Sebagai umat
Islam yang taat, sudah sewajarnya kita mematuhi rambu-rambu agama yang telah
digariskan oleh Tuhan. Tuhan mengabadikan rambu-rambu beragama melalui dua
undang-undang besar yaitu Al-Quran dan Hadis yang keduanya diproklamirkan dan dipraktekkan
oleh utusan-Nya, Baginda Nabi Muhammad Saw.
Seluruh peraturan beragama bersumber dari Al-Quran dan Hadis, mulai dari
tata cara bermuamalah dengan Tuhan hingga bagaimana berhubungan dengan sesama
makhluk baik yang hidup maupun yang mati. Saya tak akan membahas Al-Quran
karena Al-Quran adalah firman Tuhan yang pasti menjadi harga mati untuk digali
secara makna dan arti, guna diterapkan dalam kehidupan seorang Muslim
sehari-hari. Adapun Hadis yang merupakan sikap, ucap, ketetapan, sifat Nabi,
tak semua umat Islam mengetahuinya secara menyeluruh, bahkan ada sebagian
kelompok yang menentang dan menolaknya untuk dijadikan sumber hukum Islam.
Hadis mencangkup kehidupan Rasulullah secara utuh dan
seluruh. Gerak-gerik, tindak-tanduk, sampai ketampanan Rasulullah digambarkan
dalam kumpulan Hadis yang diabadikan oleh para ulama. Dan tentunya kita tak
akan bisa beragama secara resmi bila tak mengkaji dan meneladani kehidupan
Rasulullah.
Dalam meneladani kehidupan Rasulullah tak sepatutnya asal
comot dan tiru tanpa adanya penggodokan terlebih dulu. Dan juga saat meniru
Rasulullah dalam sebuah laku, misalnya, kita juga tak elok bila memposisikan
diri kita seperti dan selevel Rasulullah. Dan inilah yang sering diabaikan dan
tidak disadari oleh kalangan umat Islam yang militan dan ‘karbitan’ di tengah
zaman yang akrab dengan fitnah ini.
Mungkin kita perlu menelaah lebih dalam kok bisa
meniru Rasulullah malah memposisikan dirinya seperti Rasulullah? Kita ambil
problematika poligami. Banyak umat Islam yang berpoligami dengan dalih meniru
Rasulullah tanpa menyadari mengapa Rasulullah berpoligami. Seakan-akan diri
mereka seperti Rasulullah saat berpoligami sedang mereka tak pernah tahu hikmah
Rasulullah berpoligami. Saya bukan tidak sepakat dengan poligami dan saya tidak
juga bersemangat meneriakkan poligami. Poligami boleh saja, asal dilakukan tidak sembarangan dan serampangan.
Poligami Rasulullah tidak berangkat dari nafsu dan hasrat
akan wanita, melainkan demi memuluskan dakwah Islam dan memantapkan hati para
janda –yang dinikahinya- untuk tetap memilih Islam. Ummu Habibah binti Abi
Sufyan yang menikah dengan Ubaidillah bin Jahsyin memeluk Islam bersama
suaminya di awal kemunculan Islam yang kala itu penyiksaan dan penindasan
terhadap kaum Muslimin begitu gencar dan cetar. Ummu Habibah juga putri dari
Abi Sufyan yang merupakan pembesar Kafir Quraisy yang menaruh kebencian amat
kental dan hobi meneriakkan: Ganyang Islam!
Ummu Habibah hijrah ke Habasyah beserta suaminya namun
tak lama kemudian suaminya murtad dan beragama Nashrani seperti penduduk
Habasyah dan meninggal di Habasyah. Mari kita bayangkan, bagaimana kegamangan
seorang perempuan yang ditinggal murtad suaminya dan berada di negeri orang,
belum lagi ayahnya seorang tokoh pembenci Islam dan pasti mencabik-cabik
keyakinannya bila ia memutuskan kembali ke Makkah. Namun dengan kelembutan hati
dan demi masa depan Islam, Nabi Muhammad meminangnya. Dengan begitu ia punya
sandaran yang kuat dalam beragama dan keluarga Abu Sufyan sedikit sungkan
dengan Nabi lantaran telah menjadi menantunya secara resmi.
Juwairiyah binti Harist dan Shafiyyah binti Huyay,
keduanya putri dari pembesar Yahudi yang memerangi Rasulullah. Juwairiyah dari Bani
Mushtaliq dan Shafiyyah dari Bani
Nadlir. Keduanya menjadi tawanan perang dan memilih memeluk Islam. Setelah
dibebaskan dan dinikahi Rasulullah, dengan berbondong-bondong seluruh Yahudi Bani
Mushtaliq dan Nadlir mengikuti jejak Juwairiyah dan Shafiyyah
bersyahadat dan mengakui kebenaran Islam. Ini sebuah hikmah yang sangat besar
yang cukup menentukan masa depan Islam.
Zaenab binti Khuzaimah istri Sahabat Ubaidah bin Harist
yang dengan gagahnya berduel dengan Utbah bin Rabiah sebelum genderang perang
Badar dipukul. Ubaidah terluka dan akibat lukanya itulah ia syahid. Rasululah
dengan terang-terangan bersaksi bahwa Ubaidah
seorang yang syahid. Zaenab yang ditinggal suaminya hidup dalam keadaan terkatung-katung, lantaran Ubaidah tak
meninggalkan harta yang cukup
untuk istrinya. Zaenab sebagai perempuan biasa, tentu hatinya linglung
dan Nabi pun menikahinya di saat Zaenab berusia 60 tahun.
Demikianlah hikmah keempat istri Nabi yang dipoligami dan
tentunya masih banyak hikmah yang lain yang terkandung dalam poligami Nabi
beserta istri-istri Nabi yang lainnya. Juga dalam berpoligami Nabi tak absen
dari perintah Tuhan. Dan Tuhan tentu telah merancang kehidupan Nabi dan dakwah
Islam supaya Islam semakin populer dan
digandrungi di awal kemunculannya.
Setelah kita tahu hikmah dan tujuan di balik poligami
Nabi, lantas apakah kita mau berpoligami seperti Nabi demi Islam dan
kemanusiaan? Atau malah kita ambil ‘enak’ dan ‘nikmat’nya saja dengan tetap
berdalih meniru Nabi Saw?
Meniru ucap
dan sikap Nabi, berarti kita menjadikan Nabi tuntunan kita dalam berucap dan
bersikap. Dalam meniru kehidupan Nabi, tidak lantas kita merasa sempurna dalam
menirunya karena kita hanya meniru. Yang namanya meniru, derajat si peniru
pastinya di bawah orang yang ditiru meski tiruan itu hampir sama. Hal apa yang
kita tiru dari Rasulullah yang benar-benar sama dengan apa yang beliau lakukan?
Saya yakin tidak ada. Oleh karenanya, mari kita meniru Nabi bukan malah
menabikan diri dengan merasa sempurna melakukan sunnah Nabi.
Poligami
tidak mengapa asal jangan sampai merasa sudah melakukan apa yang dilakukan Nabi
karena kita hanyalah umatnya yang bisa mengabdi dengan menapaki kehidupannya
sehari-hari. Tidak hanya berpoligami, dalam meniru sunnah Nabi yang
lain, jangan sampai kita merasa telah melakukannya persis seperti yang telah
dilakukan Nabi, sebab itu secara tidak langsung menganggap diri kita seperti
atau selevel dengan Nabi. Meniru Nabi bukan menabikan diri.