Hampir satu
tahun aku menunggu keberangkatanku ke Mesir. Akhirnya 1 Agusuts 2009, aku resmi
dinyatakan lulus seleksi calon mahasiswa universitas Al-Azhar, Kairo-Mesir.
Universitas Islam tertua yang telah melahirkan jutaan bahkan tak terhitung
ulama terkenal seantero dunia mulai dari Imam As-Suyuti, Imam Al-Baijuri,
Muhammad Abduh, hingga seorang ulama kontemporer yang sangat familiar Ramadlan
Al-Bhouty dan Yusuf Al-Qardhawi.
Kejenuhanku menunggu
hampir mendekati titik akut beragam pertanyaan menderaku,”Kapan berangkat ke
Mesir?”, “Lho, gak jadi ya kuliyah di Kairo? Kok gak berangkat juga sampai
sekarang?”. Ah, kupingku panas mendengar semua itu. Muak aku dibuatnya, tapi
wajar jika semua orang yang mengenalku menanyakan hal itu. Dan…
****
Malam itu
aku bermimpi. Almarhum kyai sepuh Romo Kyai Abdul Manan Syukur –pendiri
pesantren Alquran Nurul Huda, Singosari (PPQNH) tempat aku nyantri- menghampiriku dan teman-temanku di sebuah warung kopi
pojok kampung pesantren kami. Sebuah hal yang menjadi rutinitas seorang santri
di pagi hari adalah “ngopi”. Almarhum kyai sepuh tak bicara apa-apa, beliau
hanya menghampiri lalu pergi. Aku ikuti beliau dan mencium tangan beliau seraya
beruluk salam. Aku tuntun beliau dan aku ungkapkan kegundahan hatiku kepada
beliau.
”Kyai,
tolong saya didoakan agar bisa cepat berangkat ke Mesir karena saya hampir satu
tahun menunggu dan belum juga berangkat.” Ucapku.
“Iya saya doakan tapi jangan lupa kamu harus
ikut pengajian Habib –entah saya lupa namanya- . Oh ya pengajian kyai Bashori
Alwi juga.” tutur beliau sembari terus melangkah menuju pesantren.
“Iya kyai.” sanggupku.
Dan kami pun telah sampai di pelataran
pesantren.
****
Habib yang
disebutkan kyai sepuh di mimpiku tadi ternyata telah wafat dan aku putuskan
untuk menziarahi makamnya yang tak seberapa jauh dari kawasan pesantrenku. Lalu
aku hadiri pengajian rutin kyai Bashori Alwi –pengasuh Pesantren Ilmu Qur’an
(PIQ) yang hanya berjarak sekitar 900 meter dari pesantrenku- pada hari ahad.
Kyai Bashori, begitulah beliau akrab di telinga masyarakat. Seorang kyai
kharismatik yang mempunyai suara emas. Konon masa mudanya beliau mampu
memecahkan hati yang telah lama membatu dengan merduanya tilawah Alquran. Dan
beberapa bulan setelah mengikuti pengajiannya, aku pun terbang ke negeri Musa.
Tanah impian para penghaus ilmu.
****
Aku teringat
lagi momen dua tahun silam itu setelah mendengar khatib/imam salat Jum’at
kemarin (24/8) membaca surat Al-A’la
di rakaat pertama dan Al-Ghosyiah rakaat
kedua. Baru kali ini aku menyimak seorang khatib/imam salat Jum’at membaca
kedua surat tersebut karena kebanyakan mereka lebih memilih surat-surat pendek
atau ayat-ayat pertengahan surat panjang. Ya, menyimak kedua surat itu dalam
sebuah ritual mingguan Islam –salat Jumat- melekatkan ingatanku pada kedua kyai sepuh
berkharismatik, Almarhum Kyai Abdul Manan dan Kyai Bashori Alwi. Betapa tidak,
seakan Almarhum Kyai Manan memberiku syarat nyantri kepada Kyai Bashori sebelum pergi
meninggalkan tanah air. Menurutku ini sebuah isyarat agar aku tidak hanya
menjadi santri beliau saja tapi juga menjadi santri kyai Bashori meski barang
sehari. Lalu tiba-tiba akalku menumpahkan sebuah opini, ”Seorang kyai bukanlah
dimiliki oleh santrinya saja tapi kyai milik masyarakat bersama.”
****
Malam ini
semua itu menjadi terkukuhkan dengan mimpiku. Aku terbangun pukul 01.00 CLT
–waktu setempat- lalu salat dua rakaat sebagai rasa syukurku. Aku bertemu lagi dengan
Kyai Bashori Alwi di alam tidurku. Aku duduk manis menunggu beliau yang hendak
mengisi pengajian. Tiba-tiba aku terkejut, beliau berada tepat di depanku lalu
bertanya.
“Dimana
kamar mandi?”
Kucium
tangan beliau lalu kutuntun beliau menuju kamar mandi. Kami berjalan 50 meter
dari tempat pengajian menuju toilet masjid. Aku buka jubah beliau aku lipat dan
aku taruh di kursi yang tak jauh dariku. Lalu kutuntun beliau ke dalam kamar
mandi masjid. Aku menunggu di luar dan menjaga pintu karena pintu tak bisa ditutup
dari dalam.
Begitu
senangnya aku bisa melayani seorang kyai sepuh yang alim dan bijak. Lantas, ke mana santri –sopir- beliau? Oh mungkin
dia masih sibuk memakirkan mobil hingga tak sempat melayani kyai. Tak lama
santri-sopir- kyai datang. Sepertinya aku kenal wajahnya. Wajahnya lebih mirip
dengan temanku sepesantren dulu. Achmad Zakky Fikri namanya. Ia pun turut masuk
kamar mandi yang lain.
Setiap ada
yang hendak menduduki bahkan meniduri kursi yang aku taruh di atasnya jubah
kyai, aku berteriak mengumpatnya sembari tanganku mengepal ke atas dan pintu
kamar mandi kyai pun terbuka. Aku meminta maaf kepada beliau, beliau diam saja.
Ada juga seorang anak kecil hendak mencuri sandal sopir kyai, lagi-lagi aku
lolongkan umpatanku dan pintu kamar mandi kyai pun terbuka kedua kalinya. Aku
meminta maaf dan beliau hanya diam.
Setelah
beliau selesai buang air besar, beliau ingin berwudu. Aku tuntun beliau. Tempat
wudu masjid berada di ruang bawah tanah mengingatkanku pada masjid agung Sunan
Giri, Gresik. Usai beliau wudu aku siapkan jubah beliau. Aku tuntun beliau lagi
menelusuri gang perkampungan masyarakat sekitar masjid hingga beliau duduk di
kursi yang telah disediakan panitia.
Panitia
menyediakan minuman-minuman bersoda untuk kyai. Aku langsung naik pitam
menolaknya demi kesehatan kyai. Kulihat di atas kitab beliau terdapat beberapa
butir obat. Rupanya sudah waktunya beliau meminum obat.
“Kyai, ingin
minum apa?” tanyaku.
“Air putih
saja.” Jawab beliau dengan suaranya yang khas.
Setelah
merapikan sandal kyai, aku bergegas mencari air. Panitia hanya bersikap apatis
lebih memilih mengikuti pengajian kyai. Aku pinta ke beberapa rumah warga
sekitar. Hasilnya nihil.
“Ah begitu sulitkah menghidangkan air putih untuk
kyai?” gumamku. Kuketuk pintu rumah warga yang lain, ia suguhkan air zam-zam
tapi tercelup di dalamnya beberapa teh. “Hah, apa-apaan ini?” kesalku padanya.
Kutelusuri rumah warga satu demi satu. Sepertinya warga di sini kekeringan air.
Aku mulai risau, bagaimana tidak, hanya menghadirkan segelas air putih saja
untuk kyai aku tak becus. Ah, kurang sempurna khidmatku jika aku tak menemukan
air putih untuk beliau meminum obat.
Aku lari ke
pojok kampung. Di sebuah lorong beratap pelepah itu ada asrama kecil untuk
santri-santri TPA. Aku gedor pintu salah satu kamar. Aku meminta segelas air
putih. Tapi,
“Wah air
putihnya dijual mas bukan diberikan gitu aja.” seloroh salah seorang santri
cilik.
Astaghfirullah,
begitu susahnya hanya mencari segelas air putih. Aku rogoh sakuku. Ada beberapa
keping uang tapi ini uang kyai yang jatuh dari jubahnya tadi bukan uangku. Kuacuhkan
dia sebab aku tak bawa uang serupiah pun. Terbuka pintu kamar lainnya.
Lagi-lagi aku meminta air putih. Ia memberiku sebuah botol susu kotak.
“Maaf mas,
ini aku cuma punya susu.” kata seorang anak kecil.
“Allahu
Akbar, kenapa sebuah hal yang kecil dan remeh saja begitu sukar aku menyelesaikannya,
Tuhan?” keluhku.
****
Aku
tersentak bangun. Ah, aku menyesal kenapa aku terbangun sebelum memberikan air
putih untuk kyai? Apa isyarat dibalik semua ini?. Oh yah, Air putih memang alat
untuk mensterilkan kesehatan. Sepintas aku mereka, apakah mimpi ini berarti
bahwa mensucikan diri untuk tetap fitri itu tak semudah yang kita bayangkan.
Media peyucian diri memang mudah dan murah layaknya air putih. Tapi untuk
mendapatkannya tak segampang membalik telapak tangan. Terlepas dari itu, ini
merupakan sebuah nikmat karena bisa berkhidmat kepada seorang kyai sepuh
Singosari K.H. Bashori Alwi. Kyaiku, kyaimu, kyai kita bersama.
Kairo, 7
Syawal 1433 H -03:20 CLT-
Tidak ada komentar:
Posting Komentar