Minggu, 20 April 2014

Menuhankan Diri

Tadi pagi saya berencana pergi ke kantor konsuler KBRI untuk membuat paspor baru. Tapi rencana saya batal dan saya harus pulang ke asrama sembari gigit jari gara-gara menyetak dan ngeprint foto yang selama satu jam dan tak kunjung selesai. Padahal hanya beberapa lembar saja.

Saya benar-benar kecewa dan dibuat uring-uringan tukang foto itu. Saya sempat berpikir, bagaimana Mesir mau maju? Lha orangnya saja bekerja sebagai pencetak foto butuh waktu lebih dari sejam untuk merampungkan pekerjaannya. Saya terpaksa pulang dengan menekuk wajah. Untuk menghilangkan kerisauan, saya putar video-video lucu sesampai di asrama.

***


Talaqqi ilmu Tasawuf yang diampu Syekh Yusri Rusydi selesai pukul 22.00. Dengan keadaan perut kosong sembari berteriak seolah-olah tokoh reformasi 1998, saya semangat menjejakkan kaki pulang berharap secepat mungkin menyantap makan malam. Sesampai di kamar, ternyata kompor masih dingin dan tak ada bekas masakan apapun. Entah siapa yang kebagian jadwal masak, rupanya beras di lemari belum menjadi nasi apalagi bubur. Lagi-lagi saya nelangsa dan untuk kedua kalinya harapan dan kehendak saya hari ini hanya menjadi sebuah angan saja.

Ketika semakin tenggelam dalam kegeraman dan geregetan, saya langsung teringat apa yang disampaikan Syekh Yusri sewaktu talaqqi tadi. Salah satu hikmah yang beliau sampaikan, bahwa kita sering sekali menuhankan diri sendiri padahal kita ini hamba. Beliau juga menuturkan tentang cara bermuamalah dengan Allah. Bila kita berhubungan dengan Allah, sewajarnya hubungan kita itu sebagai penghambaan bukan malah penuhanan.

Ketika sakit, misalnya. Jika kita sakit dan kita enggan minum obat dengan beranggapan Allah akan menyembuhkan kita, ini berarti kita bermuamalah dengan Allah tidak sebagai hamba melainkan sebagai Tuhan lantaran kita sombong dan merasa tak membutuhkan obat atau sesuatu apapun yang membantu kesehatan kita. Karena hanya Allah yang tak membutuhkan apapun dan berhak sombong di dunia ini sebab Allah maha memiliki segalanya.

Kehendak dan keinginan yang harus terlaksana juga merupakan sifat ketuhanan yang sering kita rampas dari Allah. Cuma Allah yang maha berkendak dan melakukan segala keinginan dan kehendak-Nya. Tapi kita justru lebih akrab dengan sifat Allah itu. Kita sering marah dan naik pitam kala keinginan kita tak tercapai. Ini berarti kita menganggap diri kita sebagai Tuhan dan menyetarakan derajat kita dengan-Nya.

Deg! Hati saya seakan dihantam dan dilecut oleh hikmah yang disampaikan Syekh Yusri itu. Astaghfirullah, betapa salahnya saya hari ini sudah menuhankan diri saya paling tidak dua kali: saat tak jadi ke kantor konsuler dan tak mampu menyantap makan malam seusai talaqqi. Bahkan tak hanya itu, amat sering rasanya saya menuhankan diri dan merampas sifat-sifat Tuhan yang sudah sepantasnya hanya dimiliki oleh Allah, Sang Maha segalanya.

Memang sering kali kita tak merasa bersalah dengan sikap kita, padahal bila diteliti lagi kesalahan kita yang tak dirasa itu adalah kesalahan yang mengatasnamakan Tuhan, bahkan kesalahan berhasil menjadikan diri kita sebagai Tuhan.

Semoga Allah selalu mengampuni dan memberi petunjuk kita. Amiin.