Rabu, 25 Juni 2014

Kucing Beranak Singa

Beberapa minggu ini banyak dari kita yang tersentak dengan berita anak seorang tukang becak yang lulus dan menjadi wisudawan terbaik dengan nilai IPK 3,96. Ia pun diundang bertemu Presiden SBY dan dijanjikan beasiswa studi di Inggris. Sesuatu yang sangat fantastis dan luar biasa. Namun menurut saya bukan dia yang hebat tapi orang tuanyalah yang super.
Orang tua haruslah demikian, bisa menjadi motivasi seorang anak dan terus memacu semangat anak dalam keadaan apapun. Selalu meyakinkan anaknya bahwa meskipun ia anak seorang tukang becak/tukang bakso/orang biasa-biasa saja tapi harus bercita-cita tinggi dan mampu meraihnya.

Jujur, usai membaca berita itu saya teringat bapak saya. Bapak saya tak pernah mengenyam bangku sekolah sama sekali dan tak juga pendidikan pesantren. Semenjak saya kecil beliau selalu mengatakan kepada saya, "Anak bapak harus bisa sekolah di sekolah yang terbaik, harus bisa ngaji/nyantri, dan kalau bisa kuliah di luar negeri." Dan alhamdulillah, dua minggu lalu saya merampungkan ujian semester akhir saya untuk strata S1 di Universitas Al-Azhar.

Saya memang cepat berubah menjadi melankolis jika rekaman tentang orang tua saya tiba-tiba muncul. Dan berita anak seorang tukang becak yang menjadi lulusan nomer wahid itu bagi saya cukup menggedor nurani dan semangat juang para orang tua ini. Dalam hal ini kiranya peribahasa "Buah tak jatuh terlalu jauh dari pohonnya", harus dienyahkan dan tak berlaku.

Saya bangga punya bapak yang dulunya belajar membaca dan berhitung dari anak-anak sekolah yang menumpang di pedati/cikar yang ia pekerjakan semenjak masa kanak-kanak, tapi bisa memompa cita-cita saya setinggi mungkin. Sewaktu anak-anak seusianya pergi sekolah, bapak saya harus kerja mengangkut segala macam barang dengan gerobak sapinya. Setiap pagi dan siang, selalu ada segerombolan anak-anak sekolah yang numpang di cikar bapak. Mereka pun merasa tak enak setiap hari numpang tanpa imbalan. Akhirnya bapak saya tak mau menerima uang dari mereka tapi meminta untuk diajari membaca dan menghitung.

Mulanya bapak meminta mereka untuk menuliskan nama bapak di gerobaknya. Lalu nama ayah dan ibunya (kakek-nenek saya) hingga akhirnya bapak bisa baca-tulis dan menghitung. Selepas bekerja dan di malam hari, bapak mengulang dan menghafal ‘pelajaran’ yang didapat dari anak-anak sebayanya.

Saat di sekolah baik SD, SMP, SMA dan disuruh mencantumkan data pendidikan terakhir orang tua, saya selalu minder karena bapak saya tak pernah sekolah dan saya mau tak mau mengisinya dengan satu tanda (-), sedangkan kawan-kawan saya menulis di kolom itu dengan huruf besar “SMA” atau “S1”. Meskipun seperti itu adanya, kini bapak saya sedang menunggu pengumuman kelulusan anaknya di jenjang pendidikan S1. Semoga mimpi bapak saya terwujud tahun ini. Amin.

Spontan benak saya mengucap semacam peribahasa atau kata mutiara, "Jika seorang bapak hanya bisa mengeong, maka anaknya harus sanggup mengaung."