Saya termasuk
mahasiswa Al-Azhar yang beruntung lantaran bisa tinggal di asrama plus rutin di’gaji’
setiap bulan. Kamar saya di gedung belakang masjid, lantai enam dan berpapasan
langsung dengan pengeras suara masjid. Sekamar kami bertiga. Saya, dan dua
teman saya lagi yang kebetulan sama dari Jawa Timur. Teman saya yang pertama,
Dana namanya. Dana orang yang ‘serba-serbi’. Ia juga sudah melihat Ka’bah dan
bertitel ‘Haji made in Saudi’, karena ada loh, haji yang bukan buatan Saudi. Dana juga
seorang hafiz Al-Quran dan ahli qiraat.
Satu lagi
teman saya bernama Hanif. Mahasiswa asli lamongan. Dia pernah menjadi direktur
sebuah lembaga keilmuan di kalangan mahasiswa Indonesia di Mesir. Ahli dalam
ilmu Nahwu dan Saraf, serta ilmu Mawaris yang mengupas tentang warisan. Dan saya
sendiri abu-abu, masih bingung dan terus meraba-raba sejatinya saya ini ahli di bidang
apa?
Kelebihan yang
saya miliki paling-paling cuma bikin status. Aha! Iya status di Facebook. Saya
memang gemar bikin status di Facebook, terlepas status yang saya tulis itu
sampah, tak bermanfaat atau malah sebuah nutrisi yang bisa menginspirasi -yang ini jarang banget-, yang
penting saya hobi menulis status. Mungkin keahlian itu yang melekat di diri
saya dan tak sebanding dengan kedua teman saya.
Pernah suatu saat di bus, hendak pulang ke asrama, ada
salah seorang mahasiswa Indonesia yang menghampiri dan memutuskan duduk bersama saya di kursi
belakang sembari menyapa, “Mas Yaqien, ya?” Saya pun manggut-manggut dan
kebingungan lantaran tak tahu dia siapa. Dia pun mengenalkan diri dan mengaku
tahu saya dari status Facebook. 'Wow' banget, bukan? Sebuah keahlian yang sama
sekali tidak pantas dibanggakan.
Tak hanya keahlian itu yang saya punya, kala berbincang
dengan teman se-asrama yang lain, saya sempat menanyakan kepada mereka, “Kalau kedua
teman sekamar saya yang satu ahli ilmu qiraat dan satu lagi mahir di bidang
Nahwu, Saraf, dan Mawaris, terus saya ahli apa ya?” Dengan tanpa dosa
teman saya itu berseloroh, “Kamu ahli kubur, Bro! Kan udah jadi guide
makam-makam para wali dan ulama di Kairo beberapa kali?”
Sontak teman saya yang lain pun cekikikan mendengar
kelakar teman saya yang menjawab kegalauan saya itu. Maksud dari ahli kubur
bukan orang yang meninggal dan dikubur tapi sering ziarah kubur. Benar juga,
kata hati saya. Di Kairo ini setidaknya -saya simpulkan- ada tiga macam ziarah
kubur yang pernah saya jelajahi. Pertama, ziarah makam ahli bait: Imam Husein bin Ali,
Sayyidah Zaenab binti Ali, Sayidah Sukainah binti Husein, Sayidah Nafisah
(keturunan Imam Hasan bin Ali), dan Sayidah Asiyah (keturunan Imam Husein bin
Ali). Yang kedua, ziarah makam ulama: Imam Syafii, Imam Laist, Imam Ibnu Hajar,
Imam Suyuti, Imam Ibnu Athoillah, dll. Yang terakhir, ziarah makam para Grand Shaikh dan ulama
Al-Azhar yang terletak di daerah Asyirah Muhammadiyah: Syekh Abdullah As-
Syarqawi, Syekh Muhammad Abduh, Syekh Abdur Rauf As-Sajini, Syekh Muhammad
Al-Amir, Syekh Abdu Robbuh Sulaiman, Syekh Ismail Shadiq Al-Adawi, dll.
Wah, maaf kok saya malah unjuk gigi dengan keahlian saya
sebagai ahli kubur ya? Tulisan ini tidak penting, tapi bila anda di Mesir dan ingin
berziarah makam di Kairo dengan tiga model ziarah –menurut saya- di atas, saya
siap menemani anda dengan malaikatan –tanpa biaya apapun/gratis-, asal
waktunya telah kita sepakati bersama. Keahlian, kok ahli kubur? Ya, dari pada
ahli nipu dan nyolong uang rakyat. Atau jangan-jangan menipu dan mencuri
lebih baik daripada ziarah kubur? Karena ziarah kubur itu bidah, syirik, dan
neraka. Ah, terserah saja yang penting #akurapopo masuk neraka dengan para ahli bait, wali dan ulama yang saya ziarahi, karena mereka semua juga menziarahi leluhur mereka.