Beberapa minggu ini banyak dari kita
yang tersentak dengan berita anak seorang tukang becak yang lulus dan menjadi
wisudawan terbaik dengan nilai IPK 3,96. Ia pun diundang bertemu Presiden SBY
dan dijanjikan beasiswa studi di Inggris. Sesuatu yang sangat fantastis dan
luar biasa. Namun menurut saya bukan dia yang hebat tapi orang tuanyalah yang
super.
Orang tua haruslah demikian, bisa
menjadi motivasi seorang anak dan terus memacu semangat anak dalam keadaan
apapun. Selalu meyakinkan anaknya bahwa meskipun ia anak seorang tukang
becak/tukang bakso/orang biasa-biasa saja tapi harus bercita-cita tinggi dan
mampu meraihnya.
Jujur, usai membaca berita itu saya teringat
bapak saya. Bapak saya tak pernah mengenyam bangku sekolah sama sekali dan tak juga
pendidikan pesantren. Semenjak saya kecil beliau selalu mengatakan kepada saya,
"Anak bapak harus bisa sekolah di sekolah yang terbaik, harus bisa
ngaji/nyantri, dan kalau bisa kuliah di luar negeri." Dan
alhamdulillah, dua minggu lalu saya merampungkan ujian semester akhir saya
untuk strata S1 di Universitas Al-Azhar.
Saya memang cepat berubah menjadi
melankolis jika rekaman tentang orang tua saya tiba-tiba muncul. Dan berita
anak seorang tukang becak yang menjadi lulusan nomer wahid itu bagi saya cukup
menggedor nurani dan semangat juang para orang tua ini. Dalam hal ini kiranya
peribahasa "Buah tak jatuh terlalu jauh dari pohonnya", harus
dienyahkan dan tak berlaku.
Saya bangga punya bapak yang dulunya belajar
membaca dan berhitung dari anak-anak sekolah yang menumpang di pedati/cikar
yang ia pekerjakan semenjak masa kanak-kanak, tapi bisa memompa cita-cita saya
setinggi mungkin. Sewaktu anak-anak seusianya pergi sekolah, bapak saya harus kerja
mengangkut segala macam barang dengan gerobak sapinya. Setiap pagi dan siang,
selalu ada segerombolan anak-anak sekolah yang numpang di cikar bapak. Mereka pun
merasa tak enak setiap hari
numpang tanpa imbalan. Akhirnya bapak saya tak mau menerima uang dari mereka
tapi meminta untuk diajari membaca dan menghitung.
Mulanya bapak meminta mereka untuk menuliskan nama bapak di gerobaknya. Lalu
nama ayah dan ibunya (kakek-nenek saya) hingga akhirnya bapak bisa baca-tulis dan menghitung. Selepas bekerja dan di malam hari,
bapak mengulang dan menghafal ‘pelajaran’ yang didapat dari anak-anak
sebayanya.
Saat di sekolah baik SD, SMP, SMA dan disuruh mencantumkan data pendidikan
terakhir orang tua, saya selalu minder karena bapak saya tak pernah sekolah dan
saya mau tak mau mengisinya dengan satu tanda (-), sedangkan kawan-kawan saya
menulis di kolom itu dengan huruf besar “SMA” atau “S1”. Meskipun seperti itu adanya, kini bapak saya sedang menunggu
pengumuman kelulusan anaknya di jenjang pendidikan S1. Semoga mimpi bapak saya
terwujud tahun ini. Amin.
Spontan benak saya mengucap semacam
peribahasa atau kata mutiara, "Jika seorang bapak hanya bisa mengeong,
maka anaknya harus sanggup mengaung."