Sudah menjadi
kelumrahan bilamana Rasulullah hendak bepergian, mengundi nama istri-istrinya. Nama
siapakah yang keluar, dialah yang berhak mendampingi Rasulullah. Suatu ketika,
Rasulullah hendak pergi berperang dan diundilah nama para istrinya. Dan ternyata
namaku yang keluar, Aisyah binti Abi Bakar. Sontak wajahku merona gembira
mendengar namaku tersebut, sungguh sebuah kehormatan bagiku bisa menemani
beliau berjihad di jalan Allah. Peperangan dengan Bani Musthaliq
itu selepas ayat Hijab turun. Aku pun dinaikkan di atas unta yang memanggul haudah –semacam tenda kecil
sebagai penutup-.
Setelah peperangan
rampung, Rasulullah memutuskan untuk kembali ke Madinah. Tatkala bau Madinah
sudah tercium, Rasulullah memerintah rombongan untuk
berhenti di suatu tempat sejenak, agar kami serombongan bisa melepas lelah malam
itu.
Lantaran aku
menginginkan sesuatu, aku pun keluar dari tenda kecilku dan menunaikan
keperluanku hingga tak kukira langkahku semakin
menjauh dari rombongan. Saat hendak kembali ke rombongan, tiba-tiba aku
terkesiap meraba kalung pemberian Rasulullah dari kota Zifar-Yaman putus. Kuputuskan
mencari potongan kalungku. Dalam gegapnya malam, amat susah menemukan potongan
sebuah kalung. Tapi itu kalung pemberian Rasulullah. Tak boleh kuenyahkan
begitu saja.
Kutemukan
potongan kalung itu saat rombongan telah pergi meneruskan perjalanan pulang. Orang-orang
yang membawa ontaku mungkin mengira aku berada dalam haudah itu. Aku wanita
muda yang ringan. Lantaran itulah, mereka begitu saja menuntun unta yang aku
tunggangi melelah rombongan terdepan. Mereka tak sadar bahwa onta yang mereka giring hanya sebuah haudah
kosong tak berhuni. Memang, para wanita kala itu berbadan lunak dan tak
berlemak.
Dengan penuh
harap mereka sadar dan merasa akan kehilangan aku, aku duduk di tempatku semula
sewaktu beristirahat bersama rombongan. Entah mengapa, mendadak rasa kantuk begitu
akrab menyapaku. Aku pun pulas tertidur.
Dalam kenyenyakanku, Shafwan bin Al-Muathal As-Sulamy menyeruak, ia memang
bertugas sebagai pengawal akhir rombongan. Bila ada barang rombongan yang tertinggal,
dialah yang menyelamatkan barang itu hingga sampai ke Madinah.
Shafwan menghampiriku.
Ia memang mengenaliku dan pernah melihatku sebelum ayat hijab turun. Saat ia
tahu akulah yang bersimpuh dalam sengatan kantuk, ia pun berucap inna lillah
wa inna ilaih rajiun, aku terkejut dengan ‘kalimat musibah’ yang ia
lengkingkan. Seketika kututup wajahku dengan hijab. Demi Allah, tak ada satu huruf pun yang keluar dari mulutnya
kecuali kalimat istirja’ itu. Mulutku juga tak mengeluarkan kalimat
apapun barang sekata. Ia rundukkan hewan tunggagannya hingga aku bisa menaiki
hewan tunggangan itu.
Kami teruskan perjalanan menyusul rombongan, Shafwan
berjalan menuntun tunggangannya hingga sampailah kami di sungai Az-Zahirah,
tempat singgah rombongan di tengah panasnya siang. Dan celakalah orang yang
celaka. Sebagian orang menebarkan fitnah kebohongan dengan menuduhku ini dan
itu. Dan yang paling getol menyebarkan berita palsu itu, Abdullah bin Ubay bin
Salul. Selain Abdullah bin Salul, turut berperan juga Hassan bin Tsabit,
Misthah bin Utsasah, Hamnah binti Jahs dan orang-orang lain yang tak kutahu
namanya satu persatu yang jumlahnya sekitar 10 sampai 40, sesuai yang
difirmankan oleh Tuhanku dengan kata Ushbah.
* * *
Sesampai di Madinah, aku menderita dan merasa tak nyaman
selama satu bulan. Sungguh, aku tak tahu-menahu fitnah kebohongan dan berita
palsu itu telah memenuhi telinga masyarakat Madinah selama itu. Hingga kecurigaanku
muncul tatkala kelembutan Rasulullah mulai menipis di saat aku melawan demam
dan sakitku. Biasanya Rasulullah begitu memanjakanku dalam keadaan sakit. Namun
beliau sedikit berubah. Beliau hanya menyapaku dengan bertanya tentang
keadaanku, kemudian berlalu.
Suatu malam, aku keluar bersama ibu Misthah bin Utsasah
membuang hajat. Sewaktu keperluan kami tuntas dan hendak kembali ke rumah, ibu
Misthah tersandung sembari mencela anaknya sendiri. “Sungguh buruk kata-katamu.
Apakah kau mencela seseorang yang pernah berjuang di peperangan Badar?” kataku padanya.
“Wahai putriku, tidakkah kau mendengar apa yang ia
katakan?” ia malah bertanya kepadaku.
“Apa yang telah ia katakan?”
Ibu Misthah menceritakan tuduhan keji tentangku yang
didengungkan oleh sebagian orang. Sakitku makin menjadi-jadi. Dan sesampainya
di rumah, aku meminta izin Rasulullah agar menetap sementara di rumah orang
tuaku, guna memastikan tuduhan keji itu dari pihak orang tuaku. Rasulullah mempersilahkan.
Lalu aku bertanya kepada ibuku, “Ibu, apa yang menjadi
gunjingan orang-orang?”
Ibuku menenangkanku agar tidak risau dan gelisah akan
tuduhan itu. Mendadak mataku mendung, menderaskan air dan membanjiri pipiku
sepanjang malam hingga pagi menjelang.
Rasulullah meminta pendapat Ali bin Abi Thalib dan Usamah
bin Zaid perihal ini, sebelum wahyu turun. Zaid berpendapat, “Pertahankan
keluarga tuan. Kami hanya tahu satu kata dari keluarga tuan, yaitu kebaikan.”
“Wahai Rasulullah, Allah tidak menjadikan tuan bersedih
dalam perkara ini. Sesungguhnya wanita masih banyak. Tanyalah kepada seorang
wanita yang bisa meyakinkan tuan.” Begitulah jawaban Ali.
Rasulullah bertanya kepada Barirah tentangku, apakah ada
sesuatu yang meragukan dari diriku? Barirah memantapkan hati Rasulullah dengan
menegaskan bahwa tak ada sesuatu yang meragukan dari diriku. Aku hanyalah
seorang wanita yang masih muda yang pernah tidur bersama adonan makanan, lalu
memakan adonan itu. Demikian Barirah menceritakan tentang diriku di hadapan
Rasulullah.
* * *
Sepanjang hari itu air mataku berlinang dan tidurku
sangat jauh dari rasa tenang. Hingga kedua orang tuaku berada di sisiku, aku
tetap saja menangis. Dua malam satu hari, air mataku bercucuran dan tidurku tak
karuan. Salah seorang perempuan Anshar meminta izin untuk menemaniku. Ia pun
turut meratapi kesedihanku.
Rasulullah datang ke rumah orang tuaku. Beliau belum
pernah duduk di sampingku selama tuduhan keji itu tersiar. Rasulullah bersabda,
“Wahai Aisyah, aku telah mendengar berita tentang dirimu. Jika kau tidak
bersalah, Allah akan mensucikanmu. Dan jika kau melakukan dosa, memohon
ampunlah dan bertaubatlah kepada Allah. Karena seorang hamba bila mengakui kesalahannya
dan mau bertaubat, Allah akan menerima taubatnya.”
Setelah Rasulullah selesai menyampaikan kalimat itu, kuhapus
air mataku hingga tak tampak setetes pun. Aku meminta ayah dan ibuku agar
membelaku di hadapan Rasulullah. Tapi keduanya tak kuasa berkata-kata.
Dengan sesenggukan aku berkata kepada mereka, “Aku
hanyalah wanita yang masih belia, dan memang aku belum banyak membaca Al-Quran.
Demi Allah, sungguh aku telah mengetahui apa yang kalian dengar dari
perbincangan orang-orang hingga kalian masukkan berita itu ke dalam hati kalian
dan kalian percayai. Seandainya saja aku mengatakan bahwa aku bersih dari
tuduhan keji itu, kalian tak akan mengaminiku. Dan jika aku mengakui tuduhan
keji itu –meskipun Allah tahu bahwa aku terbebas dari tuduhan itu-, niscaya
kalian akan mempercayaiku. Demi Allah aku tak menemukan perumpamaan antara aku
dan kalian selain seperti ayahnya Nabi Yusuf –Nabi Ya’kub- saat ia berkata: Bersabarlah
dengan kesabaran yang baik. Hanya Allah tempat meminta pertolongan atas apa
yang kamu ceritakan.”
Usai kuutarakan kegundahanku, tempat tidurkulah menjadi
penenangku. Sungguh Allah mengetahui aku benar-benar bersih dari berita miring
itu dan Allah yang akan membebaskanku. Jujur aku tak mengira Allah menurunkan
wahyu dalam membebaskanku dari tuduhan itu. Rasanya tak pantas bila wahyu turun
lalu dibaca semua orang hanya menyoal tentang masalah pribadiku. Aku ini siapa
hingga Allah membicarakan masalahku. Aku hanya mengharap Rasulullah mendapatkan
wahyu melewati mimpi tentang pembebasanku dari fitnah itu.
Dan demi Allah, Rasulullah enggan beranjak dari tempat
itu dan tak satu pun dari keluarganya –keluargaku- berminat melangkahkan kaki,
hingga wahyu turun kepada Rasulullah. Seketika keringat beliau bercucuran bak
butiran mutiara, padahal kala itu musim dingin. Lalu wajah beliau berseri dan
beliau tersenyum.
“Wahai Aisyah,
sungguh Allah telah membersihkan dan membebaskanmu dari tuduhan itu.” Itulah
kalimat pertama yang kudengar dari suamiku.
Spontan, ibuku menyuruhku bangkit dan menemui Rasulullah.
“Demi Allah, aku tak akan bangkit kepada beliau, dan tak
akan memuji kepada siapapun selain Allah.” jawabku.
Ya, akulah istri Nabi yang tertuduh. Dan Allah
membebaskanku dari tuduhan itu dengan firman-Nya yang membuat air mataku teduh.
Dengan menyebut nama Allah Yang Maha Pemurah lagi
Maha Penyayang
“Sesungguhnya orang-orang yang membawa
berita bohong itu adalah dari golongan kamu juga. Janganlah kamu kira bahwa
berita bohong itu buruk bagi kamu bahkan ia adalah baik bagi kamu. Tiap-tiap
seseorang dari mereka mendapat balasan dari dosa yang dikerjakannya. Dan siapa
di antara mereka yang mengambil bahagian yang terbesar dalam penyiaran berita
bohong itu baginya azab yang besar.” (11) “Mengapa di waktu
kamu mendengar berita bohong itu orang-orang mu'minin dan mu'minat tidak
bersangka baik terhadap diri mereka sendiri, dan (mengapa tidak) berkata:
"Ini adalah suatu berita bohong yang nyata." (12) “Mengapa
mereka (yang menuduh itu) tidak mendatangkan empat orang saksi atas berita
bohong itu? Oleh karena mereka tidak mendatangkan saksi-saksi maka mereka
itulah pada sisi Allah orang-orang yang dusta.” (13) “Sekiranya tidak
ada kurnia Allah dan rahmat-Nya kepada kamu semua di dunia dan di akhirat,
niscaya kamu ditimpa azab yang besar, karena pembicaraan kamu tentang berita
bohong itu. (14) “(Ingatlah) di waktu kamu menerima berita bohong itu
dari mulut ke mulut dan kamu katakan dengan mulutmu apa yang tidak kamu ketahui
sedikit juga, dan kamu menganggapnya suatu yang ringan saja. Padahal dia pada
sisi Allah adalah besar.” (15) “Dan mengapa kamu tidak berkata, di waktu
mendengar berita bohong itu: "Sekali-kali tidaklah pantas bagi kita
memperkatakan ini. Maha Suci Engkau (Ya Tuhan kami), ini adalah dusta yang
besar." (16) Allah memperingatkan kamu agar (jangan) kembali
memperbuat yang seperti itu selama-lamanya, jika kamu orang-orang yang beriman.”
(17) “Dan Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepada kamu. Dan Allah Maha
Mengetahui lagi Maha Bijaksana.” (18) “Sesungguhnya orang-orang yang
ingin agar (berita) perbuatan yang amat keji itu tersiar di kalangan
orang-orang yang beriman, bagi mereka azab yang pedih di dunia dan di akhirat.
Dan Allah mengetahui, sedang, kamu tidak mengetahui.” (19) “Dan
sekiranya tidaklah karena kurnia Allah dan rahmat-Nya kepada kamu semua, dan
Allah Maha Penyantun dan Maha Penyayang, (niscaya kamu akan ditimpa azab yang
besar).” (20) [QS: An-Nur]
Disarikan dari kitab Sahih Bukhari