Selasa, 28 Januari 2014

Aku, Istri Nabi yang Tertuduh

Sudah menjadi kelumrahan bilamana Rasulullah hendak bepergian, mengundi nama istri-istrinya. Nama siapakah yang keluar, dialah yang berhak mendampingi Rasulullah. Suatu ketika, Rasulullah hendak pergi berperang dan diundilah nama para istrinya. Dan ternyata namaku yang keluar, Aisyah binti Abi Bakar. Sontak wajahku merona gembira mendengar namaku tersebut, sungguh sebuah kehormatan bagiku bisa menemani beliau berjihad di jalan Allah. Peperangan dengan Bani Musthaliq itu selepas ayat Hijab turun. Aku pun dinaikkan di atas unta yang memanggul haudah –semacam tenda kecil sebagai penutup-.
Setelah peperangan rampung, Rasulullah memutuskan untuk kembali ke Madinah. Tatkala bau Madinah sudah tercium, Rasulullah memerintah rombongan untuk berhenti di suatu tempat sejenak, agar kami serombongan bisa melepas lelah malam itu.

Lantaran aku menginginkan sesuatu, aku pun keluar dari tenda kecilku dan menunaikan keperluanku hingga tak kukira langkahku semakin menjauh dari rombongan. Saat hendak kembali ke rombongan, tiba-tiba aku terkesiap meraba kalung pemberian Rasulullah dari kota Zifar-Yaman putus. Kuputuskan mencari potongan kalungku. Dalam gegapnya malam, amat susah menemukan potongan sebuah kalung. Tapi itu kalung pemberian Rasulullah. Tak boleh kuenyahkan begitu saja.

Kutemukan potongan kalung itu saat rombongan telah pergi meneruskan perjalanan pulang. Orang-orang yang membawa ontaku mungkin mengira aku berada dalam haudah itu. Aku wanita muda yang ringan. Lantaran itulah, mereka begitu saja menuntun unta yang aku tunggangi melelah rombongan terdepan. Mereka tak sadar bahwa onta yang mereka giring hanya sebuah haudah kosong tak berhuni. Memang, para wanita kala itu berbadan lunak dan tak berlemak.

Dengan penuh harap mereka sadar dan merasa akan kehilangan aku, aku duduk di tempatku semula sewaktu beristirahat bersama rombongan. Entah mengapa, mendadak rasa kantuk begitu akrab menyapaku.  Aku pun pulas tertidur. Dalam kenyenyakanku, Shafwan bin Al-Muathal As-Sulamy menyeruak, ia memang bertugas sebagai pengawal akhir rombongan. Bila ada barang rombongan yang tertinggal, dialah yang menyelamatkan barang itu hingga sampai ke Madinah.

Shafwan menghampiriku. Ia memang mengenaliku dan pernah melihatku sebelum ayat hijab turun. Saat ia tahu akulah yang bersimpuh dalam sengatan kantuk, ia pun berucap inna lillah wa inna ilaih rajiun, aku terkejut dengan ‘kalimat musibah’ yang ia lengkingkan. Seketika kututup wajahku dengan hijab. Demi Allah, tak ada satu huruf pun yang keluar dari mulutnya kecuali kalimat istirja’ itu. Mulutku juga tak mengeluarkan kalimat apapun barang sekata. Ia rundukkan hewan tunggagannya hingga aku bisa menaiki hewan tunggangan itu.

Kami teruskan perjalanan menyusul rombongan, Shafwan berjalan menuntun tunggangannya hingga sampailah kami di sungai Az-Zahirah, tempat singgah rombongan di tengah panasnya siang. Dan celakalah orang yang celaka. Sebagian orang menebarkan fitnah kebohongan dengan menuduhku ini dan itu. Dan yang paling getol menyebarkan berita palsu itu, Abdullah bin Ubay bin Salul. Selain Abdullah bin Salul, turut berperan juga Hassan bin Tsabit, Misthah bin Utsasah, Hamnah binti Jahs dan orang-orang lain yang tak kutahu namanya satu persatu yang jumlahnya sekitar 10 sampai 40, sesuai yang difirmankan oleh Tuhanku dengan kata Ushbah.

*  * *

Sesampai di Madinah, aku menderita dan merasa tak nyaman selama satu bulan. Sungguh, aku tak tahu-menahu fitnah kebohongan dan berita palsu itu telah memenuhi telinga masyarakat Madinah selama itu. Hingga kecurigaanku muncul tatkala kelembutan Rasulullah mulai menipis di saat aku melawan demam dan sakitku. Biasanya Rasulullah begitu memanjakanku dalam keadaan sakit. Namun beliau sedikit berubah. Beliau hanya menyapaku dengan bertanya tentang keadaanku, kemudian berlalu.

Suatu malam, aku keluar bersama ibu Misthah bin Utsasah membuang hajat. Sewaktu keperluan kami tuntas dan hendak kembali ke rumah, ibu Misthah tersandung sembari mencela anaknya sendiri. “Sungguh buruk kata-katamu. Apakah kau mencela seseorang yang pernah berjuang di peperangan Badar?” kataku padanya.

“Wahai putriku, tidakkah kau mendengar apa yang ia katakan?” ia malah bertanya kepadaku.

“Apa yang telah ia katakan?”

Ibu Misthah menceritakan tuduhan keji tentangku yang didengungkan oleh sebagian orang. Sakitku makin menjadi-jadi. Dan sesampainya di rumah, aku meminta izin Rasulullah agar menetap sementara di rumah orang tuaku, guna memastikan tuduhan keji itu dari pihak orang tuaku. Rasulullah mempersilahkan.

Lalu aku bertanya kepada ibuku, “Ibu, apa yang menjadi gunjingan orang-orang?”

Ibuku menenangkanku agar tidak risau dan gelisah akan tuduhan itu. Mendadak mataku mendung, menderaskan air dan membanjiri pipiku sepanjang malam hingga pagi menjelang.
Rasulullah meminta pendapat Ali bin Abi Thalib dan Usamah bin Zaid perihal ini, sebelum wahyu turun. Zaid berpendapat, “Pertahankan keluarga tuan. Kami hanya tahu satu kata dari keluarga tuan, yaitu kebaikan.”

“Wahai Rasulullah, Allah tidak menjadikan tuan bersedih dalam perkara ini. Sesungguhnya wanita masih banyak. Tanyalah kepada seorang wanita yang bisa meyakinkan tuan.” Begitulah jawaban Ali.

Rasulullah bertanya kepada Barirah tentangku, apakah ada sesuatu yang meragukan dari diriku? Barirah memantapkan hati Rasulullah dengan menegaskan bahwa tak ada sesuatu yang meragukan dari diriku. Aku hanyalah seorang wanita yang masih muda yang pernah tidur bersama adonan makanan, lalu memakan adonan itu. Demikian Barirah menceritakan tentang diriku di hadapan Rasulullah.

* * *

Sepanjang hari itu air mataku berlinang dan tidurku sangat jauh dari rasa tenang. Hingga kedua orang tuaku berada di sisiku, aku tetap saja menangis. Dua malam satu hari, air mataku bercucuran dan tidurku tak karuan. Salah seorang perempuan Anshar meminta izin untuk menemaniku. Ia pun turut meratapi kesedihanku.

Rasulullah datang ke rumah orang tuaku. Beliau belum pernah duduk di sampingku selama tuduhan keji itu tersiar. Rasulullah bersabda, “Wahai Aisyah, aku telah mendengar berita tentang dirimu. Jika kau tidak bersalah, Allah akan mensucikanmu. Dan jika kau melakukan dosa, memohon ampunlah dan bertaubatlah kepada Allah. Karena seorang hamba bila mengakui kesalahannya dan mau bertaubat, Allah akan menerima taubatnya.”

Setelah Rasulullah selesai menyampaikan kalimat itu, kuhapus air mataku hingga tak tampak setetes pun. Aku meminta ayah dan ibuku agar membelaku di hadapan Rasulullah. Tapi keduanya tak kuasa berkata-kata.

Dengan sesenggukan aku berkata kepada mereka, “Aku hanyalah wanita yang masih belia, dan memang aku belum banyak membaca Al-Quran. Demi Allah, sungguh aku telah mengetahui apa yang kalian dengar dari perbincangan orang-orang hingga kalian masukkan berita itu ke dalam hati kalian dan kalian percayai. Seandainya saja aku mengatakan bahwa aku bersih dari tuduhan keji itu, kalian tak akan mengaminiku. Dan jika aku mengakui tuduhan keji itu –meskipun Allah tahu bahwa aku terbebas dari tuduhan itu-, niscaya kalian akan mempercayaiku. Demi Allah aku tak menemukan perumpamaan antara aku dan kalian selain seperti ayahnya Nabi Yusuf –Nabi Ya’kub- saat ia berkata: Bersabarlah dengan kesabaran yang baik. Hanya Allah tempat meminta pertolongan atas apa yang kamu ceritakan.”

Usai kuutarakan kegundahanku, tempat tidurkulah menjadi penenangku. Sungguh Allah mengetahui aku benar-benar bersih dari berita miring itu dan Allah yang akan membebaskanku. Jujur aku tak mengira Allah menurunkan wahyu dalam membebaskanku dari tuduhan itu. Rasanya tak pantas bila wahyu turun lalu dibaca semua orang hanya menyoal tentang masalah pribadiku. Aku ini siapa hingga Allah membicarakan masalahku. Aku hanya mengharap Rasulullah mendapatkan wahyu melewati mimpi tentang pembebasanku dari fitnah itu.

Dan demi Allah, Rasulullah enggan beranjak dari tempat itu dan tak satu pun dari keluarganya –keluargaku- berminat melangkahkan kaki, hingga wahyu turun kepada Rasulullah. Seketika keringat beliau bercucuran bak butiran mutiara, padahal kala itu musim dingin. Lalu wajah beliau berseri dan beliau tersenyum.

“Wahai Aisyah,  sungguh Allah telah membersihkan dan membebaskanmu dari tuduhan itu.” Itulah kalimat pertama yang kudengar dari suamiku.

Spontan, ibuku menyuruhku bangkit dan menemui Rasulullah.

“Demi Allah, aku tak akan bangkit kepada beliau, dan tak akan memuji kepada siapapun selain Allah.” jawabku.

Ya, akulah istri Nabi yang tertuduh. Dan Allah membebaskanku dari tuduhan itu dengan firman-Nya yang membuat air mataku teduh.

Dengan menyebut nama Allah Yang Maha Pemurah lagi Maha Penyayang

Sesungguhnya orang-orang yang membawa berita bohong itu adalah dari golongan kamu juga. Janganlah kamu kira bahwa berita bohong itu buruk bagi kamu bahkan ia adalah baik bagi kamu. Tiap-tiap seseorang dari mereka mendapat balasan dari dosa yang dikerjakannya. Dan siapa di antara mereka yang mengambil bahagian yang terbesar dalam penyiaran berita bohong itu baginya azab yang besar.” (11) “Mengapa di waktu kamu mendengar berita bohong itu orang-orang mu'minin dan mu'minat tidak bersangka baik terhadap diri mereka sendiri, dan (mengapa tidak) berkata: "Ini adalah suatu berita bohong yang nyata." (12) “Mengapa mereka (yang menuduh itu) tidak mendatangkan empat orang saksi atas berita bohong itu? Oleh karena mereka tidak mendatangkan saksi-saksi maka mereka itulah pada sisi Allah orang-orang yang dusta.” (13) “Sekiranya tidak ada kurnia Allah dan rahmat-Nya kepada kamu semua di dunia dan di akhirat, niscaya kamu ditimpa azab yang besar, karena pembicaraan kamu tentang berita bohong itu. (14) “(Ingatlah) di waktu kamu menerima berita bohong itu dari mulut ke mulut dan kamu katakan dengan mulutmu apa yang tidak kamu ketahui sedikit juga, dan kamu menganggapnya suatu yang ringan saja. Padahal dia pada sisi Allah adalah besar.” (15) “Dan mengapa kamu tidak berkata, di waktu mendengar berita bohong itu: "Sekali-kali tidaklah pantas bagi kita memperkatakan ini. Maha Suci Engkau (Ya Tuhan kami), ini adalah dusta yang besar." (16) Allah memperingatkan kamu agar (jangan) kembali memperbuat yang seperti itu selama-lamanya, jika kamu orang-orang yang beriman.” (17) “Dan Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepada kamu. Dan Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana.” (18) “Sesungguhnya orang-orang yang ingin agar (berita) perbuatan yang amat keji itu tersiar di kalangan orang-orang yang beriman, bagi mereka azab yang pedih di dunia dan di akhirat. Dan Allah mengetahui, sedang, kamu tidak mengetahui.” (19) “Dan sekiranya tidaklah karena kurnia Allah dan rahmat-Nya kepada kamu semua, dan Allah Maha Penyantun dan Maha Penyayang, (niscaya kamu akan ditimpa azab yang besar).” (20) [QS: An-Nur]


Disarikan dari kitab Sahih Bukhari