Maaf, itulah
kata yang kiranya layak untuk membuka tulisan saya ini. Maaf, karena saya tidak sedang bermaksud mengangkat
tema rasisme atau mengunggulkan suku tertentu dan meremehkan suku yang lain.
Tidak, sama sekali tidak begitu. Bila anda masih saja mengira bahwa tulisan
saya ini akan menjatuhkan ras/suku lain selain Jawa, lebih baik anda tutup jendela yang menampilkan
tulisan saya ini di komputer,
laptop, atau
ponsel anda dan buka buku anda.
Saya sendiri bukan asli keturunan Jawa. Salah satu
anugerah yang Tuhan berikan kepada saya adalah saya terlahir dari dua suku atau
etnis yang bercampuran, atau bahasa kerennya blesteran. Ya, ibu saya
memang Jawa dan sepertinya masih ada keturunan saudagar Arab yang bermukim di
Gresik-Jawa Timur, karena kakek saya dari ibu berhidung mancung dan berbadan
tinggi. Tapi sayangnya, ciri berhidung mancung dan berbadan tinggi ini menitis
ke adik saya bukan saya. Sedangkan bapak saya asli dari Bangkalan, Pulau
Madura.
Kala kecil dulu, ibu saya sering berpesan, “Le, jadi
orang itu yang njawani!”. Artinya jadi orang itu yang mengerti dengan
lingkungan sekitarmu, bukan acuh dan tak mau tahu. Kata njawani berasal
dari kata Jawa. Ada juga istilah orang Jawa, “Kamu itu Jawa banget.” Maksudnya
kamu itu dermawan dan pengertian.
Suku Jawa memang terkenal dengan pengertian, kesopanan,
kesantunan, ke-kalem-an, kedermawanan, dan kesederhanaan. Salah satu bukti
kongkretnya adalah dengan mudah dan cepatnya Islam tersebar di tanah Jawa
khususnya dan di seluruh Nusantara umumnya. Orang Jawa berbondong-bondong
memeluk Islam yang diprakarsai oleh Wali Songo lantaran melihat kepribadian
Wali Songo yang luar biasa, bahkan lebih ‘jawa’ dibandingkan orang Jawa.
Karenanya, orang-orang Jawa melihat agama Islam yang lebih ‘jawa’ ini sangat
pas dibanding agama lain yang saat itu mendahului Islam.
Dari sifat dan ciri yang saya sampaikan di atas, rupanya
sangat jarang kita temukan orang Jawa yang benar-benar ‘jawa’. Sering kali kita
temukan orang Jawa yang acuh akan sekitar, tak mahu tahu dengan orang dan alam
di sekelilingnya, hanya mementingkan dirinya sendiri, yang penting dia bisa
hidup cukup dan menghirup udara setiap hari.
Banyak juga orang Jawa sekarang yang tak sadar sopan
santun, tak mengerti tata cara berbahasa dengan orang tua atau orang yang lebih
tua. Padahal di Jawa setidaknya ada tiga tingkatan bahasa yang terdiri dari
Ngoko (biasa), Krama Lugu (halus), Krama
Alus (sangat halus). Berapa banyak sekarang anak-anak Jawa yang berkomunikasi
dengan orang tuanya dengan bahasa Ngoko selayaknya bercakap dengan temannya
sendiri.
Kesederhanaan? Itu hanya orang-orang Jawa kolot yang
masih mempertahankannya. Sebuah realita mengatakan, berapa banyak orang Jawa
yang serakah dan merebut hasil sumber daya alam lain. Orang-orang Jawa yang
merantau dan berpindah ke daerah lain, seakan tak punya malu dengan mengeruk
segala yang bisa dicapai tanpa peduli dengan masyarakat asli setempat.
Entah berapa prosentase para wakil kita di Senayan antara
etnis Jawa dan non Jawa. Memang tak bisa di pungkiri sebuah kalimat yang
mengungkapkan, bahwa orang Jawa punya jiwa kepemimpinan tinggi yang menurun
dari kerajaan Majapahit, yang merupakan kerajaan amat luar biasa di dunia ini
saat masanya. Dan terbukti, hampir seluruh Presiden Indonesia dari tanah Jawa, Sukarno, Suharto, Gus Dur, Megawati, dan
Susilo Bambang Yudoyono. Hanya BJ. Habibi yang dari Sulawesi. Saya pun berharap
ke depan para pemimpin negeri ini tak hanya dari suku Jawa, karena Indonesia
mempunyai beragam dan berbagai suku. Sudah selayaknya merata dan diratakan demi
menjaga kecemburuan suku lain. Tapi bila suku lain tak ada dan tetap rela? Apa
mau dikata?
Sesuai dengan judul yang saya pilih, tak semua orang Jawa
itu ‘jawa’, sepertinya perlu untuk dicamkan oleh orang-orang Jawa atau
orang-orang keturunan Jawa saat ini, bahwa orang Jawa memiliki sopan-santun,
kalem, pengertian, sadar diri, tak acuh dan bukan tak mahu tahu, dan sederhana.
Bagi orang Jawa yang membaca tulisan saya ini, mari kita
kuliti dan telanjangi diri sendiri apakah kita sungguh-sungguh orang Jawa?