Tadi pagi
saya berencana pergi ke kantor konsuler KBRI untuk membuat paspor baru. Tapi rencana
saya batal dan saya harus pulang ke asrama sembari gigit jari gara-gara menyetak
dan ngeprint foto yang selama satu jam dan tak kunjung
selesai. Padahal hanya beberapa lembar saja.
Saya benar-benar
kecewa dan dibuat uring-uringan tukang foto itu. Saya sempat berpikir,
bagaimana Mesir mau maju? Lha orangnya saja bekerja sebagai pencetak foto butuh waktu lebih dari sejam untuk merampungkan
pekerjaannya. Saya terpaksa pulang dengan
menekuk wajah. Untuk menghilangkan kerisauan, saya putar video-video lucu sesampai di asrama.
***
Talaqqi ilmu Tasawuf yang diampu Syekh Yusri Rusydi
selesai pukul 22.00. Dengan keadaan perut kosong sembari berteriak seolah-olah
tokoh reformasi 1998, saya semangat menjejakkan kaki pulang berharap secepat
mungkin menyantap makan malam. Sesampai di
kamar, ternyata kompor masih dingin dan tak ada bekas masakan apapun. Entah siapa
yang kebagian jadwal masak, rupanya beras di lemari belum menjadi nasi apalagi
bubur. Lagi-lagi saya nelangsa dan untuk kedua kalinya harapan dan kehendak
saya hari ini hanya menjadi sebuah angan saja.
Ketika semakin tenggelam dalam kegeraman dan geregetan,
saya langsung teringat apa yang disampaikan Syekh Yusri sewaktu talaqqi tadi. Salah
satu hikmah yang beliau sampaikan, bahwa kita sering sekali menuhankan diri sendiri
padahal kita ini hamba. Beliau juga menuturkan tentang cara bermuamalah dengan
Allah. Bila kita berhubungan dengan Allah, sewajarnya hubungan kita itu sebagai
penghambaan bukan malah penuhanan.
Ketika sakit, misalnya. Jika kita sakit dan kita enggan
minum obat dengan beranggapan Allah akan menyembuhkan kita, ini berarti kita
bermuamalah dengan Allah tidak sebagai hamba melainkan sebagai Tuhan lantaran
kita sombong dan merasa tak membutuhkan obat atau sesuatu apapun yang membantu
kesehatan kita. Karena hanya Allah yang tak membutuhkan apapun dan berhak
sombong di dunia ini sebab Allah maha memiliki segalanya.
Kehendak dan keinginan yang harus terlaksana juga
merupakan sifat ketuhanan yang sering kita rampas dari Allah. Cuma Allah yang
maha berkendak dan melakukan segala keinginan dan kehendak-Nya. Tapi kita
justru lebih akrab dengan sifat Allah itu. Kita sering marah dan naik pitam
kala keinginan kita tak tercapai. Ini berarti kita menganggap diri kita sebagai
Tuhan dan menyetarakan derajat kita dengan-Nya.
Deg! Hati saya seakan dihantam dan dilecut oleh hikmah
yang disampaikan Syekh Yusri itu. Astaghfirullah, betapa salahnya saya hari ini
sudah menuhankan diri saya paling tidak dua kali: saat tak jadi ke kantor
konsuler dan tak mampu menyantap makan malam seusai talaqqi. Bahkan tak hanya
itu, amat sering rasanya saya menuhankan diri dan merampas sifat-sifat Tuhan
yang sudah sepantasnya hanya dimiliki oleh Allah, Sang Maha segalanya.
Memang sering kali kita tak merasa bersalah dengan sikap
kita, padahal bila diteliti lagi kesalahan kita yang tak dirasa itu adalah
kesalahan yang mengatasnamakan Tuhan, bahkan kesalahan berhasil menjadikan diri
kita sebagai Tuhan.
Semoga Allah selalu mengampuni dan memberi petunjuk kita.
Amiin.