Tiga hari
yang lalu, 5 April 2014, warga Indonesia di Mesir telah usai melakukan Pemilu DPR RI dan
berjalan dengan baik. Saya beruntung bisa hadir dan mencoblos salah satu caleg
kala itu. Sebagai warga negara yang baik, kiranya tak pantas bila acuh dan emoh
dengan Pemilu meskipun kita sering merasa risih bin jijik dengan tindakan dan
kinerja para wakil rakyat kita.
Pemilu secara tak langsung mengajari kita berbaik sangka
kepada sesama manusia. Ya, tentu kita tak boleh mendahulukan dugaan buruk kita kepada
para caleg yang telah ‘lolos’ seleksi -sengaja saya tulis dengan kata lolos
bukan lulus karena kedua kata memiliki makna yang berbeda- dan wajah mereka
nampang di kertas suara. Dari mereka ada yang mampu dan layak dan sebagian dari
mereka ada pula yang berbekal janji yang tak disertai nurani dan otak.
Malam sebelum Pemilu kemarin, saya sempat galau dan risau
lantaran bingung siapa caleg yang akan saya pilih esok. Apa iya saya tak hadir,
atau datang tapi hanya menyelamatkan nasib perut saja dengan kotak nasi berlauk
ayam, dan tak mau tahu dengan nasib bangsa yang semakin runyam? Saya mulai
berpikir dan memilah-memilih siapa caleg yang bakal saya coblos namanya besok. Dan
saat BAPB (Buang Air Padat dan Busuk), saya menemukan jawaban dan kemantaban
sosok caleg yang akan saya pilih. Memang ketika BAPB pikiran kita terasa plong
dan jernih dalam berpikir. Saya timbang baik-buruknya para caleg, dan
banding-bandingkan di antara mereka siapa yang sekiranya pantas dan bisa
menjadi jalan keluar untuk Indonesia dan rakyatnya di masa kini.
Dengan mengucapkan Basmalah saya coblos nomer/nama caleg pilihan
saya. Dan setelah meninggalkan bilik TPS, saya berdoa, “Tuhan jika yang saya
pilih benar-benar jadi pemimpin rakyat dan negeri ini dan dia
bersungguh-sungguh dalam bekerja, bantulah dia. Namun bila dia bermain di atas
keringat dan rintihan kami, ingatkan dia dengan caramu yang terbaik.”
Dalam doa itu saya tak menyebutkan hukuman tertentu bagi
caleg yang saya pilih, karena menurut saya cara Tuhan adalah yang terbaik dan
Tuhan lebih tahu soal hambaNya ketimbang hambaNya sendiri. Entah, Tuhan
nantinya menunjukkan kemunafikan caleg terpilih itu di masyarakat dengan
memecatnya, atau disadarkan di tengah perjalanan yang mulai melenceng dari
jalurnya.
Saya tak memilih Golput atau tak hadir ke TPS, karena
sejatinya pemilu menelan dana negara yang cukup besar dan para caleg juga
berusaha menjual hartanya hingga berhutang untuk kebutuhan kampanyenya, jadi
saya merasa kasihan saja kepada negara dan para caleg yang sudah berusaha. Bahasa
alaynya saya tak mau PHP (Pemberi Harapan Palsu). Tentunya negara dan
para caleg berharap kita menyoblos dan menentukan pilihan, bila kita tak datang
dan Golput, berarti kita menyia-nyiakan usaha dan harapan mereka. Ulama Sufi –kalau
saya tak salah- mengatakan, “Barang siapa yang menyia-nyiakan harapan
saudaranya, maka Allah akan menyia-nyiakan harapannya.” Oleh karenanya saya tak
memilih melipat tangan dan Golput.
Golput tak akan memberikan solusi dan jalan keluar yang
benar atas nasib bangsa dan masa depan kita, karena Golput sama halnya
bertawakal tanpa ikhtiyar. Sedangkan Tuhan mengajarkan kita berikhtiyar dulu
baru bertawakal. Ikhtiyarnya memilih dan tawakalnya berdoa, simpel bukan?
Dan apa pula yang bisa kita dapatkan dari Golput? Jika
Anda berpikir bahwa Pemilu adalah sesuatu yang sia-sia, maka Anda adalah warga
negara Indonesia yang menyiakan sesuatu yang sia-sia. Tidakkah kita manfaatkan
dan kita olah ulang sesuatu yang sia-sia itu?