Jumat, 25 April 2014

Meniru Nabi, Bukan Menabikan Diri

Sebagai umat Islam yang taat, sudah sewajarnya kita mematuhi rambu-rambu agama yang telah digariskan oleh Tuhan. Tuhan mengabadikan rambu-rambu beragama melalui dua undang-undang besar yaitu Al-Quran dan Hadis yang keduanya diproklamirkan dan dipraktekkan oleh utusan-Nya, Baginda Nabi Muhammad Saw.

Seluruh peraturan beragama bersumber dari Al-Quran dan Hadis, mulai dari tata cara bermuamalah dengan Tuhan hingga bagaimana berhubungan dengan sesama makhluk baik yang hidup maupun yang mati. Saya tak akan membahas Al-Quran karena Al-Quran adalah firman Tuhan yang pasti menjadi harga mati untuk digali secara makna dan arti, guna diterapkan dalam kehidupan seorang Muslim sehari-hari. Adapun Hadis yang merupakan sikap, ucap, ketetapan, sifat Nabi, tak semua umat Islam mengetahuinya secara menyeluruh, bahkan ada sebagian kelompok yang menentang dan menolaknya untuk dijadikan sumber hukum Islam.


Hadis mencangkup kehidupan Rasulullah secara utuh dan seluruh. Gerak-gerik, tindak-tanduk, sampai ketampanan Rasulullah digambarkan dalam kumpulan Hadis yang diabadikan oleh para ulama. Dan tentunya kita tak akan bisa beragama secara resmi bila tak mengkaji dan meneladani kehidupan Rasulullah.

Dalam meneladani kehidupan Rasulullah tak sepatutnya asal comot dan tiru tanpa adanya penggodokan terlebih dulu. Dan juga saat meniru Rasulullah dalam sebuah laku, misalnya, kita juga tak elok bila memposisikan diri kita seperti dan selevel Rasulullah. Dan inilah yang sering diabaikan dan tidak disadari oleh kalangan umat Islam yang militan dan ‘karbitan’ di tengah zaman yang akrab dengan fitnah ini.

Mungkin kita perlu menelaah lebih dalam kok bisa meniru Rasulullah malah memposisikan dirinya seperti Rasulullah? Kita ambil problematika poligami. Banyak umat Islam yang berpoligami dengan dalih meniru Rasulullah tanpa menyadari mengapa Rasulullah berpoligami. Seakan-akan diri mereka seperti Rasulullah saat berpoligami sedang mereka tak pernah tahu hikmah Rasulullah berpoligami. Saya bukan tidak sepakat dengan poligami dan saya tidak juga bersemangat meneriakkan poligami. Poligami boleh saja, asal dilakukan tidak sembarangan dan serampangan.

Poligami Rasulullah tidak berangkat dari nafsu dan hasrat akan wanita, melainkan demi memuluskan dakwah Islam dan memantapkan hati para janda –yang dinikahinya- untuk tetap memilih Islam. Ummu Habibah binti Abi Sufyan yang menikah dengan Ubaidillah bin Jahsyin memeluk Islam bersama suaminya di awal kemunculan Islam yang kala itu penyiksaan dan penindasan terhadap kaum Muslimin begitu gencar dan cetar. Ummu Habibah juga putri dari Abi Sufyan yang merupakan pembesar Kafir Quraisy yang menaruh kebencian amat kental dan hobi meneriakkan: Ganyang Islam!

Ummu Habibah hijrah ke Habasyah beserta suaminya namun tak lama kemudian suaminya murtad dan beragama Nashrani seperti penduduk Habasyah dan meninggal di Habasyah. Mari kita bayangkan, bagaimana kegamangan seorang perempuan yang ditinggal murtad suaminya dan berada di negeri orang, belum lagi ayahnya seorang tokoh pembenci Islam dan pasti mencabik-cabik keyakinannya bila ia memutuskan kembali ke Makkah. Namun dengan kelembutan hati dan demi masa depan Islam, Nabi Muhammad meminangnya. Dengan begitu ia punya sandaran yang kuat dalam beragama dan keluarga Abu Sufyan sedikit sungkan dengan Nabi lantaran telah menjadi menantunya secara resmi.

Juwairiyah binti Harist dan Shafiyyah binti Huyay, keduanya putri dari pembesar Yahudi yang memerangi Rasulullah. Juwairiyah dari Bani Mushtaliq dan Shafiyyah dari Bani Nadlir. Keduanya menjadi tawanan perang dan memilih memeluk Islam. Setelah dibebaskan dan dinikahi Rasulullah, dengan berbondong-bondong seluruh Yahudi Bani Mushtaliq dan Nadlir mengikuti jejak Juwairiyah dan Shafiyyah bersyahadat dan mengakui kebenaran Islam. Ini sebuah hikmah yang sangat besar yang cukup menentukan masa depan Islam.

Zaenab binti Khuzaimah istri Sahabat Ubaidah bin Harist yang dengan gagahnya berduel dengan Utbah bin Rabiah sebelum genderang perang Badar dipukul. Ubaidah terluka dan akibat lukanya itulah ia syahid. Rasululah dengan terang-terangan bersaksi bahwa Ubaidah seorang yang syahid. Zaenab yang ditinggal suaminya hidup dalam keadaan terkatung-katung, lantaran Ubaidah tak meninggalkan harta yang cukup untuk istrinya. Zaenab sebagai perempuan biasa, tentu hatinya linglung dan Nabi pun menikahinya di saat Zaenab berusia 60 tahun.

Demikianlah hikmah keempat istri Nabi yang dipoligami dan tentunya masih banyak hikmah yang lain yang terkandung dalam poligami Nabi beserta istri-istri Nabi yang lainnya. Juga dalam berpoligami Nabi tak absen dari perintah Tuhan. Dan Tuhan tentu telah merancang kehidupan Nabi dan dakwah Islam supaya Islam semakin populer dan digandrungi di awal kemunculannya.

Setelah kita tahu hikmah dan tujuan di balik poligami Nabi, lantas apakah kita mau berpoligami seperti Nabi demi Islam dan kemanusiaan? Atau malah kita ambil ‘enak’ dan ‘nikmat’nya saja dengan tetap berdalih meniru Nabi Saw?

Meniru ucap dan sikap Nabi, berarti kita menjadikan Nabi tuntunan kita dalam berucap dan bersikap. Dalam meniru kehidupan Nabi, tidak lantas kita merasa sempurna dalam menirunya karena kita hanya meniru. Yang namanya meniru, derajat si peniru pastinya di bawah orang yang ditiru meski tiruan itu hampir sama. Hal apa yang kita tiru dari Rasulullah yang benar-benar sama dengan apa yang beliau lakukan? Saya yakin tidak ada. Oleh karenanya, mari kita meniru Nabi bukan malah menabikan diri dengan merasa sempurna melakukan sunnah Nabi.


Poligami tidak mengapa asal jangan sampai merasa sudah melakukan apa yang dilakukan Nabi karena kita hanyalah umatnya yang bisa mengabdi dengan menapaki kehidupannya sehari-hari. Tidak hanya berpoligami, dalam meniru sunnah Nabi yang lain, jangan sampai kita merasa telah melakukannya persis seperti yang telah dilakukan Nabi, sebab itu secara tidak langsung menganggap diri kita seperti atau selevel dengan Nabi. Meniru Nabi bukan menabikan diri.