Selasa, 08 April 2014

Golput (bukan) Jalan Keluar yang Benar

Tiga hari yang lalu, 5 April 2014, warga Indonesia di Mesir telah usai melakukan Pemilu DPR RI dan berjalan dengan baik. Saya beruntung bisa hadir dan mencoblos salah satu caleg kala itu. Sebagai warga negara yang baik, kiranya tak  pantas bila acuh dan emoh dengan Pemilu meskipun kita sering merasa risih bin jijik dengan tindakan dan kinerja para wakil rakyat kita.

Pemilu secara tak langsung mengajari kita berbaik sangka kepada sesama manusia. Ya, tentu kita tak boleh mendahulukan dugaan buruk kita kepada para caleg yang telah ‘lolos’ seleksi -sengaja saya tulis dengan kata lolos bukan lulus karena kedua kata memiliki makna yang berbeda- dan wajah mereka nampang di kertas suara. Dari mereka ada yang mampu dan layak dan sebagian dari mereka ada pula yang berbekal janji yang tak disertai nurani dan otak.


Malam sebelum Pemilu kemarin, saya sempat galau dan risau lantaran bingung siapa caleg yang akan saya pilih esok. Apa iya saya tak hadir, atau datang tapi hanya menyelamatkan nasib perut saja dengan kotak nasi berlauk ayam, dan tak mau tahu dengan nasib bangsa yang semakin runyam? Saya mulai berpikir dan memilah-memilih siapa caleg yang bakal saya coblos namanya besok. Dan saat BAPB (Buang Air Padat dan Busuk), saya menemukan jawaban dan kemantaban sosok caleg yang akan saya pilih. Memang ketika BAPB pikiran kita terasa plong dan jernih dalam berpikir. Saya timbang baik-buruknya para caleg, dan banding-bandingkan di antara mereka siapa yang sekiranya pantas dan bisa menjadi jalan keluar untuk Indonesia dan rakyatnya di masa kini.

Dengan mengucapkan Basmalah saya coblos nomer/nama caleg pilihan saya. Dan setelah meninggalkan bilik TPS, saya berdoa, “Tuhan jika yang saya pilih benar-benar jadi pemimpin rakyat dan negeri ini dan dia bersungguh-sungguh dalam bekerja, bantulah dia. Namun bila dia bermain di atas keringat dan rintihan kami, ingatkan dia dengan caramu yang terbaik.”

Dalam doa itu saya tak menyebutkan hukuman tertentu bagi caleg yang saya pilih, karena menurut saya cara Tuhan adalah yang terbaik dan Tuhan lebih tahu soal hambaNya ketimbang hambaNya sendiri. Entah, Tuhan nantinya menunjukkan kemunafikan caleg terpilih itu di masyarakat dengan memecatnya, atau disadarkan di tengah perjalanan yang mulai melenceng dari jalurnya.

Saya tak memilih Golput atau tak hadir ke TPS, karena sejatinya pemilu menelan dana negara yang cukup besar dan para caleg juga berusaha menjual hartanya hingga berhutang untuk kebutuhan kampanyenya, jadi saya merasa kasihan saja kepada negara dan para caleg yang sudah berusaha. Bahasa alaynya saya tak mau PHP (Pemberi Harapan Palsu). Tentunya negara dan para caleg berharap kita menyoblos dan menentukan pilihan, bila kita tak datang dan Golput, berarti kita menyia-nyiakan usaha dan harapan mereka. Ulama Sufi –kalau saya tak salah- mengatakan, “Barang siapa yang menyia-nyiakan harapan saudaranya, maka Allah akan menyia-nyiakan harapannya.” Oleh karenanya saya tak memilih melipat tangan dan Golput.

Golput tak akan memberikan solusi dan jalan keluar yang benar atas nasib bangsa dan masa depan kita, karena Golput sama halnya bertawakal tanpa ikhtiyar. Sedangkan Tuhan mengajarkan kita berikhtiyar dulu baru bertawakal. Ikhtiyarnya memilih dan tawakalnya berdoa, simpel bukan?


Dan apa pula yang bisa kita dapatkan dari Golput? Jika Anda berpikir bahwa Pemilu adalah sesuatu yang sia-sia, maka Anda adalah warga negara Indonesia yang menyiakan sesuatu yang sia-sia. Tidakkah kita manfaatkan dan kita olah ulang sesuatu yang sia-sia itu?