Selasa, 04 Desember 2012

Kyaiku, Kyaimu, Kyai Kita Bersama

Hampir satu tahun aku menunggu keberangkatanku ke Mesir. Akhirnya 1 Agusuts 2009, aku resmi dinyatakan lulus seleksi calon mahasiswa universitas Al-Azhar, Kairo-Mesir. Universitas Islam tertua yang telah melahirkan jutaan bahkan tak terhitung ulama terkenal seantero dunia mulai dari Imam As-Suyuti, Imam Al-Baijuri, Muhammad Abduh, hingga seorang ulama kontemporer yang sangat familiar Ramadlan Al-Bhouty dan Yusuf Al-Qardhawi.

Kejenuhanku menunggu hampir mendekati titik akut beragam pertanyaan menderaku,”Kapan berangkat ke Mesir?”, “Lho, gak jadi ya kuliyah di Kairo? Kok gak berangkat juga sampai sekarang?”. Ah, kupingku panas mendengar semua itu. Muak aku dibuatnya, tapi wajar jika semua orang yang mengenalku menanyakan hal itu. Dan…

****

Malam itu aku bermimpi. Almarhum kyai sepuh Romo Kyai Abdul Manan Syukur –pendiri pesantren Alquran Nurul Huda, Singosari (PPQNH) tempat aku nyantri- menghampiriku dan teman-temanku di sebuah warung kopi pojok kampung pesantren kami. Sebuah hal yang menjadi rutinitas seorang santri di pagi hari adalah “ngopi”. Almarhum kyai sepuh tak bicara apa-apa, beliau hanya menghampiri lalu pergi. Aku ikuti beliau dan mencium tangan beliau seraya beruluk salam. Aku tuntun beliau dan aku ungkapkan kegundahan hatiku kepada beliau.

”Kyai, tolong saya didoakan agar bisa cepat berangkat ke Mesir karena saya hampir satu tahun menunggu dan belum juga berangkat.” Ucapku.

 “Iya saya doakan tapi jangan lupa kamu harus ikut pengajian Habib –entah saya lupa namanya- . Oh ya pengajian kyai Bashori Alwi juga.” tutur beliau sembari terus melangkah menuju pesantren.

 “Iya kyai.” sanggupku.

 Dan kami pun telah sampai di pelataran pesantren.

****

Habib yang disebutkan kyai sepuh di mimpiku tadi ternyata telah wafat dan aku putuskan untuk menziarahi makamnya yang tak seberapa jauh dari kawasan pesantrenku. Lalu aku hadiri pengajian rutin kyai Bashori Alwi –pengasuh Pesantren Ilmu Qur’an (PIQ) yang hanya berjarak sekitar 900 meter dari pesantrenku- pada hari ahad. Kyai Bashori, begitulah beliau akrab di telinga masyarakat. Seorang kyai kharismatik yang mempunyai suara emas. Konon masa mudanya beliau mampu memecahkan hati yang telah lama membatu dengan merduanya tilawah Alquran. Dan beberapa bulan setelah mengikuti pengajiannya, aku pun terbang ke negeri Musa. Tanah impian para penghaus ilmu.

****

Aku teringat lagi momen dua tahun silam itu setelah mendengar khatib/imam salat Jum’at kemarin (24/8) membaca surat Al-A’la di rakaat pertama dan Al-Ghosyiah rakaat kedua. Baru kali ini aku menyimak seorang khatib/imam salat Jum’at membaca kedua surat tersebut karena kebanyakan mereka lebih memilih surat-surat pendek atau ayat-ayat pertengahan surat panjang. Ya, menyimak kedua surat itu dalam sebuah ritual mingguan Islam –salat Jumat-  melekatkan ingatanku pada kedua kyai sepuh berkharismatik, Almarhum Kyai Abdul Manan dan Kyai Bashori Alwi. Betapa tidak, seakan Almarhum Kyai Manan memberiku syarat nyantri  kepada Kyai Bashori sebelum pergi meninggalkan tanah air. Menurutku ini sebuah isyarat agar aku tidak hanya menjadi santri beliau saja tapi juga menjadi santri kyai Bashori meski barang sehari. Lalu tiba-tiba akalku menumpahkan sebuah opini, ”Seorang kyai bukanlah dimiliki oleh santrinya saja tapi kyai milik masyarakat bersama.”

****

Malam ini semua itu menjadi terkukuhkan dengan mimpiku. Aku terbangun pukul 01.00 CLT –waktu setempat- lalu salat dua rakaat sebagai rasa syukurku. Aku bertemu lagi dengan Kyai Bashori Alwi di alam tidurku. Aku duduk manis menunggu beliau yang hendak mengisi pengajian. Tiba-tiba aku terkejut, beliau berada tepat di depanku lalu bertanya.

“Dimana kamar mandi?”

Kucium tangan beliau lalu kutuntun beliau menuju kamar mandi. Kami berjalan 50 meter dari tempat pengajian menuju toilet masjid. Aku buka jubah beliau aku lipat dan aku taruh di kursi yang tak jauh dariku. Lalu kutuntun beliau ke dalam kamar mandi masjid. Aku menunggu di luar dan menjaga pintu karena pintu tak bisa ditutup dari dalam.

Begitu senangnya aku bisa melayani seorang kyai sepuh yang alim dan bijak. Lantas, ke mana santri –sopir- beliau? Oh mungkin dia masih sibuk memakirkan mobil hingga tak sempat melayani kyai. Tak lama santri-sopir- kyai datang. Sepertinya aku kenal wajahnya. Wajahnya lebih mirip dengan temanku sepesantren dulu. Achmad Zakky Fikri namanya. Ia pun turut masuk kamar mandi yang lain.

Setiap ada yang hendak menduduki bahkan meniduri kursi yang aku taruh di atasnya jubah kyai, aku berteriak mengumpatnya sembari tanganku mengepal ke atas dan pintu kamar mandi kyai pun terbuka. Aku meminta maaf kepada beliau, beliau diam saja. Ada juga seorang anak kecil hendak mencuri sandal sopir kyai, lagi-lagi aku lolongkan umpatanku dan pintu kamar mandi kyai pun terbuka kedua kalinya. Aku meminta maaf dan beliau hanya diam.

Setelah beliau selesai buang air besar, beliau ingin berwudu. Aku tuntun beliau. Tempat wudu masjid berada di ruang bawah tanah mengingatkanku pada masjid agung Sunan Giri, Gresik. Usai beliau wudu aku siapkan jubah beliau. Aku tuntun beliau lagi menelusuri gang perkampungan masyarakat sekitar masjid hingga beliau duduk di kursi yang telah disediakan panitia.

Panitia menyediakan minuman-minuman bersoda untuk kyai. Aku langsung naik pitam menolaknya demi kesehatan kyai. Kulihat di atas kitab beliau terdapat beberapa butir obat. Rupanya sudah waktunya beliau meminum obat.

“Kyai, ingin minum apa?” tanyaku.

“Air putih saja.” Jawab beliau dengan suaranya yang khas.

Setelah merapikan sandal kyai, aku bergegas mencari air. Panitia hanya bersikap apatis lebih memilih mengikuti pengajian kyai. Aku pinta ke beberapa rumah warga sekitar. Hasilnya nihil. 

“Ah begitu sulitkah menghidangkan air putih untuk kyai?” gumamku. Kuketuk pintu rumah warga yang lain, ia suguhkan air zam-zam tapi tercelup di dalamnya beberapa teh. “Hah, apa-apaan ini?” kesalku padanya. Kutelusuri rumah warga satu demi satu. Sepertinya warga di sini kekeringan air. Aku mulai risau, bagaimana tidak, hanya menghadirkan segelas air putih saja untuk kyai aku tak becus. Ah, kurang sempurna khidmatku jika aku tak menemukan air putih untuk beliau meminum obat.

Aku lari ke pojok kampung. Di sebuah lorong beratap pelepah itu ada asrama kecil untuk santri-santri TPA. Aku gedor pintu salah satu kamar. Aku meminta segelas air putih. Tapi,

“Wah air putihnya dijual mas bukan diberikan gitu aja.” seloroh salah seorang santri cilik.

Astaghfirullah, begitu susahnya hanya mencari segelas air putih. Aku rogoh sakuku. Ada beberapa keping uang tapi ini uang kyai yang jatuh dari jubahnya tadi bukan uangku. Kuacuhkan dia sebab aku tak bawa uang serupiah pun. Terbuka pintu kamar lainnya. Lagi-lagi aku meminta air putih. Ia memberiku sebuah botol susu kotak.

“Maaf mas, ini aku cuma punya susu.” kata seorang anak kecil.

“Allahu Akbar, kenapa sebuah hal yang kecil dan remeh saja begitu sukar aku menyelesaikannya, Tuhan?” keluhku.

****

Aku tersentak bangun. Ah, aku menyesal kenapa aku terbangun sebelum memberikan air putih untuk kyai? Apa isyarat dibalik semua ini?. Oh yah, Air putih memang alat untuk mensterilkan kesehatan. Sepintas aku mereka, apakah mimpi ini berarti bahwa mensucikan diri untuk tetap fitri itu tak semudah yang kita bayangkan. Media peyucian diri memang mudah dan murah layaknya air putih. Tapi untuk mendapatkannya tak segampang membalik telapak tangan. Terlepas dari itu, ini merupakan sebuah nikmat karena bisa berkhidmat kepada seorang kyai sepuh Singosari K.H. Bashori Alwi. Kyaiku, kyaimu, kyai kita bersama.

Kairo, 7 Syawal 1433 H -03:20 CLT-

Tidak ada komentar:

Posting Komentar