Senin, 24 Maret 2014

Tak Semua Orang Jawa itu 'Jawa'

Maaf, itulah kata yang kiranya layak untuk membuka tulisan saya ini. Maaf, karena saya tidak sedang bermaksud mengangkat tema rasisme atau mengunggulkan suku tertentu dan meremehkan suku yang lain. Tidak, sama sekali tidak begitu. Bila anda masih saja mengira bahwa tulisan saya ini akan menjatuhkan ras/suku lain selain Jawa, lebih baik anda tutup jendela yang menampilkan tulisan saya ini di komputer, laptop, atau ponsel anda dan buka buku anda.

Saya sendiri bukan asli keturunan Jawa. Salah satu anugerah yang Tuhan berikan kepada saya adalah saya terlahir dari dua suku atau etnis yang bercampuran, atau bahasa kerennya blesteran. Ya, ibu saya memang Jawa dan sepertinya masih ada keturunan saudagar Arab yang bermukim di Gresik-Jawa Timur, karena kakek saya dari ibu berhidung mancung dan berbadan tinggi. Tapi sayangnya, ciri berhidung mancung dan berbadan tinggi ini menitis ke adik saya bukan saya. Sedangkan bapak saya asli dari Bangkalan, Pulau Madura.


Kala kecil dulu, ibu saya sering berpesan, “Le, jadi orang itu yang njawani!”. Artinya jadi orang itu yang mengerti dengan lingkungan sekitarmu, bukan acuh dan tak mau tahu. Kata njawani berasal dari kata Jawa. Ada juga istilah orang Jawa, “Kamu itu Jawa banget.” Maksudnya kamu itu dermawan dan pengertian.

Suku Jawa memang terkenal dengan pengertian, kesopanan, kesantunan, ke-kalem-an, kedermawanan, dan kesederhanaan. Salah satu bukti kongkretnya adalah dengan mudah dan cepatnya Islam tersebar di tanah Jawa khususnya dan di seluruh Nusantara umumnya. Orang Jawa berbondong-bondong memeluk Islam yang diprakarsai oleh Wali Songo lantaran melihat kepribadian Wali Songo yang luar biasa, bahkan lebih ‘jawa’ dibandingkan orang Jawa. Karenanya, orang-orang Jawa melihat agama Islam yang lebih ‘jawa’ ini sangat pas dibanding agama lain yang saat itu mendahului Islam.

Dari sifat dan ciri yang saya sampaikan di atas, rupanya sangat jarang kita temukan orang Jawa yang benar-benar ‘jawa’. Sering kali kita temukan orang Jawa yang acuh akan sekitar, tak mahu tahu dengan orang dan alam di sekelilingnya, hanya mementingkan dirinya sendiri, yang penting dia bisa hidup cukup dan menghirup udara setiap hari.

Banyak juga orang Jawa sekarang yang tak sadar sopan santun, tak mengerti tata cara berbahasa dengan orang tua atau orang yang lebih tua. Padahal di Jawa setidaknya ada tiga tingkatan bahasa yang terdiri dari Ngoko (biasa), Krama Lugu (halus),  Krama Alus (sangat halus). Berapa banyak sekarang anak-anak Jawa yang berkomunikasi dengan orang tuanya dengan bahasa Ngoko selayaknya bercakap dengan temannya sendiri.

Kesederhanaan? Itu hanya orang-orang Jawa kolot yang masih mempertahankannya. Sebuah realita mengatakan, berapa banyak orang Jawa yang serakah dan merebut hasil sumber daya alam lain. Orang-orang Jawa yang merantau dan berpindah ke daerah lain, seakan tak punya malu dengan mengeruk segala yang bisa dicapai tanpa peduli dengan masyarakat asli setempat.

Entah berapa prosentase para wakil kita di Senayan antara etnis Jawa dan non Jawa. Memang tak bisa di pungkiri sebuah kalimat yang mengungkapkan, bahwa orang Jawa punya jiwa kepemimpinan tinggi yang menurun dari kerajaan Majapahit, yang merupakan kerajaan amat luar biasa di dunia ini saat masanya. Dan terbukti, hampir seluruh Presiden Indonesia dari tanah Jawa, Sukarno, Suharto, Gus Dur, Megawati, dan Susilo Bambang Yudoyono. Hanya BJ. Habibi yang dari Sulawesi. Saya pun berharap ke depan para pemimpin negeri ini tak hanya dari suku Jawa, karena Indonesia mempunyai beragam dan berbagai suku. Sudah selayaknya merata dan diratakan demi menjaga kecemburuan suku lain. Tapi bila suku lain tak ada dan tetap rela? Apa mau dikata?

Sesuai dengan judul yang saya pilih, tak semua orang Jawa itu ‘jawa’, sepertinya perlu untuk dicamkan oleh orang-orang Jawa atau orang-orang keturunan Jawa saat ini, bahwa orang Jawa memiliki sopan-santun, kalem, pengertian, sadar diri, tak acuh dan bukan tak mahu tahu, dan sederhana.


Bagi orang Jawa yang membaca tulisan saya ini, mari kita kuliti dan telanjangi diri sendiri apakah kita sungguh-sungguh orang Jawa?