Minggu, 25 November 2012

Menatap Garis Tangan

Menjelang maghrib, hampir semua orang sibuk dengan aktifitasnya. Para pekerja selekas mungkin pulang melepas pekat dan penat. Para pedagang khusyuk melayani penjual dengan target habis bin ludes. Para pelajar keluar dari kampus dan tempat kursus dengan menenteng beberapa kitab dan diktat kuliah, ada juga yang meninggalkan masjid Al-Azhar setelah duduk dengan seorang syekh yang alim dalam bidangnya atau malah hendak berangkat. Begitu pun aku, yang tak bisa dipungkiri sebagai mahasiswa. Sedikit sibuk berada di tengah keramaian jalan menjalankan sedikit tugas sebagai panitia di sebuah acara mahasiswa Indonesia-Mesir.

Enam hingga tujuh menit lagi azan maghrib berkumandang. Tiba-tiba, Ringtone ringan telepon genggamku berdering, ternyata sebuah pesan datang dari kakak perempuanku. Adek, bpk skrng mnjalani trapi tngn n kakix yg trkena stroke 3-4X seminggu.tntux btuh uang bnyk. Sp lg yg dharapkan klwrg klo bkn kmu. Aku n ibu bngng n tk tega ngmng ni k adek. Tp mw gmn lg? Tlng sisihkn uang ja2nmu untk bpk ya?.

Allahu Akbar, kutatap langit sembari menyeka setetes air mata. Begitu sayang kah Tuhan kepada keluargaku?. Hampir genap dua minggu aku merasakan menjadi mahasiswa seutuhnya. Tanpa bekerja dan berdagang. Kumulai kegiatan Termin II ini dengan berorganisasi, kajian, dan mengaji. Apakah aku harus menggantinya dengan kerja lagi?.

Terkadang sangat miris dan terasa teriris hatiku ketika mengetahui SMS seorang teman dari orang tuanya, “Nak, uangnya sudah ayah kirim sekian juta”. Singkat, tak sepanjang pesan yang kuterima. Hanya bisa mengelus dada membacanya. Ah, biarlah itu memang rejekinya. Toh Allah tak sama menggoreskan gari-garis di setiap telapak tangan manusia.

Mahasiswa seutuhnya, itulah sebuah sebutan yang sudah lama aku idam-idamkan semenjak duduk di bangku SMA. Hingga sesampainya di Mesir tak bisa kubendung kebahagianku menyandang status mahasiswa apalagi MAHASISWA AL-AZHAR KAIRO. Merupakan sebuah kehormatan mulia dan amanat yang amat berat. Bukanlah hal yang tak terelakkan lagi, Mesir terkenal dengan peradaban keilmuannya yang sangat pesat. Ribuan ulama lahir dari pangkuan Al-Azhar yang semuanya tersebar ke seluruh belahan dunia timur hingga barat. Masyarakat tak mau tahu, lulusan Kairo harus bisa sepeti ini dan itu, mampu menjawab segala permasalahan dengan dalil akurat dan tepat. Entahlah!!

Tuhan, aku ingin hidup dengan segala sikap yang bijak. Berbakti kepada orang tua di hari-hari tuanya. Namun aku juga ingin merasakan kelezatan mencari ilmu. Pagi hingga siang duduk di bangku kuliah, sore sampai malam menghadiri kajian-kajian atau mengaji di bilik-bilik masjid Al-Azhar. Astaghfirulloh, sekelumit penyakit hatiku kambuh enggan menerima takdir hidup padahal hati kecil tak henti-hentinya melengking mengucap “Tetap tersenyumlah dengan menatap garis tanganmu, Tuhan akan rela kepadamu”.

Kawan, sebenarnya malu aku ketika kau baca note kecilku ini. Tapi aku harap ketika kau berada di kasta atasku, bersyukurlah. Dan ketika kau berada di bawahku ceritakan kisah hidupmu kepadaku agar aku bisa bersyukur dengan apa yang ada. Bukanlah sebuah rasa iba dan kasihan yang kuinginkan, namun sebait doa darimu yang selalu kuharap.

Kairo, 15 Februari 2012



Tidak ada komentar:

Posting Komentar