Kamis, 20 Maret 2014

Ngaji Dulu, Baru Terkenal

Beberapa hari lalu saya mendengarkan ceramah Gus Mus pada acara 1000 hari wafatnya Gus Dur. Salah satu hikmah yang disampaikan oleh Gus Mus saat itu kurang lebih, "Jangan terkenal dulu, baru ngaji. Tapi ngaji dulu baru terkenal. Karena kalau sudah terkenal, gak akan sempat ngaji. Akhirnya menjadi ustaz gak jelas."

Ingatan saya langsung menangkap salah satu pesan Syekh Yusri Rusydi kala pembukaan pengajian tasawuf kitab Manajilu As-Sairin, dalam mukadimah beliau mengingatkan kami untuk tidak terburu-buru masyhur di masyarakat, sebab bila sudah terkenal dan dibutuhkan orang banyak, kita lupa akan waktu untuk kita sendiri, dan kita tak punya momen untuk berduaan dengan Tuhan.

Melihat fenomena di Indonesia saat ini, rupanya nasehat kedua ulama di atas sangat cocok bagi para santri dan pencari ilmu seperti saya. Karena seseorang yang menjadi ustaz harus melalui berbagai macam tahap dalam mencari ilmu, khususnya berguru pada seorang ustaz, kyai, atau syekh. Imam Juwaini, guru Imam Ghazali, mengatagorikan seorang guru sebagai salah satu dari 6 syarat seseorang mendapatkan ilmu.

Namun kiranya apa yang disampaikan oleh Imam Juwaini itu tak dipersoalkan oleh sebagaian ustaz sekarang, hanya bermodal membaca buku -terjemahan pula- dan internet, mereka berani menginjakkan kaki di mimbar warisan Rasulullah. Akhirnya ucap mereka tak semanis sikap mereka.

Saya teringat perkataan bapak kala saya masih berumur jagung. Dulu memang bapak aktif di dewan pengurus masjid dekat rumah. Bapak tertipu oleh sebagian ustaz muda yang memiliki jadwal khutbah Jumat di masjid. “Nak, jangan sampai kamu jadi ustaz yang pintar berbicara tapi gak bisa ngaji. Banyak sekarang ustaz muda yang lihai ceramah dengan intonasi tinggi dan rendah, tapi gak bisa baca Al-Quran.”

Model ustaz yang seperti ini, Imam Khatib Al-Baghdadi menyebutnya sebagai Ustaz Shahafi, yaitu seorang ustaz yang tak pernah mengaji atau berguru kepada syekh atau kyai, dan hanya bermodal membaca dan membaca. Tentu, ustaz shahafi dewasa ini amat menjamur dan menjadi sebuah profesi yang gambang menghasilkan uang.

Kalau kita melihat zaman dulu bagaimana para Sahabat berlomba-lomba duduk di majelis Rasulullah, para tabiin mendatangi para Sahabat untuk mengkaji intisari al-quran dan menghafal hadis. Kemudian pengikut tabiin juga melakukan apa yang telah dilakukan tabiin. Dan kegiatan seperti ini terus berjalan hingga saat ini, dan sudah menjadi sebuah kelaziman bagi para pencari ilmu yang nantinya meneruskan perjuangan para gurunya.

Kemarin malam, saya sempat berbincang dengan salah seorang teman tentang tema ini. Kami pun berkesimpulan, nanti kalau kami kembali ke Indonesia dan dipercaya oleh Allah mengemban amanat dakwah, kami tetap harus membatasi waktu kami. Karena apa yang kami punya masih belum apa-apa dan perlu ada tambahan asupan ilmu, mengaji dan berguru kepada kyai atau ustaz lain.

Teman saya mengatakan, “Ibaratnya kita ini air dalam gelas, kalau terus-terusan diminum orang dan gak diisi ulang, ya keburu habis. Ilmu tak mengenal kata akhir.”

Semoga kita termasuk orang yang selalu dahaga akan ilmu dan tidak narsis ingin dikenal melalui ilmu.