapak. Amin.


Kairo, 16 April 2013


Tidak ada komentar:

Posting Komentar